Rabu, 05 Desember 2018

Konsultan Spiritual

Hai, WhatsApp Messenger adalah aplikasi yang cepat, sederhana, dan aman yang saya gunakan untuk mengirim pesan dan menelepon teman dan keluarga. Dapatkan secara gratis di https://www.whatsapp.com/download/

Rabu, 31 Oktober 2018

Fb

* Manunggaling Gusti *

Dari mana ada istilah manunggaling kawula-Gusti???
Nah ini yang akan kita bedah bersama-sama...

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
Innalloha wa mala-ikatahu yu-sholluna 'alan nabi. Ya ayyuhalladziina amanu shollu 'alaihi wa sallimu taslima.
Allohumma sholli wa sallim wa barik 'alaihi.

Allohu akbar, ilaa waj-hikal kariim...ya Alloh, ya Rohman, ya Rohiim...
Al fatihati bi qobul wa bi tamami quli su'-li  wa makmul wa ilaa hadroti Rosulillah ajma'in syai'ul lillahi lahum al-fatihah....

Dalam mempelajari satu bidang ke-ilmuan, maka yang harus kita pahami betul adalah, kata, makna, dan asal kata.

Untuk masuk ke ranah ilmu tasawuf paling dasar pasti seorang salik di bekali dengan ilmu syari'at yang mantap, dia harus menguasai nahu, sorof, mantiq, balaghoh, dan bayan. Baru setelah benar benar menguasai, masuklah ia kedalam bidang hukum yaitu fiqih.
Kalau sudah masuk ke dalam ranah hukum, maka kita harus paham setiap mazhab mempunyai disiplin ilmu masing masing dan mempunyai standar hukum masing masing. Yang mana semua nya itu benar dan di benarkan. Makanya di zaman yang semakin akhir ini banyak sekali disiplin ilmu dan konsep konsep ke ilmuan supaya menjadikan kita paham dan cepat mengerti.
Wahai yang menguasai hukum fiqih, jangan lupa, di atas hukum fiqih masih ada hukum tasawuf, wahai yang ber-tasawuf, jangan lupa kebawah, masih ada hukum fiqih.
Di zaman Rosul s.a.w. ilmu syari'at dan hakekat itu selalu ber-iringan, tidak terpisah tidak juga menyatu. Tapi ber-iringan agar terjaga keharmonisan alam semesta. Hukum yang sangat rendah, di sandingakan dengan keluhuran akhlak Nabi kita Muhammad s.a.w., ilmu hukum dan ilmu akhlak haruslah berjalan bersama sama.

Nah di zaman yang unik ini, seakan hilangnya nilai etika dalam memberikan penjelasan kepada masyarakat awam sehingga umat malah menjadi bingung dan terpecah belah oleh hanya karena pendapat seorang ustadz.
Ada seorang ustadz di mintai penjelasan mengenai ilmu tasawuf sementara dia sendiri tidak paham apa itu tasawuf dan cenderung membid'ah-kan ke-ilmuan tasawuf, hla ini benar apa tidak?
Yang bodoh itu yang nanya apa yang di tanya???

Zaman para sahabat, dan satu generasi sesudahnya, itu masih berlaku kekhususan ulama, misalnya ada ulama fiqih, ada ulama hadits, ada ulama tasawuf itu masing masing bagian nya, sehingga bertanya mengenai ilmu ketuhanan ya kepada ulama tasawuf dong, bukan nya kepada ulama fiqih, sekarang ada orang jualan nasi pecel, kok di tanya cara masak daging rendang? Itu apa termasuk dalam kaidah ushul fiqih yang memberlakukan kita menempatkan segala sesuatu pada tempatnya?
Sama aja kamu makan pake kaki itu kamu kira kira sudah bener apa belum???

Jadi ya pahami lah, ini bidang ilmu apa, apa yang saya butuhkan, dan saya harus bertanya kepada siapa, dan belajar kepada siapa.
Ranah ilmu ketuhanan ya tanya kepada yang mempelajari ilmu ketuhanan juga, maka kamu akan menemukan satu rasa dan kepuasan atas pertanyaan mu itu.

Ketika saya di tanya mengenai tata cara sholat ya tidak mungkin juga saya jelaskan kaidah sholat secara hakekat, pasti saya akan jelaskan tata cara sholat sesuai kaidah fiqih nya sesuai kemampuan dan kesanggupan saya juga. Kalau saya ga tau ya saya juga akan bilang ga tau dan akan saya rekomendasikan kepada yang ahlinya.
Gitu aja kok repot?! Jadi manusia itu sebetulnya bodoh di buat buat sendiri kok. Muter muter ga karuan akhirnya pusing sendiri dia, dan setelah dia pusing orang lain yang jadi sasaran. Itu tabiat manusia yang tidak terbantahkan.

Kembali ke konteks yang akan kita bahas, ada istilah atau kata kata "manunggaling kawula-Gusti" itu saya kurang setuju, dan saya rasa pengarang kitab nya yaitu murid Syech Siti Jenar pun tidak memberikan judul yang seperti itu. Itu jelas ada unsur tekanan politik pada masa itu dan ingin menyudutkan ke-ilmuan wahdatul wujud yang sebetulnya pun tidak bisa di bantahkan dan terpatahkan. Jadi teori wahdatul wujud itu sampai sekarang pun tidak bisa terpatahkan! Itu murni haq Alloh dan siapa yang mengimani nya ya jelas telah mendapatkan rohmat dan bimbingan kasih sayangnya.
Sebab kalo ga ada iblis dan syaitan ya dunia ini ga seru jadinya.

Senin, 17 September 2018

Do'a Nurbuwwat

ALLAAHUMMA DZIS SULTHAANIL ‘AZHIM, WA DZIL MANNIL QADIIM, WA DZIL WAJHIL KARIIM, WA WALIY YIL KALIMAATI TAAMMAATI WAD DA’AWAATIL MUSTA JAABAH, ‘AAQILIL HASANI WAL HUSAINI MIN ANFUSIL HAQQI ‘AINIL QUDRATI WAN NAAZHIRIINA WA’AINIL INSI WAL JINN, WA IN YAKAADUL LADZIINA KAFARUU LI YUZLIQUUNAKA BI ABSHAARIHIM LAMMAA SAMI’UDZ DZHIKRA, WAYAQUULUUNA INNAHUU LAMAJNUUN, WA MAA HUWA ILLAA DZIKRUL LIL ‘AALAMIIN. WA MUSTAJAABU LUQMAANIL HAKIIM. WA WARITSU SULAIMAANABNI DAAWUDA ‘ALAIHI WAS SALAAM.

DZUL’ARSYIL MAJIID. THAWWIL ‘UMRII WA SHAHHIH AJSAADII WAQDHI HAAJATII WAKTSIR AMWAALII WA AULAADII WAJ ALNI HABBIBAN LIN NAASI AJMA’J IN. WA TABBA’ADIL’ADAAWATA KULLA MIMBANII AADAMA ‘ALAIHIS SALAAM. MAN KAANA HAYYAUW WA YAHIQQAL QAULU ‘ALAL KAAFIRIIN. WA QUL JAA AL HAQQU WA ZAHAQAL BAATHIL, INNA BAATHILA KAANA ZAHUUQAA. WA NUNAZZI LU MINAL QUR’AANI MAA HUWA SYIFAAUW WARAHMATUL LIL MUKMINIIN. WA LAA YAZIIDUZH ZHAALIMIINA ILLAA KHASAARAA. SUBHAANA RABBIKA RABBIL ‘IZZATI ‘AMMAA YASHIFUUN, WA SALAAMUN ‘ALAL MURSALIIN, WAL HAMDU LIL LAAHI RABIIL ‘AALAMIIN”.

ARTINYA :

“Ya Allah, Zat Yang memiliki kekuasaan yang agung, yang memiliki anugerah yang terdahulu, memiliki wajah yang mulia, menguasai kalimat-kalimat yang sempurna, dan doa-doa yang mustajab, penanggung Hasan dan Husain dari jiwa-jiwa yang haq, dari pandangan mata yang memandang, dari pandangan mata manusia dan jin.

Dan sesungguhnya orang-orang kafir benar-benar akan menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, ketika mereka mendengar Al-Quran dan mereka berkata: “Sesungguhnya (Muhammad) benar-benar orangyang gila, dan al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat. Dan yang mengijabahi Luqmanul Hakim, dan Sulaiman telah mewarisi Daud a.s. Allah adalah Zat Yang Maha Pengasih lagi memiliki singgasana yang Mulia, panjangkanlah umurku, sihatlah jasad tubuhku , kabulkan hajatku, perbanyakkanlah harta bendaku dan anakku, cintakanlah semua manusia dan jauhkanlah permusuhan dari anak cucu Nabi Adam a.s.,orang-orang yang masih hidup dan semoga tetap ancaman siksa bagiorang-orang kafir. Dan katakanlah : “Yang haq telah datang dan yang batil telah musnah, sesungguhnya perkara yang batil itu pasti musnah”.Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Quran tidak akan menambah kepada orang-orang yang berbuat aniaya melainkan hanya kerugian. Maha SuciAllah Tuhanmu Tuhan Yang Maha Mulia dari sifat-sifat yang di berikan oleh orang-orang kafir. Dan semoga keselamatan bagi para Rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam.”

Jumat, 17 Agustus 2018

RAHASIA SYAHADATAIN

Wahai hamba yang di rohmati Alloh. Kali ini kita akan mengupas rahasia pada kalimat (لااله الا الله) agar kita dapat mengerti dan mengamalkan keluhuran makna yang terkandung di dalamnya.
Sampai-sampai Baginda Nabi Muhammad s.a.w. mengatakan dalam satu hadits nya:
“Perbaharuilah selalu iman kalian dengan ucapan laa ilaaha illalloh."
Tentu kita akan mengupas kalimat tauhid ini dari sudut pandang ilmu hakikiyah dengan metode dan kaidah ilmu nafi dan isbat.

Pada kalimat pertama (لا) (nafi) dari sudut pandang ilmu makrifah berarti: tolak, buang, sirna, musnahkan, hilangkan.

Bermaknanya disini tolaklah dan buanglah.
Apa itu yang tertolak dan apa itu yang terbuang???
Yaitu berupa alam semesta dan segala isinya dan segala makhluk, entah itu manusia, hewan, tumbuhan, dunia, langit, dan tidak ada makhluk lain. Tidak ada bukit, bulan, matahari, bintang, gunung, tumbuh-tumbuhan, lautan atau tanah, tidak ada apa-apa di dalamnya atau kosong.

Lalu masuk pada kalimat kedua (اله) yang artinya di sini bahwa:
Jika pada saat berada pada kalimat "لا" kita harus menolak dan kita harus menyangkal semua keberadaan makhluk.
Kemudian sekarang diberi peringkat "اله" maka kita diminta untuk membangun dan mengadakan kembali barang-barang yang telah kita tolak, hapus, buang atau telah kita musnahkan tadi.

Artinya di sini, membangun kembali sifat alami, manusia, hewan, tumbuhan, dunia, surga/neraka, bukit, gunung, samudera, dan tanah semuanya ada di sana dalam keberadaan wujudnya.

Maka jadilah ada matahari, ada bulan, ada binatang, ada awan, ada ayam, ada kerbau dan kehadiran semua makhluk-makhluk ada semuanya.

Namun walaupun begitu, haruslah diingat oleh kita semua, bahwa adanya makhluk di dalam kalimat "اله" itu, hanya sekedar dalam bentuk "wajah Alloh", yaitu dalam bentuk bayang dan nama panggil-panggilan saja dan bukan dalam bentuk wujud hakiki yang sebenarnya.

Sesuai dalil:
Fa ainamaa tuwalluu fa samma waj-hulloh, innalloha waasi'un 'aliim.

"Kemana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Alloh. Sungguh, Alloh Maha Luas, Maha Mengetahui."
(QS. Al-Baqarah:115)

Kalimat ini sebetulnya akan menggiring kita pada satu pemahaman dan pengertian tentang bagaimana Alloh ta'ala itu berdiri sendiri atau Esa dalam kewujudan Nya.

Kita itu sebagai makhluk Alloh, sejatinya keberadaan kita itu hanyalah sekedar berupa bayangan, yaitu sekedar berupa wajah yang tidak kekal dan tidak mutlak, atau dalam keadaan fana' (tidak kekal). Pada kajian dan suluhan ilmu makrifat itu sendiri, keberadaan makhluk ini hanya dalam bentuk bayangan, atau tidak ada di dunia nyata.
Menurut cahaya lentera makrifat, hanya Tuhan sendiri lah yang ada dalam kenyataan.

Jadi apa yang kita lihat adalah, untuk dilihat 'wajah' Tuhan.

Jika kita melihat alam semesta sejatinya kita harus (di tuntut untuk) menyatakan dan melihat Tuhan, namun jika kita melihat segala isi alam semesta ini adalah wujud keberadaan makhluk, maka Tuhan akan tertutup atau terhijab dari pandangan hati kita.

Ini adalah konsep kalimat kata dari "اله" yang berlaku bagi mereka hukum hakekat.

Kalimat ketiga adalah kata sabit (الا) yang berarti: kecuali atau hanya (selain dari Alloh).
Satu-satunya makna atau netralitas adalah mengacu pada tidak adanya makhluk (ketiadaan makhluk).
Dan juga maksud sifat makhluk itu pula, adalah merujuk kepada binasa dalam "wajah Alloh", itulah interpretasi kalimat "الا" berdasarkan suluhan pelita ilmu makrifat.

Kalimat keempat "الله" itu mengacu hanya kepada Alloh, jadi hanya Alloh-lah yang ada.

Jadi kalau kita rumuskan dari awal maka ketiadaan itu adalah dalam ada nya wajah Alloh.
Maka kalimat Laa ilaha ilalloh bisa juga di artikan: "TIADA YANG LAIN DAN ADANYA YANG LAIN ITU, ADALAH JUGA ALLOH".

Jika di ringkas lagi, maka akan berbunyi: "TIADA DAN ADA ITU HANYA ALLOH"

Menurut hemat saya pribadi, kalimat itu sangatlah indah dan sangat menyentuh kalbu. Dan menyatakan bahwa kedirian Alloh itu tidak ada yang mensejajari. Existensi wujud Alloh termanifestasi dalam ke Esa-an nya sendiri.

