Minggu, 22 Oktober 2017

Macam-macam tauhid

Macam-Macam Tauhid dan Penjelasannya

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembahasan Tauhid merupakan hal yang paling penting dalam islam, karena tauhid dalam hal ini mengambil posisi penting menjadi inti pondasi dari sebuah ‘Aqidah Islam. Seiring berkembangnya masyarakat, tauhid dalam posisinya yang sangat penting ini cenderung sedikit demi sedikit dilupakan oleh umat islam sendiri. Tentunya beragam faktor yang telah mengancam lunturnya tauhid ini. Urusan-urusan duniawi mungkin adalah faktor yang sangat dominan dalam hal ini. Tak heran, kerap kita temukan banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan kita.
Padahal, seperti yang kita ketahui bersama bahwa islam sebagai rahmatan lil ‘alamin telah mengatur kehidupan ini tidak hanya ukhrawi saja, namun kehidupan duniawi pun juga diatur. Permasalahannya adalah, kita sebagai seorang muslim secara tidak sadar telah melupakan sendi-sendi pokok ajaran islam. Tauhid sebagai salah satu unsurnya yang menjadi pilar pokok dalam kehidupan justru semakin luntur akan perkembangan zaman.
Melalui makalah ini, penyusun berusaha mengingatkan kembali bagaimana esensi sebenarnya tauhid, sehingga diharapkan pembaca menjadi paham akan pentingnya tauhid ini. Tidak hanya sekedar paham akan maknanya saja, tetapi bagaimana kemudian kita sebagai seorang muslim mampu mengaplikasikannya kedalam kehidupan sehari-hari.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana dalil-dalil mengenai tauhid ?
2. Apa saja macam-macam tauhid ?
3. Bagaimana penjelasan macam-macam tauhid tersebut ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tauhid dan Macam-Macamnya
Kata “Tauhid” berasal dari akar kata bahasa Arab (وحّد – يوحّد – توحيدا) yang berarti “menjadikan sesuatu satu atau esa”. توحيد الله berati menjadikan, mengakui dan meyakini bahwa Allah Esa. Tauhid adalah pembahasan mengenai pengokohan keyakinan-keyakinan agama Islam dengan dalil-dalil naqli maupun aqli yang pasti kebenarannya sehingga dapat menghilangkan semua keraguan atau ilmu yang disebut tentang mengesakan Allah. Tauhid mempunyai beberapa macam, ada tauhid uluhiyah, tauhid ubudiyah, dan tauhid rububiyah.
Macam-Macam Tauhid menurut pembagiannya:
1. Tauhid Rububiyah
Rububiyah berasal dari kata Rabb, dari sisi bahasa berarti tuan dan pemilik. Dikatakan Rabb ad-Dar berarti tuan rumah Secara etimologi yaitu menumbuhkan, mengembangkan, sedangkan secara terminology berarti keyakinan bahwa Allah swt. Adalah Tuhan Pencipta semua makhluk dan alam semesta.

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُوسَى أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ أَخْبَرَنَا لَيْثُ بْنُ سَعْدٍ وَابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَجَّاجِ قَالَ ح و حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا لَيْثُ بْنُ سَعْدٍ حَدَّثَنِي قَيْسُ بْنُ الْحَجَّاجِ الْمَعْنَى وَاحِدٌ عَنْ حَنَشٍ الصَّنْعَانِيِّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Musa telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah bin Al Mubarak telah mengkhabarkan kepada kami Laits bin Sa’ad dan Ibnu Lahi’ah dari Qais bin Al Hajjaj berkata, dan telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abdurrahman telah mengkhabarkan kepada kami Abu Al Walid telah menceritakan kepada kami Laits bin Sa’ad telah menceritakan kepadaku Qais bin Al Hajjaj -artinya sama- dari Hanasy Ash Shan’ani dari Ibnu Abbas berkata: Aku pernah berada di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pada suatu hari, beliau bersabda: “Hai ‘nak, sesungguhnya aku akan mengajarimu beberapa kalimat; jagalah Allah niscaya Ia menjagamu, jagalah Allah niscaya kau menemui-Nya dihadapanmu, bila kau meminta, mintalah pada Allah dan bila kau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah, ketahuilah sesungguhnya seandainya ummat bersatu untuk memberimu manfaat, mereka tidak akan memberi manfaat apa pun selain yang telah ditakdirkan Allah untukmu dan seandainya bila mereka bersatu untuk membahayakanmu, mereka tidak akan membahayakanmu sama sekali kecuali yang telah ditakdirkan Allah padamu, pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering. (maksudnya takdir telah ditetapkan).”

Tahqiq dan Takhrij hadis 
Nama Perawi Wafat Kalangan(Masa) Komentar Ulama
Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib bin Hasyim – Sahabat Sahabat
Hanasy bin ‘Abdullah 100 H Tabi’in Pertengahan Tsiqah
Qais bin Al Hajaj bin Khaliy 129 H Tabi’in akhir Shaduq
Laits bin Sa’ad bin ‘Abdur Rahman 175 H Tabi’ut Tabi’in Tsiqah
Abdullah bin Al Mubarak bin Wadlih 181 H Tabi’ut Tabi’in Tsiqah
Ahmad bin Muhammad bin Musa 238 H Tabi’ul Atba’ Tsiqah Hafidz

Hadist mengenai tauhid Rububiyah ini, mempunyai sanad dari rawi-rawi yang tsiqoh. Sehingga hadist ini mempunyai kualitas shahih untuk keseluruhan rawinya dan Hadisnya.

2. Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah artinya mengesakan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib disembah dan tidak ada tuhan lain selain Dia. Pengakuan dan keyakinan bahwa Allah swt adalah satu-satunya Dzat yang berhak disembah yang direalisasikan dalam bentuk ibadah.

حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا رَوْحُ بْنُ الْقَاسِمِ عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْقُوبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Artinya:
“Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Rauh bin Al Qasim dari Al Ala` bin Abdurrahman bin Ya’qub dari ayahnya dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: ‘Aku adalah sekutu yang paling tidak memerlukan sekutu, barangsiapa melakukan suatu amalan dengan menyekutukanKu dengan selainKu, Aku meninggalkannya dan sekutunya.”
Tahqiq dan Takhrij hadis
Nama Perawi Wafat Kalangan(Masa) Komentar Ulama
Abdur Rahman bin Shakhr 57 H Sahabat Sahabat
Abdur Rahman bin Ya’qub – Tabi’in Pertengahan Tsiqah
Al ‘Alaa’ bin ‘Abdur Rahman bin Ya’qub 132 H Tabi’in Tsiqah
Rauh bin Al Qasim 141 H Tabi’in Akhir Tsiqah Hafidz
Isma’il bin Ibrahim bin Muqsim 193 H Tabi’ut Tabi’in Tsiqah
Zuhair bin Harb bin Syaddad 234 H Tabi’ul Atba’ Tsiqah Tsabat

Hadist mengenai tauhid Uluhiyah ini, mempunyai sanad dari rawi-rawi yang tsiqoh. Sehingga hadist ini mempunyai kualitas shahih untuk keseluruhan rawinya dan Hadisnya.
3. Tauhid Ubudiyah
Suatu keyakinan bahwa Allah swt, merupakan Yuhan yang patut disembah, ditaati, dipuja dan diagungkan. menghambakan diri dengan keikhlasan tanpa disertai penyimpangan dan penyesatan. Sehingga beliau juga menyebutkan mengenai perincian dari hakikat tauhid bahwa, “ tidaklah disebut bertauhid hingga mengakui bahwa tiada tuhan selain allah. Dan juga mengakui bahwa dialah ilah yang sesungguhnya bagi hamba. Lalu menyerukan peribadatan hanya kepada allah tanpa disertai penyelewengan.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَيْفِيٍّ عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah telah mengabarkan kepada kami Zakariya’ bin Ishaq dari Yahya bin ‘Abdullah bin Shayfiy dari Abu Ma’bad sahayanya Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata; Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam berkata, kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyalahu’anhu ketika Beliau mengutusnya ke negeri Yaman: “Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum Ahlul Kitab, jika kamu sudah mendatangi mereka maka ajaklah mereka untuk bersaksi tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka telah mentaati kamu tentang hal itu, maka beritahukanlah mereka bahwa Allah mewajibkan bagi mereka shalat lima waktu pada setiap hari dan malamnya. Jika mereka telah mena’ati kamu tentang hal itu maka beritahukanlah mereka bahwa Allah mewajibkan bagi mereka zakat yang diambil dari kalangan orang mampu dari mereka dan dibagikan kepada kalangan yang faqir dari mereka. Jika mereka mena’ati kamu dalam hal itu maka janganlah kamu mengambil harta-harta terhormat mereka dan takutlah terhadap do’anya orang yang terzholimi karena antara dia dan Allah tidak ada hijab (pembatas yang menghalangi) nya”.
Tahqiq dan Takhrij hadis
Nama Perawi Wafat Kalangan(Masa) Komentar Ulama
Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib bin Hasyim 68 H Sahabat Sahabat
“Nafidz, maula Inbu ‘Abbas” 104 H Tabi’in Pertengahan Tsiqah
Yahya bin ‘Abdullah bin Muhammad bin Shaifiy – Tabi’in Akhir Tsiqah
Zakariya bin Ishaq – Tabi’in Akhir Tsiqah
Abdullah bin Al Mubarak bin Wadlih 181 H Tabi’ut Tabi’in Tsiqah Tsabat
Muhammad bin Muqatil 226 H Tabi’ut Tabi’in Tsiqah

Hadist mengenai tauhid Ubudiyah ini, mempunyai sanad dari rawi-rawi yang tsiqoh. Sehingga hadist ini mempunyai kualitas shahih untuk keseluruhan rawinya dan Hadisnya.
Tauhid ubudiyyah adalah perbuatan yang mengesakan Allah bardasarkan niat taqarrub dalam melakukan berbagai macam ibadah yang disyari’atkan. Seperti berdo’a, sholat, thawaf memohon pertolongan pada Allah, menyembelih hewan kurban, bernadzar dll. Dalam kata lain tauhid ubudiyyah adalah ilmu ikatan kepercayaan karena dalam pengetahuan ini ada pasal-pasal yang harus diikat dan ditanamkan dalam hati yang harus menjadi kepercayaan yang teguh yang menjadi dasar-dasar pokok agama.

B. Ayat-ayat al-Qur’an yang berkorelasi
                           
Artinya:”Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.”
   •  •                         
Artinya:” Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. yang (berbuat) demikian Itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.
                 
