II. KANDUNGAN SYAHADAT
Kalimat Syahadat memiliki kandungan makna yang sangat dalam, sehingga bagi mereka yang benar-benar memahami dan melaksanakan dalam kehidupannya sehari-hari, tidak pernah merasa gentar dan takut terhadap tekanan apapun untuk menggoyahkan keyakinannya (keimanannya).
Dan harus dipahami secara mendalam, bahwa kalimat Syahadat ini merupakan pondasi dari keimanan seseorang, artinya pondasi yang terbangun haruslah kokoh, sehingga bangunan ke-Islam-an pun menjadi kokoh dan tidak mudah runtuh walaupun berbagai goncangan menimpa secara betubi-tubi.
Seperti yang dialami sahabat Nabi yang bernama Habib. Sebagai seorang Mukmin, ia tidak pernah takut menghadapi siksaan apa pun yang menimpa dirinya, bahkan nyawa sekali pun dijadikan sebagai taruhannya. Untuk mempertahankan dua kalimat syahadat, Habib rela mengalami siksaan hingga tubuhnya dipotong-potong oleh Musailamah, seorang kafir Quraisy yang kejam.
Bukan hanya Habib yang telah mengokohkan pondasi keimanannya, sahabat lain yang juga mengalami hal yang sama adalah Bilal bin Rabah, yang begitu yakin akan kebenaran dua kalimat Syahadat, sehingga ia pun tahan dari siksaan, misalnya disaat tubuhnya ditindih oleh batu besar di tengah terik matahari. Dan masih banyak lagi sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang mengalami penyiksaan untuk mempertahankan syahadatain.
Keberanian mereka dalam mempertahankan dua kalimat syahadat disebabkan oleh kandungan maknanya yang amat dalam. Dan mereka sangat memahami makna syahadatain dengan sebenar-benarnya. Tidak hanya dalam konteks kalimat yang diucapkan, tapi jauh lebih dalam lagi, yakni dalam konteks kebenaran yang tertanam dalam hati.
Sebaliknya, mayoritas umat Islam di penghujung zaman ini, ternyata hanya bisa memahami Syahadatain sebatas ikrar saja. Misalnya, seseorang yang ingin masuk ke dalam agama Islam, maka ia wajib bersyahadat. Atau hanya diucapkan ketika shalat, adzan, atau nikah. Di luar itu semua, Syahadat tak ubahnya sebagai assesories pakaian, yang dipakai hanya pada hari-hari tertentu, selebihnya tidak pernah mewarnai kehidupannya. Inilah yang disebut dengan pemahaman dangkal, dan hal itu terjadi pada kebanyakan manusia saat ini.
Untuk itulah, maka kita sangat perlu memahami kalimat Syahadat, yakni dengan memahami kandungan yang ada di dalamnya. Kandungan yang dimaksud adalah; Ikrar, Sumpah dan Janji
3. IKRAR (AL-IQRAAR) – الاٍِْقْرَارُ
Ikrar (iqrar) adalah suatu pernyataan seseorang mengenai apa yang diyakininya. Artinya, Syahadat merupakan sebuah ikrar tentang Laa ilaaha illallah. Pernyataan yang sangat kuat, karena mendapat jaminan dan dukungan langsung dari Allah SWT, Malaikat, dan para Nabi serta orang-orang yang beriman.
Sebagaimana Allah SWT berfirman,
Syahidallahu annahu laa ilaaha illa huwa walmalaa-ikatu wa ulul’ilmi qoo-iman bil-qisthi laa ilaaha illa huwal-‘azizul-hakiim
Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Menegakkan Keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS: Ali-Imran: 18).
Dalam hadits yang diriwayatkan Anas;
”Nabi SAW bersabda, ”akan terbebas dari apai neraka bagi siapa yang mengikrarkan Laa Ilaaha Illallah…,” (HR: Bukhari)
Ketika kita telah mengikrarkan kalimat Syahadat, maka sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk selalu menegakkan dan memperjuangkan apa yang kita ikrarkan itu.