Jadi, dalam kaidah menuntut ilmu, kita harus paham yang mana dulu dan yang mana kemudian supaya dapat memperoleh manfaat.
Salah satu sifat wajib Alloh dari 20 sifat yang mewakili kalimat nafi "laa" adalah sifat Nya yang WUJUD (ADA).
Jika sifatulloh itu ADA maka sifat mohal bagi makhluk itu adalah tiada (wajib tiada). Karena wujud ke Esa an Alloh mewajibkan untuk menolak adanya yang selain Alloh. Maka seumpama Alloh itu ADA dan makhluk itu juga ADA, maka itu secara syirik khaufi kita mempunyai keyakinan bahwa ada yang mensejajari Alloh dalam ke WUJUD-an Nya.
Karena Alloh itu Kekal (Abadi) maka makhluk itu hukum nya wajib untuk tidak kekal dan pasti sirna.

Mohon maaf sebelumnya, di atas sudah saya jelaskan bahwa ini penjabaran dari sudut pandang ilmu hakikiyah. Yang sebetulnya tidak boleh untuk di jabarkan karena mengambil perumpamaan dengan makhluk dan mengambil penyerupaan. Tapi hal ini bisa di benarkan dengan kaidah ilmu dan jika di kembalikan dari sudut pandang ushul fiqih maka segala sesuatu itu di nilai dari niatnya. Dan niat saya adalah supaya saudara saudara semua yang di rohmati Alloh dapat mengenal ke Agungan dan ke Esa an Alloh dengan sebenar-benarnya kenal. Jadi tidak ada maksud untuk menyerupakan Alloh dengan sesuatu yang lain atau di samakan dengan sesuatu yang baru karena Dia laisa kamislihi syai'un. Jadi penjabaran ini di maksudkan hanya untuk menfasilitasi pemahaman agar dapat di terima oleh akal. Karena akal itu sangat terbatas jangkauan nya maka dia dalam menerima segala sesuatu membutuhkan dan memerlukan dalil aqli.
Sementara hakekat Tuhan itu tidak mengizinkan keserupaan dengan sesuatu dan Yang Maha Agung tidak bisa di gambarkan.
Kita kembali ke hukum fiqih manfaat penjabaran ini dengan mudhorot nya lebih besar yang mana???

Karena segala sesuatu itu berasal dari Alloh dan harus (wajib!) di kembalikan kepada Alloh.

Sebetulnya si kalau menurut saya, kalau kita paham tentang konsep Dzar dan Nur awal mula proses penciptaan. Maka semuanya selesai dan tidak perlu di jabarkan panjang lebar.
Tidak ada apa-apa selain Dzat, lalu Dzat menciptakan Diri nya dalam Diri nya itu Nur Muhammad. Dari Nur itu terciptalah alam semesta. Selesai.
Silahkan ambil kesimpulan masing masing.
Jadi gimana kira-kira???
Sesuai ngga ya kira kira sama dalil Al Baqarah 115 tadi di atas bahwa kemanapun kita hadapkan, di sanalah "wajah Alloh".

Jadi sudah jelas, segala sesuatu itu milik Alloh. Meskipun itu adalah sifat itu jugalah milik Alloh. Baik itu sifat keji atau baik. Karena dalam pandangan Alloh itu tidak ada apa apa selain diri Nya sendiri yang Berdiri sendiri. Jadi sifat pun dalam pandangan Alloh tidak ada baik ataupun buruk. Artinya baik dan buruk itu hanya dalam pandangan makluk atau si makhluk itu sendiri. Dan adanya makhluk karena sebab makhluk itu sendiri.
Contoh: Di dalam Al Qur'an di abadikan bahwa Nabi Khidir adalah seorang hamba yang sholeh. Tiba tiba di suruh membunuh anak kecil yang tidak berdosa dan tidak tau apa-apa. Salahkan Nabi Khidir?
Salah dalam pandangan Nabi Musa tapi dalam pandangan Alloh tidak salah wong yang nyuruh bunuh itu Alloh sendiri?!
Karena Musa adalah sisi makhluk maka dia mempertimbangkan dosa, baik dan buruk. Tapi nyatanya Khidir meskipun sudah membunuh tapi oleh Alloh di nyatakan sebagai hamba Alloh yang sholeh dan Musa di suruh berguru kepada Khidir.
Artinya, yang mengadakan dosa itu makhluk itu sendiri sebetulnya. Sebab adanya hisab adalah wujud akuan si makhluk itu sendiri.

Jadi kesimpulan nya apa sih?! Kita itu harus bisa menafikan dalam isbat.
Contoh: Saya ngasih makan orang miskin. Padahal hakekatnya yang memberi rizki itu adalah Alloh. Tapi kok lewat perantara saya??? Gimana ini???
Saya harus menghilangkan atau memfana'kan (menafikan) diri saya sendiri. Artinya saya tidak boleh muncul akuan bahwa rejeki orang miskin ini dari saya.
Kalau saya merasa sudah memberi rizki orang miskin tersebut, maka saya ber keyakinan bahwa Alloh dalam memberikan karunia rizki Nya itu membuhkan makhluk atau persekutuan atau perbantuan makhluk. Maha Suci Alloh dari segala aqidah bathil tersebut.
Inilah sebetulnya makna lam yalid walam yuulad (Dia tidak ber-anak dan tidak pula diperanakan) walam yaqul lahuu kufuan ahad (dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia).
Yang di maksud anak itu ya perantara. Alloh itu tidak beranak atau tidak berperantara dalam af'al Nya. Dan perantara itu tidak lagi bercabang cabang yaitu beranak dan di peranakkan. Alloh itu Tunggal dan bisa sendiri tanpa bantuan siapapun!
Inilah pandangan tauhid yang hakiki yang di sebut di dalam Al Qur'an kita itu sebagai li ulil abshoor wahai yang berpenglihatan (berwawasan luas) atau wahai yang mempunyai penglihatan mata hati (bathin).
Jadi sifat isbat itu tetap menumpang atau bergantung dengan sabit. Artinya satu sifat yang di kaitkan dengan sifat yang lain dan dia tidak bisa berdiri sendiri kecuali didirikan oleh kata di depannya yaitu Alloh atau kedirian Alloh itu sendiri.

Keberadaan diri yang bersifat bayangan ini hanya untuk menunjukkan dan mengenali kepada Sang Pemilik Bayangan itu sendiri.

Semoga dapat menjadi manfaat dan bisa di istiqomahkan dalam satu pengamalan kita semua. Semoga kita di kembalikan kepada jalan yang benar.
Aamiin...aamiin...yra...

Penulis: Jadmiko
Sumber: Di adaptasi dan di kembangkan dari berbagai sumber literatur dan di filter oleh ke-ilmuan.

Bagi yang belum memiliki guru mursyid, silahkan ikuti bimbingan kami dengan sanad ke-ilmuan yang jelas dan dapat di pertanggung jawabakan di sisi Alloh.
CP: 081213333500 (WA)

#Parapsikologi
#KonsultanSpiritual

BAYT ALLOH

Wahai hamba yang di rohmati Alloh. Ketahuilah bahwasannya qolbu mu itulah hakikat bayt Alloh, dan kita itu sejatinya ialah ahlul bayt.
Jika seumpama diri kita ini adalah babu atau budak atau seorang hamba. Maka sudah semestinya tugas kita adalah menjaga, merawat, dan membersihkan rumah majikan kita. Yaitu membersihkan hati kita masing-masing agar indah dan bersih. Dengan demikian agar majikan kita merasa nyaman dan betah berada di dalam rumahnya sendiri.
Manakala majikan kita berkenan hadir dalam baytnya, maka saat itulah kita manunggal dengan tuan kita.

Maka demikian gambaran hubungan kita dengan Alloh, di mana Alloh hanya berkenan hadir di dalam qolbu yang bersih dan suci yang dari selain Nya. Alloh tidak mau bercampur dengan kekotoran-kekotoran makhluk.
Manakala hati ini kotor dan di penuhi oleh masyiwalloh maka Dia akan meninggalkannya dan jadilah ia (hati itu) istana Iblis. Maka bisikan yang berasal dari hati yang kotor pun adalah dorongan nafsu yang sifatnya sesat menyesatkan dan menjerumuskan agar hancur sehancur-hancurnya dan semakin jauh dari ketakwaan kepada Alloh.

Lalu bagaimana cara kita mengetahui hati kita sudah bersih atau masih kotor?
Adakah alat khusus untuk mengukurnya?

Tentu saja ada, alat itu bernama "ilmu".

Jika di dalam hati mu masih menyimpan sifat merasa, yaitu merasa benar sendiri, merasa baik, merasa mulia, merasa lurus, merasa 'alim, merasa beriman, merasa taqwa, merasa sholeh, dsb..., maka itu artinya hati kita masihlah kotor dan begitulah hukum sunatulloh nya.

Namun jika di dalam diri ini menyadari bahwa diri ini masihlah dzolim, kotor, hina, pendosa, munafik, ghofilun, buruk, bodoh, dsb..., itu berarti hati mu sudah lah bersih.

Karena tidak ada di antara golongan Nabi dan Rosul kecuali mereka semua masih tetap menyadari bahwa mereka termasuk golongan orang-orang yang dzolim di hadapan Alloh.
Menyadari keburukan diri sendiri dan senantiasa bertaubat, serta memohon perlindungan dari Alloh merupakan ciri-ciri bersihnya hati seorang penempuh jalan Alloh.
Jika telah menyadari diri ini kotor, maka lebih utama adalah membersihkannya.

Semua nya itu sejatinya ada di dalam diri mu.
Surga dan Neraka itu adalah sifat. Kelak hidup kita di Surga atau Neraka itu sudah tercermin saat kita hidup semasa di dunia.

Bukanlah pisau itu dapat memotong, namun sifat tajamnya pisau itulah yang memotong. Bahkan terkadang sifat tajamnya pisau masih lebih tajam lisan seseorang yang tidak terjaga ucapannya. Sampai dapat melukai hati seseorang yang mungkin tidak bisa termaafkan sampai ajal menjemputnya.

Bukannya sifat pusau itu dapat membahayakan, namun si pengguna pisau itu sendirilah yang menentukan sifat berbahaya atau tidaknya sebuah pisau.
Jika di gunakan oleh ibu-ibu, maka pisau itu akan berguna dan bermanfaat untuk keperluan memasak untuk keluarganya.
Namun jika pisau itu berada di tangan seorang penjahat, maka ia akan di gunakan untuk satu tindak kejahatan yang dapat mengancam keselamatan seseorang.

Maka semuanya itu tergantung kepada pembawaan diri kita sendiri, saya pun dapat menggunakan pisau itu untuk satu kejahatan atau mungkin juga untuk kemaslahatan, pilihan ada pada diri saya sendiri.
Bahkan Rosul s.a.w. berpesan dalam satu hadits nya: "Di dalam diri manusia terdapat segumpal daging, jika baik ia maka baiklah seluruh amalnya, jika buruk ia maka buruklah seluruh amaliyyahnya. Segumpal daging itu adalah hati."

Rasa itu adalah sepenuhnya milik rasa. Namun kesadaran itu adanya pada akal. Manusia di katakan makhluk yang sempurna karena di karuniai sebuah akal. Maka manusia di katakan adabnya seperti binatang ketika tidak mempergunakan akalnya di jalan Alloh yang sudah di ataur dalam hukum syara'.
Maka tugas kita adalah menjaga kesucian hati, kejernihan akal, dan menjaga akhlak kita kepada sesama agar terciptanya manusia yang berbudi luhur mengetahui salah dan benar.

Ilmunya dzohir di atur dalam kaidah ilmu fiqih.
Dan ilmunya hati di atur dalam kaidah ilmu tasawuf.
Itulah syari'at dan hakikat. Itulah kaki kanan dan kaki kiri. Maka itulah yang di sebut berjalan dengan kedua kaki. Agar terjaga keseimbangan dzohiron wa bathinan.

Hai orang syari'at?! Kamu jangan lupa! Di atas hukum fiqih masih ada hukum tasawuf!

Hai orang tasawuf?! Kamu lihat-lihat ke bawah, masih berlakunya hukum fiqih!

Baik ulama mutasyari'in (ahli syari'ah) dan juga seorang mursyid (ahlith-thoriqoh), maka ibadah mu'amalah kalian tidak akan sempurna di hadapan Alloh jika tanpa kedua-duanya!

Semua sifat ada di dalam diri, semakin ke atas spiritual seseorang maka bentuk ujian dan cobaan akan semakin halus. Ada ujian dan cobaan. Di uji dengan kesenangan dan di coba dengan kesusahan. Mampukah kita itu selalu bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa kepada Alloh?

Sementara ketaqwaan secara hakiki tidak mungkin di dapat tanpa ilmu yang berkenaan dengan penghadapan jiwa (bathin) ini kepada Tuhan nya.

Sementara hukum syari'at selama ini menuntut kita agar membatasi segala sesuatu yang berkenaan dengan konsep ke Tuhanan!

Sebetulnya, penjabaran yang terlalu gamblang seperti di atas itu tidak di perbolehkan dalam kaidah hukum syara'. Karena jelas konsep tanzih menolak tegas keserupaan antara makhluk dengan Alloh subhanahu wa ta'ala, namun bagaimana dengan ayat sifat yang harus di tasybih dengan penampakan (madzhar) alam ini sebagai perwujudan diri Nya Yang Maha Wujud?
Itu bukankah sama seperti ijma' dan qiyas atau ushul dan furu' yang sama-sama berkaitan satu sama lain. Bahwa setiap ushul (pokok) pasti ada furu' (cabang) nya, dan setiap furu' pun pasti ada ushulnya.

Dalam mempelajari agama itu harus paham yang mana dulu dan mana kemudian? Berawal dari mana dan berakhir ke mana? Dari mana? Mau kemana?

Kalau penjabaran di atas secara hukum syari'at maka jelas tidak di perbolehkan dan di haramkan menyerupakan Alloh Yang Maha Suci dengan makhluk. Tapi penjabaran di atas di tujukan supaya dapat di terimanya akal maka di gunakan perumpamaan-perumpamaan, bukan bermaksud mengambil keserupaan namun tujuannya untuk mengambil kepahaman maka di carilah dalil aqli.
Kembali lagi kepada kaidah ushul fiqih bahwa segala sesuatu di ukur dari niatnya. Niat nya apa menjabarkan ini?
Untuk mengenalkan ke Agung-an Nya supaya kita mampu mensucikan Alloh dengan kaidahnya secara hakiki dan tidaklah layak bahwa adanya sifat puji ini kepada selain Alloh.