Artinya:” Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).
C. Pendapat para ahli: mutakallimun, fuqaha’, muhadditsun, mufassirun, Islamis/islamolog
Menurut Yazid bin Abdul Qadir Jawas, tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila hal itu disyari’atkan oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’anah (minta pertolongan), isthighotsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’adzah (meminta perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karena-Nya.
Syekh Ibnu Taimiyah menjelaskan dalam kitabnya bahwa, kebutuhan seorang hamba untuk menyembah Allah SWT tanpa menyekutukannya dengan sesuatu apapun tidak memiliki bandingan yang dapat dikiaskan, tetapi dari sebagian segi mirip dengan kebutuhan jasad kepada makanan dan minuman. Akan tetapi, diantara keduanya ini terdapat perbedaan mendasar. Karena, hakikat seorang hamba adalah hati dan rohnya, ia tidak bisa baik, kecuali dengan Allah SWT yang tiada tuhan selainnya. Ia tidak bisa tenang di dunia, kecuali dengan mengingat nya. Seandainya hamba memperoleh kenikmatan dan kesenangan tanpa Allah SWT, maka hal itu tidak akan berlangsung lama,tetapi akan berpindah-pindah dari satu macam ke macam yang lain, dari satu orang kepada orang lain. Adapun tuhannya, maka dia dibutuhkan setiap saat dan setiap waktu, dimanapun ia berada, maka dia akan selau bersamanya.
Menurut Abdurrahman Nashir Tauhid ubudiyyah yaitu mengetahui bahwa Allah adalah yang mempunyai sifat uluhiyah dan ‘ubudiyah terhadap semua hambaNya. Penyendirian ketunggalan dalam peribadatan seluruhnya dan menyukian din hanya kepada Allah Yang Maha Tunggal. Inilah penetapan terakhir yang menguatkan tauhid rububiyyah dan asma’ wa shifat. Sebab sebenarnya tauhid ini merupakan sifat yang sempurna dan megah dan dan sudah termasuk penggabungan Rububiyah dan kemuliaannya.

D. Analisis, respons penulis, review, komentar kritis
Hakikat tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Menujukan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya, dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Ibadah itu sendiri harus dibangun di atas landasan cinta dan pengagungan kepada-Nya. Berdasarkan hadis diatas bahwa, Allah SWT memang tunggal. Tidak ada satu zat pun yang bisa menyamai Allah SWT. Oleh karena itu, kita sebagai manusia, yang notabene sebagai makhluk Allah SWT haruslah meyakini Allah hanya satu. Kita meminta apapun juga hanya kepada Allah SWT. Apabila kita berbuat syirik kepada Allah SWT maka Allah akan menimpakan hukuman pada kita.
Iman terhadap Rububiyah Allah, artinya mengimani bahwa Allah semata sebagai Rabb, tidak ada sekutu dan pembantu bagi-Nya. Rabb artinya adalah yang mencipta, menguasai, dan memerintah. Itu artinya tidak ada pencipta selain Allah. Tidak ada penguasa selain Dia. Tidak ada perintah kecuali wewenang-Nya. Tidak pernah diketahui ada seorang pun di antara manusia ini yang mengingkari rububiyah Allah Yang Maha Suci kecuali karena faktor kesombongan dan tidak dilandaskan dengan keyakinan atas apa yang diucapkannya. Hal itu sebaagaimana yang terjadi pada diri Fir’aun ketika dia berkata kepada kaumnya. Urusan Allah Yang Maha Suci meliputi urusan kauni (alam) dan urusan syar’i (syari’at). Sebagaimana Allah adalah pengatur alam semesta dan pemutus perkara di dalamnya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya dan menurut ketetapan hikmah-Nya. Maka demikian pula Allah menjadi hakim/pemutus urusan di dalamnya dengan mensyari’atkan berbagai macam ibadah dan hukum mu’amalah sesuai dengan tuntutan hikmah/kebijaksanaan-Nya. Barangsiapa yang mengangkat selain Allah sebagai pembuat syari’at bersama-Nya dalam perkara ibadah, atau menjadikannya sebagai hakim/pemutus urusan dalam hal mu’amalah, maka sesungguhnya dia telah mempersekutukan Allah dan belum dianggap mewujudkan keimanan.
Tauhid ubudiyyah adalah perbuatan yang mengesakan Allah bardasarkan niat taqarrub dalam melakukan berbagai macam ibadah yang disyari’atkan. Seperti berdo’a, sholat, thawaf memohon pertolongan pada Allah, menyembelih hewan kurban, bernadzar dll. Dalam kata lain tauhid ubudiyyah adalah ilmu ikatan kepercayaan karena dalam pengetahuan ini ada pasal-pasal yang harus diikat dan ditanamkan dalam hati yang harus menjadi kepercayaan yang teguh yang menjadi dasar-dasar pokok agama.

E. Simpulan 
Ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang mesti ada padaNya, sifat-sifat yang boleh ada padaNya, sifat-sifat yang tidak boleh ada padaNya; membahas tentang para Rasul untuk menetapkan keutusan mereka, sifat-sifat yang mesti dipertautkan kepada mereka, sifat-sifat yang boleh dipertautkan kepada mereka,dan sifat yang tidak mungkin ada pada mereka.
Tauhid sebagai salah satu pilar dalam beragama islam mempunyai 3 macam jenis. Pertama, tauhid uluhiyah. Kedua, tauhid rububiyah. Dan ketiga, tauhid ‘Ubudiyah. Ketiga macam tauhid ini mempunyai persamaan, yaitu sama-sama kita sebagai makhluk Allah SWT harus mengesakan Allah SWT, hanya saja wujud kita dalam mengesakan Allah SWT yang berbeda-beda.
Obyek kajian Ilmu Tauhid berupa :
1. Hal-hal yang berkaitan dengan Allah: dzat, sifat, maupun perbuatannya
2. Hal-hal yang berkaitan dengan Rasulullah: kerasulannya, sifat yang ada padanya
3. Hal-hal yang berkaitan dengan alam barzah dan akhirat: hisab, surga, dan neraka

Daftar Pustaka
At-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 6 dan 74-76, lihat juga al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/26] karya Imam ar-Raghib al-Ashfahani.
Rahman,Muhammad.1999.Dasar-Dasar Ketauhidan.Grafindo:Jakarta.
Makna tauhid, ahmad firdaus,2009
Kitab al-Bab al-Hadi ‘Asyr, karya Allamah al-hilli.
Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 56).