Perlu kita ketahui, sebenarnya semua manusia (entah itu Muslim maupun Kafir) pada dasarnya sudah berikrar bahwa Allah adalah Rabbnya. Ikrar tersebut dilakukan ketika masih berada di alam kandungan. Menurut sebagian ulama, termasuk Imam Ghazali, kesaksian ini terjadi ketika di alam Azali, yakni sebuah alam dimana seluruh jiwa manusia berkumpul sebelum terlahir ke dunia.
Dan, Allah SWT meminta kesaksian tersebut dari jiwa-jiwa manusia yang akan dilahirkan ke dunia. Ini dilakukan, agar di hari kiamat nanti tidak ada lagi manusia yang mengatakan bahwa dirinya belum pernah tahu akan halnya keesaan Allah. Ini yang dinamakan dengan ikrar tentang Rububiyatullah (Allah sebagai Rabb).
Namun kebanyakan manusia lupa akan hal ini. Untuk itu Allah mengingatkan kita melalui firman-Nya;
Wa-iz akhoza robbuka min-banii aadama min-zhuhuurihim zurriyatahum wa-asyhadahum ‘ala anfusihim alastu birobbikum qooluu balaa syahidnaa an-taquuluu yaumal-qiyaamati innaa kunnaa ‘an hazaa goofiliin
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhan (Rabb) mu? Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap hal ini (keesaan Tuhan)’.” (QS: Al-A’raf: 172)
Selain ikrar Laa ilaha illallah, di dalam Syahadatain juga terdapat ikrar yang bertalian dengan pengakuan kita terhadap Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah (Muhammadurrasulullah). Bahkan, Nabi-nabi terdahulu pun mengikrarkan diri, mengakui kerasulan Muhammad SAW, meskipun mereka hidup sebelum kedatangan Muhammad SAW.
Allah SWT berfirman,
Waidz akhozallahu miitsaaqon-nabiyiina lamaa aataytukum minkitaabin-wahikmatin-tsumma jaa-akum rosuulun-mushoddiqun-limaa ma’akum litu-minunna bihi wal-tanshurunahu qoola aqrortum wa-akhoztum ’alaa zaalikum ishrii qooluu aqrorna qoola fasyhaduu wa-anaa ma’akum minasysyaahidiin
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para Nabi: Sesungguhnya, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya. Allah berfirman, “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab, “Kami mengakui.” Allah berfirman, “Kalau begitu, saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.” (QS: Ali-Imran: 81).
4. SUMPAH (AL-QASAM) – الْقَسَمُ
Syahadat juga bermakna sumpah. Bagi siapapun yang sudah bersumpah, maka baginya harus selalu siap menerima akibat dan resiko apapun selama ia berada dalam sumpahnya tersebut. Artinya, seorang muslim harus siap dan bertanggung jawab dalam menegakkan Dienul Islam, termasuk seluruh ajaran-ajarannya. Bagi mereka yang melakukan pelanggaran terhadap sumpah ini, maka gelar yang layak disandangnya adalah kemunafikan, dan Allah akan menempatkan orang munafik di dalam neraka jahanam.
Allah SWT telah menggambarkan ciri-ciri orang munafik, misalnya ada di antara mereka yang menyatakan Syahadat secara berlebihan, padahal mereka hanya pendusta. Allah SWT berfirman;
Idzaa jaa-akal-munaafikuuna qooluu nasyhadu innaka larasuulullahi wallahu ya’lamu innaka larosuuluhu wallahu yasyhadu innal-munaafiqiina lakaazibuunat-takhozuu aymaanahum junnataan fashodduu ’an- sabiilillahi innahum saa-a maa kaanu ya’maluun
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS: Al-Munafiqun: 1-2)
Seperti itulah gambaran orang-orang munafik. Mereka sepertinya telah beriman, padahal di balik pengakuannya itu, mereka adalah orang-orang yang telah nyata-nyata berpaling. Orang-orang seperti ini amatlah berbahaya, karena mereka adalah musuh dalam selimut.