Secara hukum hakekat bahwa seluruh sifat itu milik dan kepunyaan Alloh saja dan tidaklah layak makhluk ini memiliki sifat. Termasuk sifat Iblis yang sesat dan menyesatkan?
Tentu saja karena sudah jelas di dalam Al Qur'an di nyatakan bahwa Alloh memberikan hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan akan menyesatkan jalan seseorang sesesat sesatnya bahkan mengunci mati hati seseorang itu. Dan kekuasaan itu haq mutlak Alloh dan tidaklah layak bagi makhluk dapat mencampuri segala urusan Alloh. Jadi sebetulnya syari'at itu hanya di jadikan alasan agar seolah olah Alloh itu di sucikan oleh makhluk, padahal tidak perlu di sucikan Alloh itu sudah Maha Suci.

Sifat Iblis itu hakekatnya jugalah milik Alloh tapi hukum syara' mengatur bahwa itu harus di nafikan kepada Alloh dan harus di isbatkan kepada Iblis. Jadi seolah olah Iblis memiliki sifat?! Karena sifat itu tercela dalam kaca mata syari'at maka itu tidak layak di sandangkan kepada dan untuk Alloh. Padahal dalam pandangan hakekat tidak ada baik ataupun buruk. Baik atau buruk itu hanya ada pada pandangan makhluk itu sendiri. Adanya makhluk itu berasal dari si makhluk. Sementara existensi adanya Tuhan tidak bisa di sejajari oleh si makhluk! Ketunggalan mutlak milik Alloh subhanahu wa ta'ala.

Semoga pemahaman ini dapat di terima oleh jiwa-jiwa yang bersih, di ilmui dan di amalkan. Agar semakin melebar cahaya kemakrifatan kita semua kepada Alloh jalal jalaluhu wa ta'ala.

Semoga kita semua di bimbing dalam rohmat dan jalan Nya yang lurus. Aamiin...aamiin...yra...

~ d z a t ~

Penulis: Jadmiko
Sumber: Di adaptasi dan di kembangkan dari berbagai sumber literatur dan di filter oleh ke-ilmuan.

Bagi yang belum memiliki guru mursyid, silahkan ikuti bimbingan kami dengan sanad ke-ilmuan yang jelas dan dapat di pertanggung jawabakan di sisi Alloh.
CP: 081213333500 (WA)

#Parapsikologi
#KonsultanSpiritual

Kamis, 31 Mei 2018

Sholat Dalam Pandangan Hakekat

Sholat dalam pandangan Ilmu Hakekat

Pandangan Hakekat : Sholat bukan menyembah namun Sholat adalah berdiri menyaksikan diri sendiri yaitu bersaksi diri kita sendiri bahwa Tiada Nyata pada Diri Kita Hanya Allah yaitu Diri Batin ( Muhammad Mustaffa ) dan Diri Dzahir kita itu menanggung Rahasia Allah. 

Pengertian SHOLAT HAKIKI ter-urai dalam kalimah ALHAMDU (alif–lam–ha–mim-dal) yang bermaksud SEGALA PUJI MILIK ALLAH. Inilah perkataan yang mula mula dilafazkan oleh manusia yaitu Nabi Allah Adam a.s “ALIF” Melambangkan NIAT karena niat itu ialah mendzahirkan DIRI BATIN. Diri inilah IMAM yang kita ikuti yaitu ULIL AMRI atau pemerintah = pemimpin. “LAM” Bila telah nyata Diri Batin, maka kita lafazkan TAKBIR RATUL IHRAM. Maka berawal dari sini bukanlah manusia yang berkehendak tetapi segala-galanya adalah digerakkan oleh Allah. “HA” Apabila telah nyata Allah menguasai diri kita, maka kita pun rukuk menandakan kita tunduk patuh akan Kebesaran Allah dan siap menerima segala PerintahNya. “MIM” Maka diri kita mengakui bahwa Dzat Allah itulah Tuhan Sekalian Alam yang meliputi seluruh diri kita mengwujudkan dan menghidupkan kita. Kita pun sujud menandakan rasa syukur kita. “DAL” Satelah kita tahu Dzat telah meng-karunia-kan kepada diri kita menjadi KhalifahNya dibumi ini, maka kita pun merendah diri atas Karuniah itu (yang tidak dikaruniahkan Allah kepada makhluk lain selain manusia ) . RINGKASAN ALHAMDU . ALIF = Niat LAM = Berdiri Betul HA = Ruku’ MIM = Sujud DAL = Duduk Antara Dua Sujud . URAIAN TENTANG NIAT Usalli, Fardhu, Rakaat, Lillah Hi Ta’ala Usul Diri Rangka Nyata Allah Usalli = Kita berniat untuk mengusul asal diri kita Fardhu = Fardhu ialah Diri Yang Di-usul Rakaat = Rangka kita ialah Jasad yang di dzahirkan Lillah Hi Taala = Nyata Allah melalui jasad yang dzahir. Barulah dapat diusul akan Asal Usul Diri. Maka setelah diusul nyatalah Allah itu Meliputi Diri Dzahir dan Diri Batin. Diri Dzahir tiada mempunyai daya dan upaya melainkan melakukan Af’al Allah semata-mata. Dengan KESADARAN itu maka Nyatalah Kebesaran Allah dan kita-pun TAKBIR untuk meng-ESA-kan Dzat Tuhan itu meliputi sekalian diri. . URAIAN TAKBIRATUL IHRAM Allah = Sifat Napsiah = 1 Hu = Sifat Salbiah = 5 Akbar = Sifat Maani & Maknuyah = 14 Maka nyatalah ke 20 Sifat-sifat Kebesaran Allah didalam ucapan “ALLAH HU AKBAR”. . CARA- CARA SHOLAT HAKIKI . HAKEKAT SHOLAT : Artinya berdiri menyaksikan diri sendiri, kita bersaksi dengan diri kita sendiri bahwa tiada yang nyata pada diri kita.. Hanya diri batin (Allah) dan diri dzahir kita (Muhammad) yang membawa dan menanggung rahasia Allah swt. Hal ini terkandung dalam surat Al-Fatihah yaitu : Alhamdu (Alif, Lam, Ha, Mim, Dal) Kalimah Alhamdu ini diterima ketika Rasulullah isra’ dan mi’raj. Mengambil pengertian akan hakekat manusia pertama yang diciptakan Allah swt yaitu Adam as. Takkala Roh (diri batin) Adam as. sampai ketahap dada, Adam as pun bersin dan berkata Alhamdulillah = Segala puji bagi Allah Apa yang dipuji adalah : Dzat (Allah), Sifat (Muhammad), Asma’(Adam) dan Afa’al (Manusia) Jadi sholat itu bukan berarti : Menyembah tapi suatu “cara” penyaksian diri sendiri dan sesungguhnya tiada diri kita melainkan diri Allah semata. Kita menyaksikan bahwa diri kitalah yang membawa dan menanggung rahasia Allah swt. Dan tiada sesuatu pada diri kita hanya rahasia Allah semata serta..tiada sesuatu yang kita punya kecuali Hak Allah semata. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Ahzab : 72 “Inna ‘aradnal amanata ‘alas samawati wal ardi wal jibal. Fa abaina anyah milnaha wa’asfakna minha wahamalahal insanu” Artinya : “Sesungguhnya kami telah menawarkan suatu amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung tapi mereka enggan menerimannya (memikulnya) karena merasa tidak akan sanggup, lantas hanya manusia yang sanggup menerimanya” Dan karena firman Allah inilah kita mengucap : “Asyhaduanlla Ilaaha Illallah Wa Asyahadu Anna Muhammadar Rasulullah” . “Kita bersaksi dengan diri kita sendiri bahwa tiada yang nyata pada diri kita sendiri hanya Allah semata-mata dengan tubuh dzahir kita sebagai tempat menanggung rahasia Allah dan akan menjaganya sampai pada masa yang telah ditentukan.” Manusia akan berguna disisi Allah jika dapat menjaga amanah Rahasia Allah dan berusaha mengenal dirinya sendiri. Bila manusia dapat mengenal dirinya maka dengan sendirinya ia dapat mengenal Allah. .

Selasa, 29 Mei 2018

HAKIKAT MUNKAR NAKIR

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh saudara-saudara ku dimana saja berada yang semoga di muliakan dan di rohmati Alloh.

Berikut ini adalah pemaparan mengenai "HAKIKAT MUNKAR DAN NAKIR" (RAHASIA ALAM BARZAKH).

SEBELUMNYA KITA MOHON MAAF DAN KAMI HIMBAU BAGI YANG BELUM MEMPUNYAI GURU AL-MURSYID ATAU GURU THORIQOT ATAU GURU AL HIKMAH ATAU GURU MA'RIFAT DAN JIKA BELUM MAMPU MENTAJALLIKAN SESUATU INFORMASI APAPUN KEPADA ALLOH ATAU BELUM BISA MEMFILTER KE-ILMUAN DARI APA YANG DI DENGAR, DI LIHAT, DI BACA, DI RASA ATAU DI PIKIRKAN. MAKA SEBAIKNYA KAMI HIMBAU JANGAN TERUSKAN BACA ARTIKEL INI.
KARENA INI SIFATNYA HANYA SEKEDAR UNTUK MENAMBAH WAWASAN BAGI SESAMA PEJALAN (SI SALIK).

Saat ini kita semua umat muslim pasti yakin dan meyakini bahwa semua orang Islam pasti bisa menjawab pertanyaan:
- siapa Tuhan mu?
- siapa Nabi mu?
- apa kitab mu?
Itu adalah satu pertanyaan yang bahkan anak TK tidak butuh waktu semenit untuk menghafalkan jawabannya. Itulah katanya sebuah pertanyaan MUNKAR wa NAKIR di alam kubur yang banyak di kemukakan oleh Ulama mutasyari'in (ahli syari'at).

Namun itu jugalah pasti menjadi satu pertanyaan besar, bagaimanakah hakikatnya atau kenyataannya atau sejatinya?

Saat jiwa (ruh) ini berpisah dengan raga atau di sebut dengan mati/kematian, saat itu kamu masih tidak percaya kalau kamu itu sudah mati, sehingga masih ngotot pingin sekali kembali ke jasad, namun sayangnya dan sungguh di sayangkan sudah tidak bisa. Di karenakan ajal (jatah) nya sudah selesai. Atau kontrak hidup (umur) kita selama di dunia sudah habis!
Dan saatnya pulang kepada rahmat Alloh.
Pada saat ruh mu berpisah dari jasad itu, maka kamu akan memanggil-manggil keluarga dan kawan-kawan: "Ini aku, ini aku. Bagaimana aku ini? Apa ini yang sebenarnya terjadi?"
Namun sayangnya tidak ada orang yang bisa merespon kamu (kecuali dia seorang Wali Alloh).

Sebab selama hidup mu kamu bersifat "NAKIR" = CUEK/TIDAK PEDULI, tidak pernah mau mengenal kesejatian Alloh dan Rosululloh s.a.w. (ma'rifah), maka saat itu kamu akan menuai hasil CUEK/NAKIR mu itu ketika di dunia.

Kamu mulai bertanya-tanya pada diri, "di mana Tuhan? Siapa sebenarnya Tuhan? Di mana Rosululloh? Siapa sebenarnya Rosululloh?"

Maka saat itu siksaan pertama mulai terjadi, takut dan kebingungan, ini sering di ibaratkan atau di silokakan kepala yang dipukuli oleh Malaikat NAKIR.

Lalu kamu melesat ke berbagai arah ke seluruh penjuru alam semesta dengan kecepatan jiwa yang jauh melebihi kecepatan cahaya. Semakin jauh dari bumi kamu akan semakin merasa sangat asing, terasa semakin gelap, dan semakin ketakutan sehingga kembali lagi ke bumi.
Sebab jiwa tidak lagi terpenjara oleh tubuh, maka saat itu kamu mampu mengingat semua perjalanan hidup mu, semua hasil perbuatan baik dan buruk selama hidup dengan sangat jelas sekali. Bahkan kamu akan mengetahui bahwa semua kebaikan kamu ketika di dunia ternyata sudah di balas dengan berbagai kenikmatan yang Alloh berikan saat ketika di dunia, namun tidak menyisakan untuk sesudah kematian.

Mengapa demikian?

Ketidak ma'rifat-an berakibat tidak menghidupkan amalan untuk barzakh dan akhirat. Sebab yang tidak berma'rifat, segala amalannya hanya bersandar pada kira-kira dan katanya saja, tidak pernah mencapai tujuan dari di adakannya amalan-amalan itu sendiri, dan tidak pernah memenuhi fungsi dari amalan-amalan, tidak juga memenuhi kriteria amalan yang di terima di sisi Alloh.
Dan amalan yang seperti itu hanya berbalas ketika di dunia (sebab bagaimanapun, Alloh tidak akan menyia-nyiakan setiap usaha). Namun setiap perbuatan buruk yang belum dibersihkan/disucikan, maka akan terbawa sampai alam barzakh dan akhirat.

Siksaan kedua pun di mulai. Akibat dari segala perbuatan buruk selama hidup (pembangkangan/MUNKAR) maka kamu akan menuai MUNKAR itu sendiri, mulailah menyeruak rasa susah, menyesal sehingga kamu meratap sejadi-jadinya.
Jika ketika di dunia pernah sakit jiwa di selingkuhi pacar?! Itu belum apa-apanya, sebab sakit kamu ketika di dunia masih terhijab oleh jasad. Namun ketika di Barzakh hanya ada jiwa, sakit atas penyesalan itu luar biasa panas (nar = api). Sebab sudah tidak ada jasad yang menghijabi sakit mu ketika itu.

Ketahuilah, bahwa alam Barzakh itu bukan di dalam kuburan tanah. Pengertian alam Barzakh ini saja orang sering kali salah dalam memahaminya, di kira alam Barzakh adalah alam kubur saja. Lalu bagaimana kalau jasad orang yang tidak di kubur??? Apa lantas tidak masuk alam Barzakh? Alam Barzakh itulah alam kubur, dan alam kubur itulah alam Barzakh.
Hakikatnya alam kubur itu adalah terkubur oleh kedangkalan fikir dan sempitnya hati selama ia masih hidup.
Barzakh artinya adalah dinding, maknanya dimensi lain. Ya tempatnya tetap di jagad raya ini, hanya berbeda dimensi dan terdinding.

Dan jiwa-jiwa yang tersiksa oleh hukum alam (sunatulloh) dari zaman dulu hingga sekarang, semua tersiksa, meratap, dan merengek di sebabkan tidak pernah memahami hakikat kehidupan.
Dan mereka sendirian, kok bisa begitu? Bukankah banyak sekali jiwa-jiwa yang tersiksa? Mengapa mereka tidak bisa saling lihat, dengar, dan berkomunikasi? Supaya bisa saling curhat gitu?!
Hal itu di sebabkan mereka semasa hidup hanya mengandalkan fisik: mata fisik, telinga fisik, mulut fisik, dan pikiran duniawi saja. Tidak pernah melatih indera hati/ruhani: mata, telinga, mulut, dan fikiran hati/ruhani.