Bersikap Muahadah, Mujahadah, Muraqabah, Muhasabah, dan Muaqabah dalam Membangun Hari Esok yang lebih baik

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa (orang) memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al Hasyr : 18)

Adalah menjadi kewajiban setiap orang merancang dan mempersiapkan hari esok yang lebih baik.

Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa seorang akan merugi kalau hari esoknya sama saja dengan hari ini, bahkan dia menjadi terkutuk jika hari ini lebih buruk dari kemarin. Seseorang baru dikatan bahagia, jika hari esok itu lebih baik dari hari ini.

Membangun hari esok yang baik, sesuai dengan ayat (wahyu Allah SWT) di atas dimulai dengan perintah bertaqwa kepada Allah dan di akhiri dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berfikir, serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok haruslah dengan taqwa.

Semestinya orang Mukmin punya langkah antisipatif terhadap kemungkinan yang dapat terjadi esok disebabkan kelalaian hari ini.

Seorang mukmin sudah dapat memprediksi dan mempersiapkan hari esok yang lebih baik, dinamis, lebih mapan, lebih produktif dari pada hari ini.

Simpulannya, mesti ada peningkatan prestasi dari hari ke hari. Hari esok dapat berarti masa depan dalam kehidupan pendek di dunia ini.

Hari esok juga berarti pula hari esok yang hakiki, yang kekal abadi di akhirat kelak.

Hari esok mesti dirancang harus lebih baik dari hari ini, dengan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, dengan melaksanakan lima “M ” ; yaitu Mu’ahadah, Mujahadah, Muraqabah, Muhasabah, dan Mu’aqabah.[1]

1. Mu’ahadah

Mu’ahadah adalah mengingat perjanjian dengan Allah SWT. Sebelum manusia lahir ke dunia, masih berada pada alam gaib, yaitu di alam arwah, Allah telah membuat “kontrak” tauhid dengan ruh.

Kontrak tauhid ini terjadi ketika manusia masih dalam keadaan ruh belum berupa materi (badan jasmani). Karena itu, logis sekali jika manusia tidak pernah merasa membuat kontrak tauhid tersebut.

Mu’ahadah konkritnya diikrarkan oleh manusia mukmin kepada Allah setelah kelahirannya ke dunia, berupa ikrar janji kepada Allah. Wujudnya terefleksi minimal 17 kali dalam sehari dan semalam, bagi yang menunaikan shalat wajib, sebagaimana tertera di dalam surat Al Fatihah ayat 5 yang berbunyi: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Artinya, engkau semata wahai Allah yang kami sembah, dan engkau semata pula tempat kami menyandarkan permohonan dan permintaan pertolongan.

Ikrar janji ini mengandung ketinggian dan kemantapan aqidah. Mengakui tidak ada lain yang berhak disembah dan dimintai pertolongan, kecuali hanya Allah semata.

Tidak ada satupun bentuk ibadah dan isti’anah (Permintaan Pertolongan) yang boleh dialamatkan kepada selain Allah SWT.[2]

Mu’ahadah yang lain adalah ikrar manusia ketika mengucapkan kalimat “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya kuperuntukkan (ku-abdikan) bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam.”

2. Mujahadah

Mujahadah berarti bersungguh hati melaksanakan ibadah dan teguh berkarya amal shaleh, sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT yang sekaligus menjadi amanat serta tujuan diciptakannya manusia.

Dengan beribadah, manusia menjadikan dirinya ‘abdun (hamba) yang dituntut berbakti dan mengabdi kepada Ma’bud (Allah Maha Menjadikan) sebagai konsekuensi manusia sebagai hamba wajib berbakti (beribadah).

Mujahadah adalah sarana menunjukkan ketaatan seorang hamba kepada Allah, sebagai wujud keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya. Di antara perintah Allah SWT kepada manusia adalah untuk selalu berdedikasi dan berkarya secara optimal.

Hal ini dijelaskan di dalam Al Qur’an Surat At Taubah ayat: 5,

“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa-apa yang telah kamu kerjakan.”

Orang-orang yang selalu bermujahadah merealisasikan keimanannya dengan beribadah dan beramal shaleh dijanjikan akan mendapatkan petunjuk jalan kebenaran untuk menuju (ridha) Allah SWT hidayah dan rusyda yang dijanjikan Allah diberikan kepada yang terus bermujahadah dengan istiqamah.

Kecerdasan dan kearifan akan memandu dengan selalu ingat kepada Allah SWT, tidak terpukau oleh bujuk rayu hawa nafsu dan syetan yang terus menggoda.

Situasi batin dari orang-orang yang terus musyahadah (menyaksikan) keagungan Ilahi amat tenang. Sehingga tak ada kewajiban yang diperintah dilalaikan dan tidak ada larangan Allah yang dilanggar.

Jiwa yang memiliki rusyda terus hadir dengan khusyu’. Inilah sebenarnya yang disebut mujahidin ‘ala nafsini wa jawarihihi, yaitu orang yang selalu bersungguh dengan nuraninya dan gerakannya.

Syeikh Abu Ali Ad Daqqaq mengatakan: “Barangsiapa menghias lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadah.”

Imam Al Qusyairi an Naisaburi [3] mengomentari tentang mujahadah sebagai berikut:

« Jiwa mempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam mencari kebaikan; Pertama larut dalam mengikuti hawa nafsu, Kedua ingkar terhadap ketaatan.