Lalu, bagaimana kita mengetahui cirri-ciri dari golongan orang-orang yang melanggar sumpahnya (Syahadat). Ada beberapa ciri yang melekat dalam diri mereka, dan jika kita perhatikan dengan seksama, akan jelas terlihat. Ciri tersebut antara lain;
1. Memberikan wala’ (kesetiaan/loyalitas) kepada orang-orang kafir
2. Tidak segan-segan memperolok-olok ayat-ayat Allah SWT
3. Selalu mencari kesempatan dalam kesempitan kaum Muslimin
4. Menunggu-nunggu kesalahan dan kelengahan kaum Muslimin
5. Bersikap malas dan ogah-ogahan dalam menjalankan shalat
6. Tidak punya pendirian (membunglon).
Sebaliknya, bagi setiap mukmin yang selalu berpegang teguh terhadap sumpahnya, tidak akan memiliki sifat-sifat tersebut. Bahkan akan terhindar dari sifat yang tidak terpuji seperti itu.
5. JANJI (AL-MIITSAAQ) – الْمِيْثَاقً
Syahadat juga bermakna janji (miitsaaq). Setiap orang yang sudah menyatakan kalimat Syahadat berarti sudah berjanji untuk setia mendengar dan taat (sami’na wa atha’na) terhadap semua perintah Allah SWT dalam keadaan apapun. Perintah di sini adalah seluruh kandungan kitabullah (Al Qur’an) maupun Sunnah Rasul.
Sebagaimana Allah SWT berfirman,
Wazkuruu ni’matallahi ’alaikum wamiitsaaqahulladzii watsqokum bihi idz wuntum sami’naa wa’atho’naa wa-tta qullaaha innallaha ’aliim bizaatishshuduur
“Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan, ’Kami dengar dan kami ta’ati’. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mengetahui isi hati (mu).” (QS: Al-Maidah : 7)
Ketika seseorang mengucapkan dua kalimat Syahadat, artinya dia telah berjanji. Janji yang tidak hanya sekedar janji, tapi harus didasari dengan iman yang sebenar-benarnya, yaitu iman kepada Allah SWT, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan Qadar baik maupun buruk.
Allah SWT berfirman:
Aamanarrosuulu bimaa anzala ilaihi min-robbihi wal-mu’minuuna kullun-aama billahi wamalaa-ikatihi wakutubihi warurulihi laa nufarrikqu baina ahadin-min-rosulihi wa qooluu sami’na wa’atho’naa gufroonaka robbanaa wailaikal-mashiir
Artinya: “Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari Rasul-rasul-Nya, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami ta’at.” (mereka berdo’a): “Ampunilah kami, Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (QS: Al Baqarah: 285).
Sudah menjadi satu keharusan bahwa janji harus ditepati. Sebab, jika terjadi pelanggaran terhadap janjinya, maka Allah SWT akan melaknatnya. Dalam hal ini, kita dapat mengambil pelajaran dari kisah orang-orang Yahudi. Mereka adalah kaum yang tidak pernah menepati janjinya. Selalu ingkar terhadap janji-janjinya. Karena, setiap perjanjian yang mereka ucapkan selalu saja dilanggar. Sehingga Allah SWT pun melaknatnya.
Dalam hal ini, kaum Yahudi merupakan umat yang bertolak punggung dengan kaum Muslimin. Kaum Muslimin akan selalu mengucapkan ‘kami mendengar dan kami taat’, sebaliknya kaum Yahudi justru mengatakan, ‘kami mendengarkan tetapi tidak menaati.’
Mengenai kasus tersebut, Allah SWT telah mengingatkan dalam firman-Nya:
Waidz akhoznaa miitsaaqokum warafa’naa faoqokumuttuur khuzuu maa aatainaakum biquwatin-wasma’uu qooluu sami’naa wa’ashoynaa waasyrobuu fii quluubihimu-‘ijla bikufrihim qul bi’samaa ya’murukum bihi iimaanukum inkuntum mu’miniin
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah. Mereka menjawab, “Kami mendengar tetapi tidak menaati.” Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi, karena kekafirannya. Katakanlah, “Amat jahat perbuatan yang telah diperintahkan imanmu kepadamu jika betul kamu beriman (kepada Taurat).” (QS. Al Baqarah: 93).
Di sini tampak jelas bahwa kaum Yahudi merupakan kelompok manusia yang dzalim. Perbuatan dzalim yang mereka lakukan adalah penyembahan terhadap anak sapi yang jelas-jelas telah menyekutukan Allah Yang Maha Esa dengan benda yang sama sekali tidak mendatangkan manfaat maupun mudharat. Mereka juga melakukan tindakan membunuh Nabi-nabi dan selalu mengingkari janji.