Bukankah segala sesuatu yang tidak pernah dilatih, tidak akan bisa berbuat apa-apa? Sehingga tidak berguna dan berfungsi. Maka kamu akan buta dan tetap buta, bisu, tuli, dan kalut.

Ketahuilah, bahwa agama memang sangat di bungkus oleh banyak ibarat dan permisalan, hanya manusia-manusia hakikat yang bisa membuka sandinya. Sesungguhnya siksaan-siksaan itu nyata adanya, siksaan terhadap jiwa itu jauh lebih menyakitkan daripada sakit pada jasmaniah.

Perjuangannya adalah, sekuat apakah kamu mau mengorbankan seluruh tenaga, pikiran, dan waktu untuk meraih kebenaran hakiki? Perjuangan membersihkan hati? Sehingga kamu tidak mengantri menjadi jiwa-jiwa yang akan meratap seperti pendahulu-pendahulu yang sudah terlanjur tidak memahami makna hidup yang sebenarnya. Yang hanya tahu cerita, bacaan, dan hafalan. Yang hanya tahu olah bibir dan olah raga/gerak saja.

Sudah menjadi hukum sunatulloh (hukum alam) bahwa mudah itu hasilnya kecil/remeh, dan sulit itu hasilnya besar/sempurna. Syari'at itu sangat mudah, hanya butuh olah bibir dan olah raga/gerak, hasilnya hanya keteraturan dunia. Namun hakikat itu sangat sulit, selain harus olah bibir dan olah raga/gerak, juga dibutuhkan oleh rasa dan olah hati/ruhani, sebab hasilnya adalah kesempurnaan mencapai Alloh.

MAKA BER-SYARI'AT-LAH DAN BER-HAKIKAT!
MAKA KAMU AKAN MENCAPAI ESENSI KEHIDUPAN YANG DI RIDHOI OLEH ALLOH S.W.T.

BERJALANLAH DENGAN KEDUA KAKI MU, SYARI'AT (KAKI KANAN), DAN HAKIKAT (KAKI KIRI), MAKA HIDUP MU AKAN SE IMBANG. JANGAN HANYA BER SYARI'AT SAJA DAN JANGAN HANYA BER-HAKIKAT SAJA.

SYARI'AT BAGINDA ROSULILLAH S.A.W. ADALAH SYARI'AT YANG BERNUASA HAKIKAT.

Ini bukan perkara yang main-main. Diamlah diri sejenak, tafakurlah, tanyalah pada hati nurani (tempat lahul mahfudz). Maafkan dan maklumi segala sesuatu, bersimpuhlah pada Alloh (meskipun baru tahu nama), dan hubungi Rosululloh (meskipun baru kenal cerita). Mintalah dipertemukan guru (Waliyulloh) untuk membimbing mu kepada jalan Nya.

HIDUP BERMANFAAT. MATI BAHAGIA. TAHU JALANNYA PULANG (SHIROTOL MUSTAQIM).



Penulis: Jadmiko
Sumber: Di adaptasi dan di kembangkan dari berbagai sumber literatur dan di filter oleh ke-ilmuan.

Bagi yang belum memiliki guru mursyid, silahkan ikuti bimbingan kami dengan sanad ke-ilmuan yang jelas dan dapat di pertanggung jawabakan di sisi Alloh.
CP: 081213333500 (WA)

#Parapsikologi
#KonsultanSpiritual

Rabu, 23 Mei 2018

Ma'rifat Insan

Awal Agama "Mengenal ALLAH''

"Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan " (An-Nisaa: 78)

JUMAT, 03 OKTOBER 2008

Ilmu Ma'rifat

Bismillahirohmaanirrohiim

Pada pertengahan abad pertama tahun islam, lahirlah ilmu tasawwuf tetapi masih bernama Zuhud / Abid. Nama ini diceruskan oleh beberapa orang yang bernama Abu Dzar dan Said Ibnu Zubair. Sedangkan nama tasawwuf terkenal pada pertengahan abad kedua tahuh islam dan di populerkan oleh seseorang yang bernama Abu Hasyim dari negeri kufah. Tasawwuf berasal dari orang-orang sufi di negeri Syam / Parsi yang memakai pakaian dari bulu domba putih dengan madzhab Ruhbaniat / Bathiniah yang berdasarkan al-qur’an dan al-hadist.

Kata sufi berasal dari kata suffah yang artinya shaff ( barisan shaff dalam sholat ), sebab orang-orang sufi yang kuat imannya dan murni kebaktiannya selalu memilih shaff pertama pada waktu sholat ( shaff terdepan )

Dalam membicarakan tassawwuf, orang sufi lebih senang mengatakan ma’rifat dari pada perkataan ilmu, sebab ilmu itu kaku dan tidak ada nilainya untuk mencari jawaban dari pertanyaan Apa dan Bagaimana, tetapi ilmu tidak dapat menjawab pertanyaan Apa dan mau Kemana. Sebab itulah orang-sufi lebih senang mendengar / mengatakan ma’rifat, karena kata ma’rifat lebih lebih tinggi nilainya

a. Niat lebih didahulukan daripada beramal

b. Sunnah lebih dipentingkan daripada yang fardhu

c. Taat lebih didahulukan daripada beribadah

Arti Tasawwuf :

Ta = Takwa = tajerit

Sa = Sabar = Sofa

Wa = Wara’/Wajib = Wafa

Fa = Fana = Fanafillah

Setelah kita mengetahui arti tasawwuf,

maka kita menjadi fakir yang artinya :

Fa Fana

Ki Kina’ah

Ra Ridha / ikhlas

Barulah kita mengenal hadist dibawah ini :

ﺍﻮﻠﺩ ﻣﻌﺮﻔﺔﺍﻠﻠﻪ
Artinya: Awal agama adalah mengenal Allah

Mengenal diri

Allah Swt berfirman :

Aku jadikan adam dari tanah,

dan tanah aku jadikan dari air,

airpun ku jadikan daripada nur muhammad,

maka ruh dan tubuh tersebut bernama nur muhammad,

kepada ruh dan tubuh inilah segala kainah

sebelum mengenal allah maka kenalilah diri terlebih dahulu, setelah mengenal diri sendiri, maka kita akan mengenal allah, setelah itu fanalah diri kita ( seakan-akan yang ada hanyalah allah semata )

seperti kata abdullah ibnu abbas Radhiyallahu anhu ya Rasulullah, apakah yang pertama kali diciptakan oleh allah swt?, Rasulullah menjawab

ٳﻦﺍﻠﻠﻪﺨﻠﻖﻗﺑﻞﺍﺷﻳﺎٕﻧﻮﺮﻧﺑﻳﻚﻧﻮﻧﻮﺭ

Artinya : sesungguhnya allah swt telah menjadikan terlebih dahulu nur

muhammad, yang di jadikan dari pada dzat allah

Pengenalan diri

Didalam rahim bapak 40 hari

Mada madi mani manikam..

Pusat jantung watsulbi mutrait otak

Dalam otak ada lemak,

Dalam lemak ada minyak

Dalam minyak ada nur,

Dalam nur ada nur akal

Dalam nur akal ada hizabbunnur

Dalam hizabbunnur ada hidayatul amanah allah swt

Penyaksian di alam roh

Allasturabbikum benarkah aku tuhan engkau?

Qoolu balaa benar, engkau tuhan kami

Syahidna kami menyaksikan ( bersaksi )

Susunan dalam rahim bapak

Di otak 7 hari

Di tulang belakang 7 hari

Di watsulbi muntrait 7 hari

Di tulang dada 7 hari

Di pusat 7 hari

Di kalam 5 hari

Jumlah 40 hari

Di dalam Rahim Ibu 9 bulan 09 hari / 7 bulan 7 hari

( titik 9 nuktah )

1 hari = hu

3 hari = allah

7 hari = innallah ( hanya allah )

4 bulan 4 hari = turabbunnur ( tarab nur )

7 bulan 7 hari = subhanallah ( maha suci allah )

8 bulan 8 hari = alhamdulillah ( segala puji bagi allah )

9 bulan 9 hari = allahu akbar ( kebesaran allah )

Lahir kedunia inna ana amanna

( sesungguhnya aku beriman, pembawa amanah allah swt )

Wujud artinya ada, mustahi tiada mana yang mustahil adalah akuan agar kita wajib allah ta’ala adatidak sah ma’rifatnya bila tidak mengetahui asal kejadian diri kita ini

Sebelum mempelajari ilmu ma’rifat ini,

pelajarilah terlebih dahulu 20 sifat Allah

Sifat nafsiah :

wujud / ada atau berwujud

Yang wajib bagi dzat

Sifat salbiah :

Qidam

Baqa’

Muhalafatu lil hawadist

Wahdaniyah

Menolak yang tidak layak bagi dzat

Sifat ma’ani :

Qodrat ( kuasa )

Irodat ( kehendak )

Ilmu ( mengetahui )

Hayat ( hidup )

Sama’ ( mendengar )

Bashor ( mendengar )

Kalam ( berkata-kata )

Berdiri ia kepada yang maujud

Sifat ma’nawiyah :

Qodirun ( yang maha kuasa )

Muridun ( yang maha berkehendak )

Alimun ( yang maha mengetahui )

Hayyun ( yang maha yang maha hidup )

Sami’un ( yang maha mendengar )

Basirun ( yang maha melihat )

Mutakalliman ( yang maha berkata-kata )

Yang wajib bagi dzat di karenakan dengan sesuatu karena

Pertanyaan & jawaban orang-orang sufi

Siapa namamu?

“Abdi atau Allah”

Cantikkah wajahmu?

“Kecantikan hanya wajah Allah”

Dimanakah wajah allah?

“Didalam iman yang kokoh dan tak pernah rusak, sebab di hadapanku hanya ada satu wajah, yaitu wajah allah”

Rasulullah saw bersabda :

ﺍﻧﺎﺍﺑﻭﺍﻻﺮﻭﺡﻭﺍﺪﻢﺍﺑﻮﺍﻠﺑﻧﺭ

Artinya : aku adalah bapak sekalian ruh, sedangkan nabi adam adalah bapak

dari sekalian tubuhmanusia, tetapi nabi adam di jadikan dari pada tanah

Awaluddin Makrifatulloh

“AWALUDDIN MA’RIFATULLAH” Artinya : Awal Agama mengenal Allah.

18 APRIL 2016 · PUBLIK

Maka sebelum mengenal Allah terlebih dahulu kita diwajibkan mengenal diri, setelah mengenal diri, terkenallah kepada Allah, bilamana sudah mengenal Allah, Fanalah diri kita atau tidak ada mempunyai diri lagi, pada hakikatnya hanya Allah.

Selanjutnya terlebih dahulu kita mengenal diri, bilamana tidak mengenal asalnya kejadian diri, maka tidaklah sempurna Ilmu yang kita pelajari. Seperti kata ABDULLAH IBNU ABBAS. R. A :

“Ya Rasulullah, apakah yang pertama dijadikan Allah Ta’ala?"

Nabi SAW bersabda : “INNALLAHA KHALAKA KABLAL ASY YAA INNUR NABIYIKA MINNUIHI”

artinya “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjadikan terlebih dahulu ialah Nur Nabi Muhammad SAW yang dijadikan dari pada Zat Allah”.

SYECH ABDUL ASYSYAHRANI RAHIMA HULLAH ALIHI berkata :

“INNALLAHA KHALAKA RUHUN NABI SAW MIN ZATIHI WAKHALAKAL ‘ALAMI MINNURI MUHAMMAD SAW.”

Artinya “Sesungguhnya Allah telah menjadikan Roh Nabi Muhammad dari pada Zat Allah, dan sekalian Alam ini dijadikan dari pada Nur Muhammad SAW serta Nabi Adam dan diri kita atau tubuh kita”.

Nabi Bersabda : “ANA ABUL ARWAH, WA ADAMU ABUL BASYARU”

Artinya : “Aku Bapak segala Roh dan Nabi Adam Bapak sekalian Tubuh Manusia tetapi Nabi Adam dijadikan dari pada tanah".

Allah berfirman : “KHALAKAL INSANA MINTIY” artinya Aku jadikan insan Adam dari pada tanah, dan tanah dari pada Air,

Airpun dijadikan dari pada Nur Muhammad, maka Roh dan Tubuh tersebut bernama Nur Muhammad.

Kepada Roh dan Tubuh inilah segala kainah, Insya Allah kita akan melihat kesempurnaan Zat Wajibal Wujud, karena tubuh kita yang kasar ini tidak dapat mengenal Allah, sebab fana.

Yang dapat mengenal/meresapkan Nur Muhammad SAW.

Siapa yang dapat mengenal atau meresapkan Nur Muhammad SAW berarti ia mengenal atau meresapkan Tuhannya, karena itu adalah kenyataan dari Wujud Allah yang kita miliki, seperti penglihatan, pendengaran dan sebagainya yang berasal dari pada Nur.

Firman Allah Ta’ala : “KADJA AKUM MINALLLAHINNURI” artinya Sesuatu apa saja yang menimpa kepada kamu adalah dari pada Allah yaitu Nur.

Firman Allah Ta’ala Selanjutnya : “KAD JA AKUMUL KAKKUMIR RABBIKUM”

artinya Sesuatu apa saja yang masing-masing kamu adalah hak dari pada Tuhan dari Nur kepada Nur.

Di sinilah sampai pelajaran segala Ilmu dari Aulia dan Ambiya asalnya mengenal Allah.

Demikian pula pendapat Arifbillah serta kelakuannya karena ia mengenal Diri-Nya berasal dari kejadian Nur.

Firman Allah Ta’ala dalam Hadist Qudsi : “KHALA ILA JALI WAKHALAKHUL ASY YA ILA JALIK”

artinya “Aku jadikan kamu karena Aku, dan Aku jadikan Alam semesta karena Engkau Ya Muhammad.”

Rasulullah SAW bersabda : “ANA MINALLAHI WALMU’MINUNKAMINNI

artinya “Aku daripada Allah, dan segala Mu’min daripada Aku.” Maka dari itu, berpeganglah kepada Nur Muhammad, baik di waktu beribadat maupun di luar dari beribadat.

Syech ABDURRAUB berkata : “Yang sebenar diri adalah Nyawa, yang sebenarnya Nyawa adalah Nur Muhammad atau Sifat, yang sebenarnya Sifat adalah Zat Hayyun akan tetapi La Gairi (tidak lain)".