Manakala jiwa ditunggangi nafsu, wajib dikendalikan dengan kendali taqwa. Manakala jiwa bersikeras ingkar kepada kehendak Tuhan, wajib dilunakkan dengan menolak keinginan hawa nafsunya.

Manakala jiwa bangkit memberontak, wajib ditaklukkan dengan musyahadah dan istigfar.

Sesungguhnya bertahan dalam lapar (puasa) dan bangun malam di perempat malam (tahajjud), adalah sesuatu yang mudah.

Sedangkan membina akhlak dan membersihkan jiwa dari sesuatu yang mengotorinya sangatlah sulit. »

Mujahadah adalah suatu keniscayaan yang mesti diperbuat oleh siapa saja yang ingin kebersihan jiwa serta kematangan iman dan taqwa.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيد ِ * إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ * مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Dan sesunggunya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan adal di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Q.S. Qaaf: 16-18).

3. Muraqabah

Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.

Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.

Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, « “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari.” »

Syeikh Abu Utsman Al Maghriby mengatakan, « “Abu Hafs mengatakan kepadaku, ‘manakala engkau duduk mengajar orang banyak jadilah seorang penasehat kepada hati dan jiwamu sendiri dan jangan biarkan dirimu tertipu oleh ramainya orang berkumpul di sekelilingmu, sebab mungkin mereka hanya melihat wujud lahiriahmu, sedangkan Allah SWT memperhatikan wujud batinmu.” »

Dalam setiap keadaan seorang hamba tidak akan pernah terlepas dari ujian yang harus disikapinya dengan kesabaran, serta nikmat yang harus disyukuri. Muraqabah adalah tidak berlepas diri dari kewajiban yang difardhukan Allah SWT yang mesti dilaksanakan, dan larangan yang wajib dihindari.

Muraqabah dapat membentuk mental dan kepribadian seseorang sehingga ia menjadi manusia yang jujur.

« Berlaku jujurlah engkau dalam perkara sekecil apapun dan di manapun engkau berada.

Kejujuran dan keikhlasan adalah dua hal yang harus engkau realisasikan dalam hidupmu. Ia akan bermanfaat bagi dirimu sendiri.

Ikatlah ucapanmu, baik yang lahir maupun yang batin, karena malaikat senantiasa mengontrolmu. Allah SWT Maha Mengetahui segala hal di dalam batin.

Seharusnya engkau malu kepada Allah SWT dalam setiap kesempatan dan seyogyanya hukum Allah SWT menjadi pegangan dlam keseharianmu.

Jangan engkau turuti hawa nafsu dan bisikan syetan, jangan sekali-kali engkau berbuat riya’ dan nifaq. Tindakan itu adalah batil. Kalau engkau berbuat demikian maka engkau akan disiksa.

Engkau berdusta, padalah Allah SWT mengetahui apa yang engkau rahasiakan. Bagi Allah tidak ada perbedaan antara yang tersembunyi dan yang terang-terangan, semuanya sama.

Bertaubatlah engkau kepada-Nya dan dekatkanlah diri kepada-Nya (Bertaqarrub) dengan melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya.” » [4]

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إلاَّ مَا سَعَى وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ اْلأَوْفَى وَأَنَّ إِلَى رَبِّكَ الْمُنْتَهَى وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى وَأَنَّهُ هُوَ أَمَاتَ وَأَحْيَا

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu), dan bahwasanya DIA yang menjadikan orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya DIA yang mematikan dan yang menghidupkan.” (QS. An-Najm: 39-44)

4. Muhasabah

Muhasabah berarti introspeksi diri, menghitung diri dengan amal yang telah dilakukan. Manusia yang beruntung adalah manusia yang tahu diri, dan selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan kelak yang abadi di yaumul akhir.

Dengan melakasanakan Muhasabah, seorang hamba akan selalu menggunakan waktu dan jatah hidupnya dengan sebaik-baiknya, dengan penuh perhitungan baik amal ibadah mahdhah maupun amal sholeh berkaitan kehidupan bermasyarakat. Allah SWT memerintahkan hamba untuk selalu mengintrospeksi dirinya dengan meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah SWT.

Diriwayatkan bahwa pada suatu ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. melaksanakan shalat shubuh. Selesai salam, ia menoleh ke sebelah kanannya dengan sedih hati. Dia merenung di tempat duduknya hingga terbit matahari, dan berkata ;

« “Demi Allah, aku telah melihat para sahabat (Nabi) Muhammad SAW. Dan sekarang aku tidak melihat sesuatu yang menyerupai mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan pucat pasi, mereka melewatkan malam hari dengan sujud dan berdiri karena Allah, mereka membaca kitab Allah dengan bergantian (mengganti-ganti tempat) pijakan kaki dan jidat mereka apabila menyebut Allah, mereka bergetar seperti pohon bergetar diterpa angin, mata mereka mengucurkan air mata membasahi pakaian mereka dan orang-orang sekarang seakan-akan lalai (bila dibandingkan dengan mereka).” »

Muhasabah dapat dilaksanakan dengan cara meningkatkan ubudiyah serta mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Berbicara tentang waktu, seorang ulama yang bernama Malik bin Nabi berkata ; « “Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali ia berseru, “Wahai anak cucu Adam, aku ciptaan baru yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.” » [5]

Waktu terus berlalu, ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya. Allah SWT bersumpah dengan berbagai kata yang menunjuk pada waktu seperti Wa Al Lail (demi malam), Wa An Nahr (demi siang), dan lain-lain.

Waktu adalah modal utama manusia. Apabila tidak dipergunakan dengan baik, waktu akan terus berlalu. Banyak sekali hadits Nabi SAW yang memperingatkan manusia agar mempergunakan waktu dan mengaturnya sebaik mungkin.

نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا َكثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ وَ الفَرَاغُ

“Dua nikmat yang sering disia-siakan banyak orang: Kesehatan dan kesempatan (waktu luang).” (H.R. Bukhari melalui Ibnu Abbas r.a).

5. Mu’aqabah

Muaqabah artinya pemberian sanksi terhadap diri sendiri. Apabila melakukan kesalahan atau sesuatu yang bersifat dosa maka ia segera menghapus dengan amal yang lebih utama meskipun terasa berat, seperti berinfaq dan sebagainya.

Kesalahan maupun dosa adalah kesesatan.

Oleh karena itu agar manusia tidak tersesat hendaklah manusia bertaubat kepada Allah, mengerjakan kebajikan sesuai dengan norma yang ditentukan untuk menuju ridha dan ampunan Allah.

Berkubang dan hanyut dalam kesalahan adalah perbuatan yang melampaui batas dan wajib ditinggalkan.

Di dalam ajaran Islam, orang baik adalah orang yang manakala berbuat salah, bersegera mengakui dirinya salah, kemudian bertaubat, dalam arti kembali ke jalan Allah dan berniat dan berupaya kuat untuk tidak akan pernah mengulanginya untuk kedua kalinya.

Shadaqallahul’azhim. Allahu A’lamu Bissawab.

Catatan kaki ;

[1] Syeikh Abdullah Nasih ‘Ulwan dalam bukunya ‘Ruhniyatut Da’iyah’

[2] Demikian komentar Imam as Syaukani dalam kitab tafsirnya ‘Fathul Qadir’ dan Syeikh Ali As Shabuni dalam kitab tafsirnya ‘Shafwatut Tafaasir’.

[3] Kitab tasawuf, “Risalatul Qusyairiyah”.

[4] Syeikh Abdul Kadir Jailany memberikan nasehat kepada kita sebagaimana yang terdapat dalam kitabnya Al Fathu Arrabbaani wa Al Faidh Ar Rahmaani.

[5] Malik bin Nabi dalam bukunya Syuruth An Nahdhah

Rabu, 18 Oktober 2017

Ulul Albab

Pembahasan kali in mengenai Ulil Albab yang kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menurut Terjemahan Depag adalah Orang – orang yang Berakal. Namun apakah setiap yang berakal adalah Ulul Albab? Ternyata Tidak!!! Setiap Ulul Albab adalah Orang yang berakal NAMUN TIDAK SETIAP orang berakal adalah Ulul Albab. Karena itu saya cenderung mempertahankan kata/teks aslinya dalam bahasa arab yaitu Ulul Albab, tidak menejermahkannya dalam bahasa Indonesia, sebab ternyata Ulul Albab adalah Sebutan/Gelar khusus yang hanya Allah peruntukkan bagi segolongan hamba-Nya tertentu saja. Gelar ini sangat terhormat dan mulia disisi Allah.

Ada beberapa kriteria dan syarat yang harus dipenuhinya agar tercapai derajad dan kedudukan tersebut. Saya sendiri baru mengetahuinya dan karena ingin agar pengetahuan tersebut tetap lestari maka saya mempostingnya disini, dan tulisan ini lebih saya tujukan untuk diriku sendiri, namun jika ada orang lain yang membacanya, saya mengharapkan ridho Tuhanku, Allah Yang Maha Suci, Raja yang Kudus dan saya berlindung kepada-Nya dari mengatakan sesuatu yang tidak aku lakukan.

Ha Mim.Demi Kitab yang jelas.Kami menjadikan Al Qur’an dalam bahasa Arab agar kalian mengerti.Dan sesungguhnya Al Qur’an itu dalam ummul kitab di sisi Kami, benar -benar tinggi dan penuh hikmah.Maka apakah Kami akan berhenti menurunkan ayat – ayat Al Qur’an kepada kalian karena kalian adalah kaum yang melampaui batas?

(Q.S Az-Zukhruf[43]: 1-5)

Rasulullah SAAW bersabda: “Siapa yang membaca Al Quran, mempelajarinya dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari Kiamat, cahayanya seperti cahaya matahari, kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan), yang tidak pernah didapatkan di dunia, keduanya bertanya: mengapa kami dipakaikan jubah ini: dijawab: “karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al Quran“.

Hadits diriwayatkan oleh Al Hakim dan ia menilainya sahih berdasarkan syarat Muslim (1/568), dan disetujui oleh Adz Dzahabi. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya (21872) dan Ad Darimi dalam Sunannya (3257)

Siapakah Ulul Albab ini?

Ulul Albab adalah orang berilmu yang mampu membaca ayat – ayat Allah di alam ini sebagaimana dalam riwayat berikut ini.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw berkata: “Wahai ‘Aisyah saya pada malam ini beribadah kepada Allah SWT”. Jawab Aisyah ra: “Sesungguhnya saya senang jika Rasulullah berada di sampingku. Saya senang melayani kemauan dan kehendaknya” Tetapi baiklah! Saya tidak keberatan. Maka bangunlah Rasulullah saw dari tempat tidurnya lalu mengambil air wudu, tidak jauh dari tempatnya itu lalu salat. Di waktu salat beliau menangis sampai-sampai air matanya membasahi kainnya, karena merenungkan ayat Alquran yang dibacanya. Setelah salat beliau duduk memuji-muji Allah dan kembali menangis tersedu-sedu. Kemudian beliau mengangkat kedua belah tangannya berdoa dan menangis lagi dan air matanya membasahi tanah. Setelah Bilal datang untuk azan subuh dan melihat Nabi saw menangis ia bertanya: “Wahai Rasulullah! Mengapakah Rasulullah menangis, padahal Allah telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang terdahulu maupun yang akan datang”. Nabi menjawab: “Apakah saya ini bukan seorang hamba yang pantas dan layak bersyukur kepada Allah SWT? Dan bagaimana saya tidak menangis? Pada malam ini Allah SWT telah menurunkan ayat kepadaku.