Adapun sebagian pendapat dari Alim Ulama adalah bahwa yang sebenarnya Diri adalah Roh, tatkala masuk pada Diri atau Tubuh bernama Nyawa, tatkala keluar masuk bernama Nafas, bilamana ingin sesuatu bernama Nafsu

Dan apabila dapat memiliki sesuatu barang bernama Ikhtiar, dapat pula membuat sesuatu barang bernama Akal atau Ilmu.

Inilah yang sebenarnya Diri. Karena pada diri inilah zahirnya Tuhan.

Nabi Muhammad SAW bersabda : “ZAHIRU RABBI WAL BATHINU ABDUHU”

artinya Zahir Tuhan itu ada pada Bathin HambaNya, yakni kepada Ilmu Hakikat. Kepada Ilmu Hakikat inilah yang sebenarnya untuk meng-Esakan Allah.

Dengan adanya keterangan tersebut di atas, maka kenalilah Diri agar sempurna untuk mengenal Allah SWT.

Nabi Muhammad SAW bersabda : “MAN’ARA PANAFSAHU PAKAD ‘ARA PARABBAHU”

artinya “Siapa mengenal dirinya maka mengenal ia akan TuhanNya”. Dan “MAN ‘ARA PANAFSAHU BIL FANA PADA’ARA PARABBAHU BILHAQA” artinya Maka barang siapa mengenal dirinya binasa, niscaya dikenalnya Tuhannya kekal.

Saudaraku..."Untuk Lebih Jelasnya Mari Kita Simak Atas Firman Allah Ta’ala Berikut Ini : “KAD JA AKUMUL KAKKUMIR RABBIKUM”

artinya Sesuatu apa saja yang masing-masing kamu adalah hak dari pada Tuhan dari Nur kepada Nur.

Di sinilah sampai pelajaran segala Ilmu dari Aulia dan Ambiya asalnya mengenal Allah.

Demikian pula pendapat Arifbillah serta kelakuannya karena ia mengenal Diri-Nya berasal dari kejadian Nur.

Firman Allah Ta’ala dalam Hadist Qudsi : “KHALA ILA JALI WAKHALAKHUL ASY YA ILA JALIK”

artinya “Aku jadikan kamu karena Aku, dan Aku jadikan Alam semesta karena Engkau Ya Muhammad.”

Rasulullah SAW bersabda : “ANA MINALLAHI WALMU’MINUNKAMINNI \

artinya “Aku daripada Allah, dan segala Mu’min daripada Aku.” Maka dari itu, berpeganglah kepada Nur Muhammad, baik di waktu beribadat maupun di luar dari beribadat.

Saudaraku..." Untuk Lebih Jelasnya Mari Kita Simak Berikut Ini; Mengenal diri ada terbagi 3 (tiga) bagian ;

Pertama ; Harus mengetahui asal diri (seperti tersebut diatas).

Ke Dua ; Matikanlah diri/tubuh kita yang ada ini (mati Ma’nawiyah).

Ke Tiga ; Setelah Fana diri di dalam diri, Uludiyah Allah Ta’ala dalam Ilmu Allah Ta’ala yang Qadim adanya.

Sebagaimana “Allah SWT berfirman dalam Hadist Qudsi : “ MAUTU ANTAL KABLAL MAUTU” artinya Matikanlah dirimu sebelum mati kamu (mati sebenarnya).

Mematikan diri adalah sebagai berikut : “LAA QADIRUN, WALA MURIDUN, WALA ‘ALIMUN, WALA HAYYUN, WALA SAMI’UN, WALA BASIRUN, WALA MUTAKALLIMUN.

Artinya : - Tidak ada berkuasa ; - Tidak ada berkehendak ; - Tidak ada kita tahu ; - Tidak ada kita hidup ; - Tidak mendengar ; - Tidak melihat ; - Tidak berkata-kata.

Kesemuanya itu hanya Allah, tetapi setelah Fananya seluruh diri/tubuh kita di dalam “UHU DIAH ALLAH dengan Ilmu Allah yang Qadim. Dan ketahuilah Sir Allah dalam Diri/Tubuh kita. Jika kita tidak mengetahui, maka kita selalu bergelumang Dosa.

Nabi SAW bersabda : “WUJUDUKA ZAMBUN LAA YUGA SIBAHU ZAMBUN”

artinya Bermula Adam itu dosa yang amat besar, maka tiap-tiap diri/tubuh yang berdosa tidaklah sempurna untuk mengenal Allah, walaupun bagaimana berbaktinya tetap tidak sempurna untuk mengenal Allah, karena berbakti itu adalah umpama diri/tubuh dengan Roh

Maka dari itu ketahuilah Sir Allah yang sebenarnya di dalam Rahasia yang ada.

Allah berfirman dalam Hadist Qudsi : “AL INSANU SIRRI WA ANA SIRRAHU”

artinya Insan itu adalah RahasiaKu dan Akupun RahasiaNya.

Allah berfirman dalam Hadist Qudsi : “AL INSANU SIRRI WASIARI SIFATI WASIFATI LA GAIRI” artinya “Insan itu adalah RahasiaKu

RahasiaKu itu adalah SifatKu, SifatKu itu tidak lain dari padaKu.

GHAUSUL ‘AZAM berkata “JISMUL INSANU WANAFSAHU WAKABLAHU WARUHUHU WABASARAHU WA ASNA NURU WAYAZRUHU WARIJLUHU WAKULLU ZALIKA AZHIRTULAHU BINAFSIHI LINAFSI ILA HUWA ILLA ANA GHAIRUHU”

artinya Diri atau tubuh manusia, hatinya dan pendengarannya, penglihatannya, serta tangan dan kakinya, kesemuanya itu adalah kenyataan bagi DiriKU, tetapi bukan ‘Ainnya dan bukan lainnya.

Allah itu tidak lain dari Insan, sebab kita ini adalah Hak dari pada Allah dan tidak ia berpisah segala kelakuanNya atau Af’alNya.

Allah berfirman : “WAFI AMPUSIKUM APALA TUBSIRUN”

artinya Ada Tuhan kamu pada diri kamu, mengapa tidakkah kamu lihat akan Aku, kata Allah, padahal Aku terlebih hampir daripada matamu yang putih dengan yang hitamnya, terlebih hamper lagi Aku dengan kamu.

Nabi SAW bersabda : “MAN NAJARA ILA SYAI’AN WALAM YARALLAHUFIHI FAHUWA HATIL”

artinya Siapa yang melihat kepada sesuatu, tidak dilihatnya Allah didalamNya, maka penglihatannya itu batal dan sia-sia belaka.

ABU BAKAR SIDDIK R.A berkata “MAA RA AITU SYAI’AN ILLA WARA AITULLAH HAKABLAHU”

artinya "Tidak Aku lihat sesuatu melainkan yang aku lihat Allah Ta’ala terlebih dahulu”.

USMAN IBNU AFFAN berkata “MAA RA AITU SYAI’AN ILLA WARA AIRULLAHA“

atinya “Tidak aku lihat sesuatu melainkan yang aku lihat Allah sesertanya".

UMAR IBNU KHATTAF berkata “MAA RA AITU SYAI’AN ILLA WARA AITULLAHA BADAHU”

artinya Tidak aku lihat sesuatu, hanya aku lihat Allah Ta’ala kemudiannya.

ALI BIN ABI TALIB “MAA RAITU SYAI’AN ILLA WARA AITULLAHA FIHI”

artinya “Tidak aku lihat sesuatu melainkan yang aku lihat Allah Ta’ala di dalamnya”.

Demikianlah apa yang dikatakan oleh para sahabat Nabi tersebut di atas, maka pelajarilah ilmu ini kepada guru sebagaimana mestinya, sebab Allah tidak bersatu dan tidak bercerai/ berpisah dengan sesuatu apa juapun.

Inilah jalannya untuk mengenal Allah yang hidup kekal dan abadi yang tidak pernah kita lupakan setiap saat dan waktu maupun di dalam tidur.

Inilah pelajaran yang sebenarnya untuk Ma’rifat mengenal Allah dan menghilangkan pekerjaan dunia serta mempelajari ilmunya dengan meniadakan atau menghilangkan diri/ tubuh pada tingkah laku kita, maka tidak termasuk lagi pada huruf “HA“

Dan tidak boleh lagi dikata atau disebut Allah. Bila mana dengan jalan pelajaran mematikan diri/tubuh seperti : Zat, Sifat, Asma dan Af’al yang ada pada kita.

Jika sudah kita tidak ada (memanakan diri/tubuh) inilah yang dimaksud menyerahkan diri kepada Allah Ta’ala, maka bertemulah kita Ghaib di dalam Ghaib, Ujud di dalam Ujud, Zat di dalam Zat, Sifat di dalam Sifat, Asma di dalam Asma, Af’al di dalam Af’al, Sir di dalam Sir, Rahasia di dalam Rahasia dan Rasa di dalam Rasa yang menerima Zauk atau Widdan.

Dalil yang menunjukkan hilangnya diri kepada Allah Ta’ala sebagai berikut :

"TIZIBUL BADANI SARAL QALBI “ artinya Hancurkan Badan jadikan Hati.

“TAZIBUL QALBI SARANRUH” artinya Hancurkan Hati jadikan Ruh.

“TAZIBUL RUHI SARANNUR" artinya Hancurkan Ruh jadikan Nur.

“TAZIBUNNURI SARAS SIRRI" artinya Hancurkan Nur jadikan Rahasia.

"TAZIBUSSIRRI ILLA ANA ILLA ANA” artinya Hancurkan Rahasia jadikan Aku ya Aku yang Mutlak, dan yang sebenarnya Aku itu adalah Rahasia sekalian Makam Manusia yang berada di dalam hati atau bathin.

Demikianlah Untuk Kali Ini Dan Aku Rasa Bahasan Kita Sudah Cukup Semoga Saja Bermanfaat Bagi Kita Semua. Aamiin...

Dan Juga Tak Lupa Pula Kucapkan Puji Dan Syukur Kedat ilahi Rabby Serta Kepada Para Guru Yang Telah Sudi Mewarikan Ilmunya Kepada Kita Semua Sehingga Kita Pun Tau Dan Kenal Siapa Sesungguhnya Diri Kita Ini. Aamiin..." Aamiin..." Yaa Robbal’alamiin...” Alfatihah....,~

Jumat, 18 Mei 2018

Tidur Ala Rosululloh SAW

Tuntunan Rasulullah Sebelum Tidur dan Posisi Tidur yang Benar

Allahumma Sholli Ala Muhammad. Apakah Anda Cinta Nabi? Ikutilah Sunnah Beliau.

Rasulullah bersabda :

“Ya Aisyah jangan engkau tidur sebelum melakukan empat perkara, yaitu :
1. Sebelum khatam Al Qur’an
2. Sebelum membuat para Nabi memberimu syafaat di hari akhir
3. Sebelum para muslim meridhoi kamu
4. Sebelum kau laksanakan haji dan umroh”

Bertanya Aisyah :
“Ya Rasulullah, Bagaimana aku dapat melaksanakan empat perkara seketika?”

Rasul tersenyum dan bersabda :
1. “Jika engkau tidur bacalah : Al Ikhlas tiga kali seakan-akan kau mengkhatamkan Al Qur’an.” Bismillaahir rohmaanir rohiim, Qulhualloohu ahad’ Alloohushshomad’ lam yalid walam yuulad’ walam yakul lahuu kufuwan ahad’ (3x)

2. “Membaca sholawat untuk ku dan para nabi sebelum aku, maka kami semua akan memberi syafa’at di hari kiamat. Bismillaahir rohmaanir rohiim, Alloohumma shollii ‘alaa Muhammad wa’alaa alii Muhammad (3x)

3. “Beristighfarlah untuk para muslimin maka mereka akan meridhoi kamu. Astaghfirulloohal adziim aladzii laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum wa atuubu ilaih (3x)

4. “Perbanyaklah bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir maka seakan - akan kamu telah melaksanakan ibadah haji dan umroh.
Bismillaahir rohmaanir rohiim, Subhanalloohi Walhamdulillaahi walaailaaha illalloohu alloohu akbar (3x)

InsyaAllah tidurnya diberkahi. Amin

Selanjutnya posisi tidur yang sehat menurut Nabiullah Muhammad SAW:

 

Posisi tidur tuntan nabi yaitu dengan  posisi miring kekanan yaitu kuping, pipi, tangan, kaki sebelah kanan berada dibawah. Wajah dan badan bagian depan dihadapkan ke kiblat. Tidur dengan posisi seperti ini adalah posisi tidur yag dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Berbagai Manfaat Tidur Ala Rasulullah SAW

Berbagai manfaat bisa didapat dari posisi tidur ala Rasulullah SAW ini, antara lain:

1.  Mendapatkan pahala, sebab mengikuti sunah Rasulullah SAW.

2.  Tidak cepat lapar.

Ketika tidur miring kekanan sepertitidur ala Rasulullah SAW, lambung yang berada di sebelah kiri akan menggantung (nggandul-bhs jawa). Lambung yang berada dalam posisi seperti ini akan menghentikan kerja  mesin giling pada lambung sehingga bahan yang digiling akan awet dan saraf lapar tidak bangun/muncul. Sebaliknya jika tidur miring kekiri, lambung akan tertindih menimbulkan reaksi mesin giling pada lambung terus bekerja sehingga bahan gilingan tersebut akan ludes dan ampasnya menungggu untuk segera berjumpa teman-teman di kakus. Bangun tidur perut terasa lapar dan ingin buang hajat. Kebanyakan orang-orang yang doyan makan bergerak refleks memegang perut ketika lapar. Kenapa ? Raja-raja romawi kuno membiasakan diri mereka tidur miring kekiri agar perut mereka cepat lapar dan mereka senang mengadakan pesta jamuan makan. Islam mengajarkan lewat Rasulullah SAW agar menyidikitkan makan sebab asal mula penyakit,  menurut beliau sumbernya adalah lambung dan lambung adalah wadah makanan berarti pola makan yang harus dijaga jika ingin tetap sehat dan tidak penyakitan. Dengan tidur menirutidur ala Rasulullah SAW,  kesehatan akan terjaga dan itu merupakan salah satu cara untuk mengurangi makan.