Selanjutnya beliau berkata: “Alangkah rugi dan celakanya orang-orang yang membaca ini dan tidak memikirkan dan merenungkan kandungan artinya”.

Ayat tersebut adalah

190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat ayat – ayat bagi ulil albab,
191. yaitu orang – orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (dan berdo’a), Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia – sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.
(Ali Imran[3]: 190-191)

Ulul Albab adalah orang yang bertaqwa karena mereka Beriman kepada Allah, sebagaimana dalam Qur’an Surah Ath Thalaq[65]: 10sbb,

10. Allah menyediakan azab yang keras bagi mereka, maka bertakwalah kepada Allah wahai Ulil Albab, Orang – orang yang beriman. Sungguh Allah telah menurunkan peringatan kepadamu,

Ulul Albab senantiasa dapat mengambil pelajaran dari setiap informasi yang diperolehnya baik itu informasi keburukan atau kebaikan untuk diambil pelajaran dan hikmah, karena mereka Takut Kepada Allah dan Takut terhadap Hisab yang Buruk, Memenuhi janji dan tidak melanggar perjanjian, menghubungkan apa yang diperintahkan Allah untuk menghubungkan, sabar karena mengharapkan rida Allah, Sholat dan berinfak, serta menolak kejahatan dengan kebaikan sebagaimana dijelaskan dalam Q.S ar-Ra’d[13]:19-22 sbb,

19. Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan Tuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanya Ulul Albab saja yang dapat mengambil pelajaran,
20. (yaitu) orang yang memenuhi janji Allah dan tidak melanggar perjanjian,
21. dan orang – orang yang menghubungkan apa yang diperintahkan Allah agar dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.
22. Dan orang yang sabar karena mengharapkan keridhaan Tuhannya, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang – terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; Orang itulah (Ulil Albab) yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),

Jadi mereka Ulil Albab memiliki beberapa sifat – sifat atau kriteria yaitu:
-. Senantiasa mengambil pelajaran dan mampu melihat kebenaran itu dengan Penglihatan Mata dan Penglihatan Hatinya
-. Memenuhi Janji Allah dan tidak melanggar Janji
-. Menghubungkan apa yang diperintahkan Allah
-. Takut kepada Allah dan Takut kepada Hisab yang Buruk
-. Sabar
-. Melaksanakan Sholat
-. Melaksanakan Infak / Sedekah
-. Menolak Kejahatan dengan Kebaikan dengan cara yang baik

Sedangkan Yang dimaksud dengan “menghubungkan apa yang diperintahkan Allah” adalah apa yang dilarang dalam ayat 25 pada surah ar-Ra’d tersebut sbb,

25. Dan orang – orang yang melanggar janji Allah setelah diikrarkannya, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah agar disambungkan, dan berbuat kerusakan di bumi; mereka itu memperoleh kutukan dan tempat kediaman yang buruk.

Saudaraku, Janji apakah itu sehingga sampai turun ayat berkaitan dengan itu? Pelajarilah tafsir ayat ini agar anda tidak salah jalan dan tidak salah pilih. Saya pribadi cenderung kepada penafsiran tentang Janji Kepemimpinan kepada Washi Rasul setelah Beliau Wafat yaitu Imam Ali as. Bahwa “memutuskan apa yang diperintahkan Allah agar disambungkan” ditujukan kepada orang – orang yang berbalik kebelakang menghianati Rasul sepeninggal beliau setelah sebelumnya berjanji menjadikan Imam Ali sebagai maula (wali) mereka, maka mereka telah memutuskan hubungan dengan ahlul bayt (Imam Ali as) yang seharusnya disambungkan atas perintah Allah.

Ini hanya sekedar tambahan saja:
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali. kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu diantaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Allah hanya menguji kamu dengan hal itu, dan pasti pada hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.”
(Q.S An Nahl[16]: 92)

Mereka berjanji pada rasul dan menampakkan kesetiaannya pada Rasul namun sepeninggal Rasul mereka melepaskan perjanjian mereka. Dan tahukah kalian apa janji mereka? Hal itu berhubungan dengan ar Ra’d:25 di atas. Golongan yang sedikit itu adalah golongan Imam Ali as. Dengan perbuatan mereka (memutuskan perjanjian dan kewalian kepada ahlul bayt yaitu Imam Ali as, dengan beranggapan bahwa kepemimpinan adalah Milik Umat bukan Milik Allah) itulah awal perselisihan Umat dimulai. Padahal Perintah Allah agar Menyambung apa yang seharusnya disambungkan adalah untuk mencegah perselisihan Umat yaitu hanya berwali kepada satu saja yaitu Pengemban Washi Nabi yaitu Imam Ali as sebagai Khalifah Rasul Allah yang Sah.

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.”
Q.S Al An’am: 116

“(Ingatlah), pada hari (ketika) Kami panggil setiap umat dengan Imam mereka masing – masing (bi imaamihim); dan barang siapa diberikan catatan amalnya di tangan kanannya mereka akan membaca catatannya (dengan baik), dan mereka tidak akan dirugikan sedikit pun.”

“Dan barang siapa BUTA (a ‘maa) di dunia ini, maka di akhirat dia akan BUTA (a ‘maa) dan tersesat jauh dari jalan.”