3.  Meredam amarah.

Jika anda ingin meredam marah tidurlah dengan posis tidur ala Rasulullah SAW. Tidur dengan posisitidur ala Rasulullah SAW adalah posisi mayat dikubur. Posisi ini akan mengingatkan anda kepada  kematian. Ketika anda ingat mati, degup jantung yang tadinya kencang karena nafsu amarah perlahan akan mengendur sebab nafsu amarah kalah posisi dengan akal di beranda hati. Saraf adalah komandan penggerak anggota tubuh. Akal adalah kurir hati sekaligus bos/atasan saraf yang memicu pergerakan anggota tubuh. Perasaan pasrah pada hati memilih akal dan untuk sementara mengenyampingkan nafsu. Hati menciptakan kode “slow” di akal. Oleh akal kode tersebut disampaikan ke saraf berupa mandat. Saraf menerima perintah ‘slow’ dari bos dan dilanjutkan ke jantung. Sebagai anggota, jantung melaksanakan perintah komandan untuk bergerak pelan. Perlahan degup jantung berkurang ritme pergerakannya dan berjalan normal. Darah menjadi pelan jalannya dan tidak memaksa pembuluh lagi untuk jalur cepat. Anda normal kembali. Tidurlah dengan posisi ini dan jangan lupa berdoa semoga Tuhan memberi pencerahan dalam tidur anda berupa mimpi yang benar untuk menyelesaikan permasalahan anda.

4. Meningkatkan daya kerja otak dan konsentrasi.

Tidur ala Rasulullah SAW bisa meningkatkan kerja otak dan konsentrasi. Jika anda membiasakan diri tidur dengan posisi yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW maka ketika anda terbangun dari tidur anda akan merasa segar dan pikiran anda jernih. Dalam keadaan terjaga, anda akan merasa lebih mudah untuk berkonsentrasi.

5. Terhindar dari mimpi buruk.

Ketika kita tidur dengan posisi tidur ala Rasulullah SAW seluruh anggota tubuh kita menghadap kiblat. Dengan posisi ini maka ruh kita kembali kepada Allah SWT dan jasad halus kita berkumpul dengan orang-orang solih. Manusia dalam dzatnya dibagi menjadi tiga : ruh, jasad halus dan jasad kasar. Ketika manusia tidur , ruh kembali kepada Tuhan, jasad halus mengembara dan jasad kasar tinggal di bumi. Ruh yang kembali kepada Tuhan bisa saja dikembalikan atau ditahan sampai ajal/waktu yang telah ditentukan. Ketika ruh dikembalikan ke jasad kasar, jasad halus mengikuti ruh masuk kedalam jasad kasar tersebut maka manusia itu bangun dan ketika ruh ditahan, manusia itu mati dan jasad halus mengembara untuk beberapa waktu untuk kemudian kembali kepada Tuhan. Oleh karaena itu kita sering mendengar ada orang yang tidur namun tidak bangun selamanya, kenapa….? Baik atau buruknya mimpi seseorang tergantung dimana berkumpulnya jasad halus ketika manusia itu tidur. Kita pernah mendengar orang yang menceritakan mimpinya bahwa dia bermimpi dikejar anjing, pembunuh, setan kuntilanak, bertemu wajah-wajah yang menyeramkan, terseret arus air yang deras, terbang diatas atap rumah, bertemu dengan orang yang sudah mati bahkan mengetahui hal-hal yang belum terjadi. Mengapa bisa seperti itu ? Jawabannya adalah mimpi itu tergantung dimana perginya jasad halus didalam pengembaraannya dan dimana dia berkumpul ketika manusia tidur. Oleh sebab itu kita dianjurkan untuk berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan ketika tidur bahkan memohon agar ruh kita dijaga dari hal-hal yng tidak baik. Ketika kita tidur dalam posisi badan menghadap arah kiblat maka jasad halus kita akan menuju kiblat tersebut dan dia akan berkumpul dengan para nabi, kekasih-kekasih Allah dan orang-orang salih baik yang masih hidup maupun yang sudah tiada. Bahkan jika beruntung  jasad halus naik ke langit ke alam malakut (alam malaikat). Disana jasad halus bisa mengetahui ketentuan-ketentuan atas manusia yang belum terjadi berupa pengkabaran ataupun kejadian yang digambarkan dengan symbol-simbol bahasa jasad halus yang orang menyebutnya bahasa mimipi. Oleh karena itu kita juga pernah mendengar atau mendapati bahkan mengalami sendiri suatu kejadian yang terjadi hari ini tetapi kita merasa pernah mengalaminya atau bertemu seseorang yang belum kita kenal tetapi kita merasa pernah bertemu dengan orang  itu sebelumnya atau kita sudah mengetahui apa yang akan terjadi esok hari dengan diri kita atau si anu, si anu…..dsb. Inilah istimewanya jasad halus ketika tidur oleh sebab itu lindungilah ia dengan doa-doa sehingga ia terjaga dari gangguan makhluk yang tidak menyenangkan dan kumpulkan ia dengan orang-orang solih dengan cara hadapkan ia ke arah kiblat ketika tidur, arah yang semestinya ia tuju sebab kita tidak /belum bisa menguasai jasad halus ini. Berbeda dengan para nabi atau kekasih-kekasih Tuhan yang mana ruh dan jasad halus mereka selalu berkumpul di teras Rahmat dan Kemuliyaan Alloh SWT.

Mencegah Mendengkur  Dengan Tidur Ala Rasulullah SAW

6. Mencegah tidur mendengkur.

Jika anda termasuk orang yang tidur mendengkur cobalah tidur dengan posisi tidur ala Rasulullah SAW niscaya dengkuran anda yang sangat mengganggu itu akan berhenti dan anda akan lebih disukai dan dicintai  oleh istri dan anak-anak anda sebab suara yang tidak bernada dan berirama yang setiap malam kuping mereka mengkonsumsinya kini telah tiada dan mereka bisa bernafas lega dalam tidur mereka…he…he…he….

Semoga paparan tentang tidur ala RAsulullah SAW ini bermanfaat. Wallahu a’lam


Sabtu, 28 April 2018

Sahabat Khalid bin Walid

SIAPAKAH KHALID BIN WALID?

Dia bernama Khalid bin Walid bin Mughirah bin Abdullah bin Umair bin Makhzum. Ia dijuluki saifullah (pedang Allah). Ia seorang pahlawan Islam, panglima para mujahid, dan pemimpin pasukan yang selalu dibantu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia tak pernah terkalahkan baik di masa jahiliah maupun setelah Islam. Ia memiliki ide-ide yang cemerlang, keperkasaan yang tiada tara, dan taktik yang jitu. Ia termasuk salah seorang juru tulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Gelarnya/kun-yahnya adalah Abu Sulaiman.

Ayahnya

Ayahnya bergelar Abdu Syams. Ia salah seorang hakim di kalangan bangsa Arab pada masa jahiliah. Ia juga salah seorang pemimpin terkemuka suku Quraisy. Kekayaan yang dimilikinya sangat banyak, sampai seluruh suku Quraisy mesti berkumpul untuk membungkus Ka’bah dengan kiswah sementara ia cukup sendirian saja melakukannya. Ia termasuk orang yang mengharamkan khamr di masa jahiliah. Ia sempat bertemu dengan masa Islam pada saat berusia sangat lanjut, akan tetapi ia memusuhi Islam dan menentang dakwahnya, sampai ia meninggal tiga bulan setelah hijrah.

Ibunya

Ibunya bernama Ashma’ atau yang dikenal dengan Lubabah kecil; putri al-Harits bin Harb al-Hilaliah. Ia adalah saudari Lubabah besar; istri Abbas ibn Abdul Muththalib. Keduanya merupakan saudari Maimunah binti al-Harits; istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Khalid bin Walid adalah seorang penunggang kuda yang tangguh dan pahlawan suku Quraisy. Ia terjun dalam Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandak di barisan kaum musyrikin. Kemudian, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kebaikan untuknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memasukkan rasa cinta Islam ke dalam hatinya.

Khalid bin Walid telah mengikuti berbagai peperangan. Tak sejengkal pun bagian tubuhnya melainkan terdapat “cap” syuhada (bekas besetan pedang atau tusukan tombak). Ia pernah berkata, “Malam di kala aku dihadiahi seorang pengantin atau aku diberi kabar gembira dengan kelahiran anakku tidaklah lebih aku sukai daripada malam yang sangat dingin dalam barisan pasukan kaum Muhajirin di saat paginya aku akan berhadapan dengan musuh.”

WALID MENGAJAKNYA MASUK ISLAM

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke kota Mekah dalam rangkaian umrah qadha. Ikut bersama Rasulullah, al-Walid bin Walid –saudara Khalid bin Walid– yang telah lebih dahulu masuk Islam daripada Khalid.

Walid mencari-cari saudaranya, Khalid, tetapi tidak menemukannya. Ia pun menulis sepucuk surat kepada saudaranya.

Bismillahirrahmanirrahim. Amma ba’d. Sesungguhnya aku tak menemukan sesuatu yang lebih mengherankan daripada jauhnya pikiranmu dari Islam. Engkau seorang yang cerdas. Tak seorang pun yang tidak mengenal agama seperti Islam. Aku pernah ditanya suatu kali oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang dirimu. Beliau bertanya,

Mana Khalid?

Aku menjawab, ‘Semoga Allah memberinya hidayah.’

Beliau bersabda lagi,

Orang seperti Khalid tidak mengenai Islam? Andaikan ia gunakan kehebatan dan ketangguhannya –yang selama ini ia gunakan untuk yang lain– bersama kaum muslimin, tentu akan lebih baik baginya.’

Bergegaslah wahai saudaraku untuk menjemput peluang-peluang kebaikan yang sempat luput darimu.

KISAH ISLAMNYA KHALID BIN WALID

Khalid bin Walid menerima surat dari saudaranya. Surat itu dibacanya dengan seksama. Ia sangat gembira mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya tentang dirinya. Hal itu semakin mendorongnya untuk masuk Islam. Akhirnya Khalid mengarahkan jiwa dan nuraninya pada agama baru yang setiap hari benderanya semakin naik dan berkibar. Cahaya keyakinan pun mulai berkilau di hatinya yang suci. Ia berkata dalam hatinya, “Demi Allah, sungguh jalan inilah yang kurus. Sesungguhnya dia (Muhammad) memang benar-benar seorang rasul. Sampai kapan? Demi Allah aku harus segera menemuinya untuk mengutarakan keislamanmu.”

Pada malam itu Khalid bermimpi seperti berada di sebuah daerah sempit dan gersang. Tak ada tanaman dan tak ada air. Kemudian ia pergi menuju daerah yang hijau dan luas. Setelah bangun, Khalid berkata dalam hati, “sungguh ini sebuah mimpi yang baik.”

Khalid keluar dari rumahnya. Ia sudah bertekad untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mimpi yang ia alami semalam terus melekat dalam pikirannya dan seolah-olah berada di depan kedua matanya. Ia mencari seseorang yang bisa menemaninya menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di tengah jalan ia bertemu dengan Shafwan bin Umayyah. Khalid berkata pada Shafwan, “Wahai Abu Wahb, tidakkah engkau perhatikan kondisi kita? Kita ibarat gigi geraham sementara Muhammad telah menguasai bangsa Arab dan non-Arab. Kalau kita datang menemui Muhammad lalu kita ikuti langkahnya, niscaya kemuliaan Muhammad juga kemuliaan kita.”

Shafwan bin Umayyah sangat enggan menerima ajakan Khalid. Ia berkata, “Andaikan tak ada lagi yang tersisa selain diriku sendiri, sungguh aku tak akan pernah mengikutinya selama-lamanya.”

Akhirnya Khalid bin Walid meninggalkan Shafwan bin Umayyah. Ia berkata dalam hati, “Orang ini, saudara dan bapaknya terbunuh di Perang Badar.”

Kemudian Khalid berjumpa dengan Ikrimah bin Abu Jahal. Khalid berkata kepada Ikrimah seperti yang dikatakannya kepada Shafwan bin Umayyah. Jawaban yang diberikan Ikrimah juga sama dengan jawaban Shafwan bin Umayyah.

Lalu Khalid kembali ke rumahnya dan mempersiapkan kudanya. Ia mulai melangkah. Tiba-tiba ia bertemu dengan Utsman bin Thalhah yang merupakan sahabat dekatnya. Ia menyampaikan rencananya untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata Utsman menerima ajakannya. Akhirnya  keduanya pergi dengan tujuan yang sama. Di jalan mereka bertemu dengan Amru bin Ash. Amru berkata pada keduanya, “Marhaban.”

Marhaban bika,” balas keduanya.

“Mau ke mana kalian?” tanya Amru.

“Apa yang menyebabkan engkau keluar di waktu begini?” keduanya balik bertanya.

“Kalau kalian, apa yang menyebabkan kalian keluar?” Amru balas bertanya.

“Untuk masuk Islam dan mengikuti Muhammad,” jawab Khalid dan Utsman serentak.

“Itulah yang membuat aku datang ke sini,” timpal Amru sambil tersenyum.

Mereka berangkat sampai tiba di Madinah. Di jalan, sebelum bertemu Rasulullah, Khalid bertemu dengan saudaranya; al-Walid. Al-Walid berkata, “Cepatlah. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtelah mengetahui kedatanganmu dan beliau sangat gembira dengan kedatanganmu. Beliau sedang menunggu kalian.”

Mereka memeprcepat langkah dan segera masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Khalid lebih dulu masuk dan ia segera menyampaikan salam pada Rasulullah. Rasulullah membalas salamnya dengan wajah berseri.

Khalid segera berucap, “Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Mari ke sini!

Ketika Khalid bin Walid sudah mendekat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukimu. Aku memang sudah melihat kecerdasan dalam dirimu dan aku berharap semoga kecerdasan itu membawamu pada kebaikan.”

Setelah membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Khalid berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah banyak berada pada posisi yang menentang kebenaran, maka berdoalah kepada Allah untuk mengampuniku.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Islam akan menghapus segala dosa yang telah berlalu.”

Khalid melanjutkan, “Wahai Rasulullah, doakanlah aku!”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Ya Allah, ampunkanlah Khalid atas segala perbuatannya yang menghalangi manusia dari jalan-Mu.”

Kemudian Utsman bin Thalhah dan Amru ibnul Ash pun maju dan membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sejak hari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak pernah memberi sesuatu pun kepada para sahabatnya lebih banyak dari yang diberikannya kepada Khalid bin Walid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampernah berpesan kepada sahabat-sahabat yang lain,

Jangan sakiti Khalid karena sesungguhnya ia adalah pedang di antara pedang-pedang Allah yang Dia hunuskan pada orang-orang kafir.”

Abu Bakar ash-Shiddiq Menafsirkan Mimpi Khalid

Suatu kali Khalid bin Walid berjumpa dengan Abu Bakar ash-Shiddiq. Ia berkata dalam hati, “Aku akan sampaikan mimpi yang pernah kualami kepada Abu Bakar.”

Setelah Khalid menceritakan kepada Abu Bakar mimpi yang ia alami, Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya daerah hijau yang luas itu adalah jalan keluar yang menjadi tempat Allah menunjukimu pada Islam dan sesungguhnya daerah yang sempit itu adalah masa yang engkau lalui dalam kemusyrikan.”

Pembebasan Mekah

Khalid bin Walid telah masuk Islam. Ia membelakangi tuhan-tuhan nenek moyangnya dan seluruh bentuk pujaan kaumnya. Bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin lainnya ia menyongsong dunia baru. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menakdirkannya berada di bawah panji Rasulullah dan kalimat tauhid.

Pada saat pembebasan Mekah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk masuk ke Mekah dari arah atas. Khalid dan orang-orang bersamanya masuk ke Mekah dari tempat yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata ia dihadang oleh beberapa orang kaum Quraisy. Di antara meraka ada Shafwan bin Umayyah, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Suhail bin Amru. Mereka mengahalangi Khalid untuk masuk dan bahkan menghunus senjata serta melemparinya dengan ketapel. Khalid mengobarkan semangat sahabat-sahabatnya dan memerangi kaum Quraisy tersebut. Sebanyak 24 orang kaum Quraisy menemui ajal sementara 2 orang kaum muslimin menemui syahadah. Akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyempurnakan pembebasan Mekah untuk Rasul-Nya dan segenap kaum muslimin.

Diutus untuk Menghancurkan Uzza

Patung Uzza terletak di daerah Nakhlah. Suku Quraisy, Kinanah, dan Mudhar sangat mengagungkannya. Orang-orang yang memelihara dan yang menjaganya adalah Bani Syaiban (yang berasal) dari Bani Sulaim dan merupakan sekutu Bani Hasyim.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Khalid bin Walid untuk menghancurkan Uzza. Ketika penjaga patung Uzza yang berasal dari Bani Sulaim mendengar bahwa Khalid bin Walid sedang menuju ke sana untuk menghancurkannya, ia segera menggantungkan pedangnya di pundak patung Uzza tersebut. Kemudian ia naik ke atas bukit yang terletak di dekat sana lalu berkata,

“Wahai Uzza, siapkan dirimu, tak ada yang lain selainmu yang mampu menghadang Khalid yang telah siaga. Siapkan dirimu, karena jika engkau tidak membunuh Khalid, niscaya engkau akan ditimpa dosa yang dekat dan tak berdaya.”

Setelah Khalid sampai di sana, ia segera menghancurkan Uzza. Setelah kembali, Rasulullah bertanya kepadanya,

“Apa yang engkau lihat?”

Khalid menjawab, “Aku tidak melihat apa-apa.”

Rasulullah menyuruhnya untuk kembali ke sana. Ketika Khalid sampai ke tempat itu, dari dalam ruangan tempat patung Uzza dihancurkan keluarlah seorang wanita hitam yang menguraikan rambutnya sambil menaburkan tanah ke kepala dan mukanya. Khalid segera mengayunkan pedangnya dan berakhirlah hidup wanita itu. Khalid berkata,

“Wahai Uzza engkau dikufuri dan dirimu tidak suci. Aku lihat Allah telah menghinakanmu.”

Kemudian Khalid menghancurkan rumah (ruangan) tempat patung itu lalu ia ambil seluruh harta yang ada di sana. Setelah itu ia kembali. Ia ceritakan kepada Rasulullah semua hal yang terjadi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Itulah Uzza dan ia tak akan pernah disembah lagi untuk selama-lamanya.”

Bersambung….

Minggu, 22 April 2018

Perayaan Maulid Nabi Menurut Ijma' Ulama

PERINGATAN MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MENURUT SYARI’AT ISLAM

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang telah menyempurnakan agama Islam untuk hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadikan Sunnah Rasul-Nya sebagai sebaik-baik petunjuk yang diikuti. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para Shahabatnya.

Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama Islam bagi umatnya; menyempurnakan nikmat-Nya bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mewafatkan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali setelah beliau selesai menyampaikan segala sesuatu yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dengan jelas, baik berupa perkataan maupun perbuatan; juga setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa setiap hal baru yang diada-adakan oleh manusia dan disandarkan kepada agama Islam, baik berupa i’tiqâd (keyakinan), perkataan maupun perbuatan semua itu adalah bid’ah dan tertolak, walaupun maksudnya baik. Semua ini karena bid’ah merupakan penambahan terhadap ajaran agama dan mensyari’atkan sesuatu yang tidak diizinkan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta merupakan tasyabbuh (penyerupaan) dengan musuh-musuh Allah Azza wa Jalla dari golongan Yahudi dan Nasrani. Selain itu, melakukan bid’ah berarti pelecehan terhadap agama Islam dan menganggapnya tidak sempurna. Keyakinan ini mengandung kerusakan yang besar dan bertentangan dengan firman Allah Azza wa jalla dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan terhadap bid’ah.

Mengada-ada hal baru dalam agama, seperti peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala belum menyempurnakan agama-Nya bagi umat ini, atau beranggapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum menyampaikan segala sesuatu yang mesti dikerjakan umatnya. Tidak diragukan lagi, anggapan seperti ini mengandung bahaya besar lantaran menentang Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Karena Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi paling mulia dan terakhir. Nabi yang paling sempurna penyampaian dan ketulusannya. Seandainya Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu benar-benar termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkannya kepada umatnya; Atau paling tidak, pasti telah dikerjakan oleh para Shahabatnya. Tetapi, semua itu tidak terjadi. Dengan demikian, jelaslah hal itu bukan bagian dari ajaran Islam dan termasuk perkara yang diada-adakan (bid’ah) dan termasuk tasyabbuh (menyerupai) Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam hari-hari besar mereka

Diantara hal aneh dan mengherankan ialah banyak orang yang giat dan bersemangat menghadiri acara-acara yang bid’ah, bahkan membelanya, sementara mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban yang Allah Azza wa Jalla syari’atkan seperti shalat wajib, shalat Jum’at, dan shalat berjama’ah bahkan sebagian mereka terbiasa dengan perbuatan maksiat dan dosa-dosa besar. Mereka sadar bahwa mereka telah melakukan kemungkaran yang besar. Ini semua dikarenakan oleh lemahnya iman, dangkalnya pemikiran, serta banyaknya noda yang mengotori hati.

Lebih aneh lagi, sebagian pendukung maulid mengklaim bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menghadiri acara tersebut. Karena itu, mereka berdiri untuk menghormati dan menyambutnya. Ini merupakan kebatilan yang paling besar dan kebodohan yang amat buruk. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan bangkit dari kuburnya sebelum hari Kiamat, tidak berkomunikasi dengan seorang manusia pun, dan tidak menghadiri pertemuan-pertemuan umatnya sama sekali.

Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah dengan menyelenggarakan acara-acara perayaan maulid semacam itu, akan tetapi dengan mentaati perintahnya, membenarkan semua yang dikabarkannya, menjauhi segala yang dilarang dan diperingatkannya, dan tidak beribadah kepada Allah Azza wa Jalla kecuali dengan yang beliau syari’atkan.

ORANG YANG PERTAMA KALI MENGADAKAN MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah yang mungkar. Kelompok yang pertama kali mengadakannya adalah Bani ‘Ubaid al-Qaddah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah pada abad ke- 4 Hijriyah. Mereka menisbatkan diri kepada putra ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Padahal mereka adalah pencetus aliran kebatinan. Nenek moyang mereka adalah Ibnu Dishan yang dikenal dengan al-Qaddah, salah seorang pendiri aliran Bathiniyah di Irak.[1]

Para ulama ummat, para pemimpin, dan para pembesarnya bersaksi bahwa mereka adalah orang-orang munafik zindiq, yang menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran. Bila ada orang yang bersaksi bahwa mereka orang-orang beriman, berarti dia bersaksi atas sesuatu yang tidak diketahuinya, karena tidak ada sesuatu pun yang menunjukkan keimanan mereka, sebaliknya banyak hal yang menunjukkan atas kemunafikan dan kezindikan mereka.[2]

BEBERAPA ALASAN DILARANGNYA MEMPERINGATI MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Para ulama dahulu dan sekarang telah menjelaskan kebathilan bid’ah memperingati Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membantah para pendukungnya. Memperingati Maulid (kelahiran) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah bid’ah dan haram berdasarkan alasan-alasan berikut:

1. Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah yang dibuat-buat dalam agama ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menurunkan keterangan sedikit pun dan ilmu tentang itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkannya baik melalui lisan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” [al-Hasyr/59:7]

Juga berfirman :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah Azza wa Jalla dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak mengingat Allah Azza wa Jalla.” [al-Ahzâb/33: 21]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengadakan suatu yang baru yang tidak ada dalam urusan agama kami, maka amalan itu tertolak”.

Dalam riwayat Imam Muslim, “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak”.

2. Khulafa-ur Rasyidîn dan para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya tidak pernah mengadakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pernah mengajak untuk melakukannya. Padahal mereka adalah sebaik-baik umat ini setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

…فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَـفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ ، تَـمَسَّكُوْا بِـهَـا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.

”…Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâ-ur Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.” [3]

Peringatan maulid tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya. Seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah lebih dahulu melakukannya. al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah. Karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita. Sebab mereka tidak pernah mengabaikan satu kebaikan pun kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanakannya.”[4]

3. Peringatan hari kelahiran (ulang tahun/maulid) adalah kebiasaan orang-orang sesat dan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Karena yang pertama kali menciptakan kebiasaan tersebut adalah para penguasa generasi Fathimiyah Ubaidiyah, sebagaimana keterangan diatas. Mereka sebenarnya berasal dari kalangan Yahudi, bahkan ada pendapat mereka berasal dari kalangan Majusi. Bisa jadi, mereka adalah orang-orang Atheis.[5]

Orang yang pertama menciptakannya adalah al-Mu’iz Lidînillah al-‘Ubaidi al-Maghribi yang keluar dari Maroko menuju Mesir pada bulan Ramadhan tahun 362 H.[6]

Apakah layak bagi orang Muslim berakal untuk mengikuti Rafidhah dan mengikuti kebiasaan mereka serta menyelisihi petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?

4. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…” [al-Mâ-idah/5:3]

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah (wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini merupakan nikmat AllahSubhanahu wa Ta’alal terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala Allah Azza wa Jalla menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali yang disyari’atkannya. Semua yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama sekali. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

وَتَـمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلاًً “

Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (Al-Qur-an), (sebagai kalimat) yang benar dan adil …” [al-An’âm/6:115]

Maksudnya, benar dalam kabar yang disampaikan dan adil dalam seluruh perintah dan larangan. Setelah agama disempurnakan bagi mereka, maka sempurnalah nikmat yang diberikan kepada mereka.

Maka ridhailah Islam untuk diri kalian, karena ia agama yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karenanya Allah Azza wa Jalla mengutus Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling utama dan menurunkan Kitab yang paling mulia (Al-Qur`an).

Mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (al-Mâ-idah/5:3), ‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhuma, “Maksudnya adalah Islam. Allah Azza wa Jalla telah mengabarkan kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Mukminin bahwa Dia telah menyempurnakan keimanan untuk mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan penambahan sama sekali. Dan Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan Islam sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan pernah menguranginya, bahkan telah meridhainya sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan memurkainya selamanya.”[7]

Orang yang melaksanakan Sunnah-Sunnah dan meninggalkan bid’ah-bid’ah -termasuk bid’ah Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka mereka menjadi asing di masyarakat, pendukung perayaan ini. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dengan sangat jelas. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan satu jalan pun yang dapat menghantarkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah beliau jelaskan kepada umatnya. Kalau peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, tentu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya atau melakukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ

“Tidaklah Allah Azza wa Jalla mengutus seorang Nabi, kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang diketahuinya kepada ummatnya dan memperingatkan mereka terhadap keburukan yang diketahuinya kepada mereka.” [8]

5. Dengan mengadakan bid’ah-bid’ah semacam itu, timbul kesan bahwa Allah Azza wa Jalla belum menyempurnakan agama ini, sehingga perlu dibuat ibadah lain untuk menyempurnakannya. Juga menimbulkan kesan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum tuntas menyampaikan agama ini kepada umatnya sehingga kalangan ahli bid’ah merasa perlu menciptakan hal baru dalam agama ini. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi hamba-hamba-Nya.

6. Dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah, semua bid’ah adalah sesat sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

“Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” [9]

Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata.

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barangsiapa menganggap baik sesuatu (ibadah) maka ia telah membuat satu syari’at” [10]

Diantara kaidah ahli ilmu yang telah ma’ruf ialah bahwa “Perbuatan baik ialah yang dipandang baik oleh syari’at dan perbuatan buruk ialah apa yang dipandang buruk oleh syari’at.”[11]

Syaikh Hâfizh bin Ahmad bin ‘Ali al-Hakami rahimahullah (wafat th. 1377 H) berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa semua bid’ah itu tertolak tidak ada sedikitpun yang diterima; Semuanya jelek tidak ada kebaikan padanya; semuanya sesat tidak ada petunjuk sedikitpun di dalamnya; Semuanya adalah dosa tidak berpahala; Semuanya batil tidak ada kebenaran di dalamnya. Dan makna bid’ah ialah syari’at yang tidak diizinkan Allah Azza wa Jalla dan tidak termasuk urusan (agama) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.”[12]

Para ulama Islam dan para peneliti kaum Muslimin secara terus-menerus mengingkari budaya perayaan maulid tersebut dan mengingkarinya demi mengamalkan nash-nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasul yang memang memperingatkan bahaya bid’ah dalam Islam, memerintahkan agar mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta memperingatkan juga agar tidak menyelisihi beliau dalam ucapan, perbuatan, dan amalan.

7. Memperingati kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membuktikan kecintaan terhadap Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kecintaan itu hanya dapat dibuktikan dengan mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan Sunnah beliau, dan mentaati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku, niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Ali Imrân/3:31]

al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi tidak berada di atas jalan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia dusta dalam pengakuannya mencintai Allah Azza wa Jalla sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Disebutkan dalam kitab ash-Shahîh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak.”[13]

Oleh karena itu, maksud firman Allah Azza wa Jalla yang maknya : “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku. Niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihimu” adalah kalian akan mendapatkan sesuatu yang melebihi kecintaan kalian kepada-Nya, yaitu kecintaan-Nya kepada kalian. Ini lebih besar daripada kecintaan kalian kepada-Nya. Seperti yang dikatakan ulama ahli hikmah, “Yang jadi ukuran bukanlah jika engkau mencintai, tetapi yang jadi ukuran adalah jika engkau dicintai.” al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Ada suatu kaum yang mengaku mencintai Allah Azza wa Jalla, lalu Allah Azza wa Jalla menguji mereka melalui ayat ini …”

Kemudian firman Allah Azza wa Jalla yang maknanya, “Dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa Jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Maksudnya adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalian akan memperoleh pengampunan, berkat keberkahan utusan-Nya.”

8. Memperingati Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai perayaan berarti menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani dalam hari raya mereka, padahal kita telah dilarang untuk menyerupai mereka dan mengikuti gaya hidup mereka. [15]

9. Orang yang berakal tidak mudah terperdaya dengan banyaknya orang yang memperingati maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena tolok ukur kebenaran itu bukan jumlah orang yang mengamalkannya, namun berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Salafush Shâlih.

10. Berdasarkan kaidah syariat yaitu mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

” … Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan hari Kemudian” [an-Nisâ’/ 4:59]

Demikian juga dengan firman-Nya:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

“Tentang sesuatu apa pun yang kamu berselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah Azza wa Jalla.” [asy-Syûra/42: 10]

Orang yang mengembalikan persoalan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, dia akan mendapati bahwa Allah Azza wa Jalla memerintahkan manusia agar mengikuti Nabi-Nya. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan ataupun memperingati kelahiran beliau dan beliau sendiri, juga para sahabat beliau. Dengan demikian dapat diketahui bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah berasal dari Islam, tetapi merupakan perbuatan bid’ah.

11. Yang disyariatkan bagi seorang Muslim pada hari Senin adalah berpuasa, bila ia mau. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin, beliau bersabda, “Itu adalah hari kelahirkanku, hari aku diutus sebagai nabi, serta hari aku diberikan wahyu.” [16]

Yang disyariatkan adalah meneladani beliau, yaitu berpuasa pada hari Senin, bukan merayakan hari kelahiran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

12. Perayaan hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan/melampaui batas) terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang berbuat ghuluw.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ.

“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw dalam agama ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” [17]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari ssanjungan yang Allah berikan dan ridhai. Tetapi banyak orang melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, sampai-sampai ada yang berdo’a dan meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Sebagian dari perbuatan-perbuatan ini dilakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (tuan/penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.

“Sayyid (tuan/penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”

Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan :

قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.

“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan” [18]

Kebanyakan qashidah dan puji-pujian yang dinyanyikan oleh yang melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak lepas sikap berlebih-lebihan dan kultus individu terhadap Rasulullah bahkan terkadang mengandung ucapan-ucapan syirik. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تُطْرُوْنِـيْ كَمَـا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَـا أَنَا عَبْدُهُ ، فَقُوْلُوْا : عَبْدُ اللهِ وَ رَسُوْلُهُ.

“Janganlah kalian mengkultuskan diriku sebagaimana orang-orang Nashrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya” [19]
.
Maksudnya, janganlah kalian memujiku dengan cara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissalam. Sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku. Katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”[20]

13. Berbagai perbuatan syirik, bid’ah, dan haram yang terjadi dalam peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dalam perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering terjadi hal-hal yang diharamkan, seperti kesyirikan, bid’ah, bercampur baurnya kaum laki-laki dan wanita, menggunakan nyanyian dan alat musik, rokok, dan lainnya. Bahkan sering terjadi perbuatan syirik Akbar (besar), seperti istigâtsah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para wali, penghinaan terhadap Kitabullah, di antaranya dengan merokok pada saat majelis Al-Qur’an, sehingga terjadilah kemubadziran dan membuang-buang harta. Sering juga diadakan dzikir-dzikir yang menyimpang di masjid-masjid pada acara Maulid Nabi tersebut dengan suara keras diiringi tepuk tangan yang tak kalah kerasnya dari pemimpin dzikirnya. Semuanya itu adalah perbuatan yang tidak disyariatkan berdasarkan kesepakatan para ulama yang berpegang teguh kepada kebenaran.[21]

14. Dalam peringatan maulid terdapat keyakinan batil bahwa ruh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri acara-cara maulid yang mereka adakan.

Dengan alasan itu mereka berdiri dengan mengucapkan selamat dan menyambut kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itu jelas perbuatan paling bathil dan paling buruk sekali. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan keluar dari kubur beliau sebelum hari kiamat dan tidak akan berhubungan dengan seseorang (dalam keadaan sadar), tidak pula hadir dalam pertemuan-pertemuan mereka. Beliau akan tetap berada dalam kubur beliau hingga hari Kiamat. Ruh beliau berada di ‘Illiyyin yang tertinggi di sisi Rabb beliau dalam Dârul Karâmah.[22]

Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula).” (az-Zumar/39:30). Dan dalam ayat yang lain, Allah Azza wa Jalla berfirman yang maknanya, “Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.” [al-Mukminûn/23: 15-16].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ

“Aku adalah penghulu manusia di hari Kiamat nanti dan orang yang pertama kali keluar dari alam kubur, serta orang yang pertama kali memberi syafa’at dan yang menyampaikan syafa’at”[23]

Ayat dan hadits di atas serta berbagai ayat dan hadits senada lainnya menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang sudah mati lainnya akan keluar dari kubur mereka pada hari Kiamat nanti. al-Allâmah Abdul Aziz bin Abdullâh bin Bâz rahimahullah menyatakan, “Ini adalah pendapat yang sudah disepakati oleh para ulama kaum Muslimin, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka.” [24]

Sebagai tambahan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau dihormati dengan berdiri. Lalu bagaimana bisa mereka menghormati beliau n dengan cara berdiri setelah beliau wafat.

HAKIKAT MENCINTAI RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Orang yang benar-benar mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang menampakkan tanda-tanda tertentu pada dirinya. Diantaranya adalah:

1. Mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mentauhidkan Allah Azza wa Jalla, menjauhi syirik, mengerjakan Sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beradab dengan adabnya.

2. Lebih mendahulukan perintah dan syari’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada hawa nafsu dan keinginan dirinya.

3. Banyak bershalawat untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan Sunnahnya. Allah Azza wa Jalla berfirman.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi k dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya” [al-Ahzâb/33:56]

4. Mencintai orang yang dicintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik keluarga maupun Shahabatnya yang Muhajirin dan Anshar serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan membenci orang yang membencinya.

5. Mencintai al-Qur’ân yang diturunkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencintai Sunnahnya, dan mengetahui batas-batasnya.[25]

FATWA PARA ULAMA TENTANG BID’AHNYA PERAYAAN MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Berikut ini adalah beberapa fatwa para ulama yang menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah dhalâlah.

1. Al-‘Allâmah asy-Syaikh Tâjuddin al-Fakihani rahimahullah (wafat th. 734 H) berkata :
“Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan Maulid ini, baik dari al-Qur-an, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalan salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (maulid) tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu…”[26]

2. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan ‘îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.”[27]

3. al-‘Allâmah Ibnul Hajj rahimahullah (wafat th. 737) menjelaskan tentang peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“…Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.”[28]

4. Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh berkata:
“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka…”[29]

5. Syaikh Hamûd bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri rahimahullah berkata:
“…Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya.

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“…Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” [an-Nûr/24:63]

Jika dalam acara maulid yang diada-adakan ini ada sedikit saja kebaikan maka para Shahabat telah bergegas melakukannya…”[30]

6. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
Pertama: bahwa malam kelahiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, menjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.

Kedua: dari sudut pandang syari’at maka peringatan ini tidak memiliki dasar. Karena jika ia termasuk syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya atau menyampaikannya kepada umatnya. Seandainya beliau telah melakukannya atau telah menyampaikannya maka hal itu pasti terjaga karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti Kami pula yang memeliharanya.” [al-Hijr/15:9]

Karena tidak ada sesuatu pun yang terjadi dari hal itu maka dapat diketahuilah bahwa Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak termasuk agama Allah. Jika tidak termasuk agama Allah maka kita tidak boleh beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengannya. Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah meletakkan jalan tertentu agar dapat sampai kepada-Nya yaitu apa yang dibawa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bagaimana bisa kita selaku hamba Allah diperbolehkan untuk membuat jalan sendiri yang mengantarkan kepada Allah ? Ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah Azza wa Jalla, yaitu mensyari’atkan dalam agama Allah sesuatu yang bukan bagian darinya. Juga hal ini mengandung pendustaan terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya : “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu…” [al-Mâidah/5: 3]” [31]

7. Syaikh Shâlih bin Fauzân bin ‘Abdullâh al-Fauzan hafizhahullâh berkata:
“Melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah. Tidak pernah dinukil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dari para Khulafâ-ur Râsyidîn, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu bentuk ketaatan pun kecuali yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang maknanya : “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” [al-Hasyr/59:7]

Maka ketika mereka tidak melakukan peringatan maulid ini, dapat diketahuilah bahwa perbuatan itu adalah bid’ah…

Kesimpulannya bahwa menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk perbuatan bid’ah yang diharamkan yang tidak memiliki dalil baik dari Kitabullâh maupun dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam…”[32]

Demikian uraian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada keluarganya, para Shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Akhir. Dan akhir seruan kami ialah segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.

Marâji’ :
1. Tafsîr Ibni Katsîr, cet. Dâr Thayyibah.
2. Majmû Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
3. Iqtidhâ ash-Shirâtil Mustaqîm.
4. al-Madkhal, Imam Ibnul Hajj.
5. Siyar A’lâmin Nubalâ.
6. al-Bâ’its ‘ala Inkâril Bida’ wal Hawâdits.
7. Ma’ârijul Qabûl, Syaikh Hafizh al-Hakami.
8. al-Bida’ fii Madhâril ‘Ibtida’, Syaikh ‘Ali Mahfuzh.
9. Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bil Maulidin Nabawi.
10. Nûrus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah, Syaikh Sa’id al-Qahthani.
11. Tanbîhu Ulil Abshâr, Syaikh Shâlih as-Suhaimi.
12. ‘Ilmu Ushûl Bida’, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.
13. al-Bida’ al-Hauliyyah.
14. Majmû Fatâwâ Syaikh ‘Utsaimin.
15. al-Muntaqa min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân.
16. Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ-imah.
Dan kitab-kitab lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 137).
[2]. Fadhâ-ih al-Bâthiniyyah (hlm. 37) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahj . Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 143).
[3]. Shahîh: HR. Ahmad (IV/126-127), Abû Dâwud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Dârimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205), al-Hâkim (I/95), dishahîhkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Irwâ-ul Ghalîl (no. 2455) dari Shahabat al-‘Irbâdh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu.
[4]. Tafsîr Ibni Katsîr (VII/278-279) cet. Dâr Thayyibah
[5]. Lihat Siyar A’lâmin Nubalâ (XV/213)
[6]. Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah oleh Ibnu Katsîr (XI/272-273, 345, XII/267-268, VI/232, XII/ 63, XI/161, XII/13, XII/266). Lihat juga Siyar A’lâmin Nubalâ oleh adz-Dzahabi (XV/159-215). Dikisahkan bahwa Raja al-Ubaidiyah yang terakhir adalah al-Adidh Lidînillah. Ia dibunuh oleh Shalâhuddin al-Ayyûbi th. 564 H. adz-Dzahabi menyatakan : “Kekuasaan al-Adidh mulai luntur bersamaan dengan masuknya Shalâhuddin al-Ayyûbi sampai akhirnya beliau melepas kekuasaan itu dari al-Adidh. Beliau t bekerja sama dengan Bani Abbâs, menghancurkan Bani Ubaid dan melenyapkan keyakinan Syî’ah Râfidhah. Jumlah mereka adalah empat belas raja yang mengaku sebagai khalîfah, padahal bukan khalifah. al-Adidh secara bahasa artinya adalah sang pemotong. Karena dia yang memotong kekuasaan keluarganya.” (XV/212).
[7]. Tafsîr Ibni Katsîr (III/26-27) dengan diringkas.
[8]. Shahîh: HR. Muslim (no. 1844).
[9]. Shahîh: HR. an-Nasâ-i (III/189).
[10]. al-Bâ’its ‘alâ Inkâril Bida’ wal Hawâdits (hlm. 50).
[11]. Lihat ‘Ilmu Ushûl Bida’ (hal. 119-120).
[12]. Ma’ârijul Qabûl (II/519-520).
[13]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 2697) dan Muslim (no. 1718)
[14]. Tafsîr Ibni Katsîr (II/32).
[15]. Lihat Iqtidhâush Shirâtil-Mustaqîm Mukhâlafatu Ash-hâbil Jahîm oleh Ibnu Taimiyyah (II/614-615), juga dalam Zâdul Ma’âd oleh Ibnul Qayyim (I/59).
[16]. Shahîh: HR. Muslim (no. 1162).
[17]. Shahîh: HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasâ-i (V/268), Ibnu Mâjah (no. 3029), Ibnu Khuzaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhu.
[18]. Shahîh: HR. Abû Dâwud (4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (211/ Shahîhul Adâbil Mufrad no 155), an-Nasâ-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (247, 249).
[19]. Shahîh: HR. Al-Bukhâri (3445).
[20]. Aqîdatut Tauhîd (hal 151).
[21]. Lihat al-Ibdâ’ fîi Madhâril Ibtidâ’ oleh Syaikh Ali Mahfûzh (251-252).
[22]. Lihat at-Tahdzîr minal Bida’ oleh al-Allâmah Imam Abdul Aziz bin Bâz (13).
[23]. Shahîh: HR. Muslim (2278).
[24]. At-Tahdzîr minal Bida’ (hal. 14)
[25]. Dinukil dari al-Bida’ al-Hauliyah (hal. 192-193) dengan diringkas.
[26]. Al-Maurid fii ‘Amalil Maulid. Dinukil dari Rasâ-il fî Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/7-14) dengan ringkas.
[27]. Majmû’ Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXV/298).
[28]. Al-Madkhal (II/234-235).
[29]. Hukmul Ihtifâl bil Maulid an-Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/57) dengan ringkas.
[30]. Ar-Raddul Qawiy ‘ala ar-Rifâ’i wal Majhûl wa Ibni ‘Alawi wa Bayân Ahkhtâ-ihim fil Maulidin Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/70) dengan ringkas.
[31]. Majmû’ Fatâwâ wa Rasâ-il Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (II/298) dengan diringkas.
[32]. Al-Muntaqâ min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân (II/185-186) dengan diringkas.