(Q. S Al Israa: 71 – 72)

“Dialah yang mengutus pada kaum yang buta huruf seorang rasul (Muhammad) diantara mereka, yang membacakan kepada mereka ayat – ayat-Nya, dan Dia menyucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah, dan sesungguhnya mereka dari sebelumnya benar – benar dalam kesesatan yang nyata.”

(Q.S Al Jumu’ah[62]: 2)

“54. Ataukah mereka dengki kepada an naas (Muhammad) atas karunia yang telah diberikan Allah kepadanya? Sungguh, Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada Keluarga Ibrahim (aala Ibraahiim), dan Kami telah memberikan kepada mereka kerajaan (mulkan) yang besar (‘adziyma).”

“55. Maka di antara mereka (orang yang dengki itu), ada yang beriman kepadanya (aamanu bihi=masuk Islam) dan ada yang menghalangi (manusia beriman) kepadanya (shodda ‘anhu). Cukuplah (bagi mereka) neraka Jahannam yang menyala-nyala apinya.”

(Q.S An Nisa[4]: 54-55)

Allah mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada Ibrahim dan Keluarganya maka begitu pula kepada Muhammad dan Keluarganya (62:2). Allaahumma sholli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad. Maka Hikmah hanya diketahui dengan baik oleh Muhammad dan Keluarganya, maka sudah menjadi kewajiban orang beriman untuk bertanya kepada mereka atau BERIMAM kepada mereka (ahlul bayt). Ternyata orang – orang yang beriman masih ada yang dengki kepada Muhammad dan keluarganya, dan kedengkian itu DITAMPAKKAN saat Muhammad SAAW wafat, dan kedengkian itu mulai dilancarkan kepada ahlul bayt yaitu Imam Ali+Fatimah dan keturunan mereka. Padahal ahlul bayt (Imam Ali+Fatimah) kepada mereka diajarkan Kitab dan Hikmah. Sekarang silahkan analisis ayat 4:54 di atas, bukankah yang dimaksud bahwa Muhammad dan Keluarganya juga diberikan karunia yang serupa dengan apa yang diberikan kepada Ibrahim dan keluarganya?
Anda tentu tahu bacaan sholawat dalam tasyahud saat sholat bukan? Allah menyediakan Jahannam kepada orang – orang yang dengki tersebut baik mereka beriman maupun tidak. Iblis pun beriman namun dia tidak luput dari siksa. Allah telah memberikan kerajaan kepada keluarga Ibrahim, apakah mungkin jika Allah tidak memberikan kerajaan kepada keluarga Muhammad SAAW? Sedangkan Muhammad SAAW adalah Penghulu para Nabi? Penutup para Nabi dan kekasih Allah? Sehingga Namanya pun disandingkan sesudah Nama Allah? Karunia yang Allah berikan kepada Ibrahim dan Keluarganya yaitu Kerajaan yang besar adalah merupakan Sistem Pemerintahan Ilahi. Demikian pula karunia yang diberikan kepada Muhammad dan Keluarganya yaitu Kitab dan Hikmah dan Kerajaan sebagaimana Keluarga Ibrahiim adalah Sistem Pemerintahan Ilahi dimana Mereka di sebut Para Imam yang diangkat dan ditunjuk oleh Allah sebagai wakil-Nya di bumi menjadi bagian dari sistem Pemerintahan atau Kerajaan Allah, mereka tunduk kepada Allah maka pengikutnya juga tunduk kepada Allah. Para Imam ber-wali kepada Allah maka para pengikutnya juga berwali kepada Allah.

“Tidak ada paksaan dalam agama (Ad Dien), sesungguhnya telah JELAS antara jalan yang BENAR dengan jalan yang SESAT. Barangsiapa ingkar kepada taghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

“Allah Pelindung (Wali) orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang – orang kafir, pelindung – pelindung atau wali – wali mereka (Auliya uhum) adalah taghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal didalamnya.”

(Al Baqarah: 256-257)

Ulul Albab akan menempati Surga ‘Adn bersama keluarga mereka yang Shaleh yaitu mulai dari Nenek Moyang Mereka (mulai dari orang tua sampai ke atas), Pasangan – pasangan Mereka (Namun tidak menutup kemungkinan adalah Saudara Mereka asalkan mereka termasuk shaleh), Anak Cucunya (Anak – anak ke bawah dan seterusnya) yaitu dalam Q.S Ar-Ra’d[13] ayat 23 sbb,

23. (yaitu) surga – surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya bersama dengan orang yang saleh dari nenek moyangnya, pasangan – pasangannya dan anak cucunya, sedang para malaikat masuk ke tempat – tempat mereka dari semua pintu.

Ayat – ayat mutasyabihat hanya bisa dipahami oleh Ulul Albab sebagaimana dijelaskan dalam Q.S Ali Imran[3]:7 sbb,

7. Dialah yang menurunkan Kitab (Al Qur’an) kepadamu. Didalamnya ada ayat – ayat yang Muhkamat, itulah pokok – pokok kitab dan yang lain Mutasyabihat. Adapun orang – orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti apa yang samar – samar darinya (mutasyabihat) untuk mengharapkan fitnah dan mengharapkan takwilnya, dan tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang – orang yang mendalam ilmunya berkata, kami beriman kepadanya, semuanya dari sisi Tuhan kami. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali Ulul Albab.

Ayat ini sangat sukar dipahami jika belum mencapai derajat Ulul Albab. Sungguh dalam ayat ini tersingkap rahasia dan hikmah yang besar. Dengan ayat ini Allah memisahkan/menyeleksi hamba- hamba-Nya atas sebagian hamba – hamba-Nya yang lain.

Ulil Albab selalu mengambil pelajaran dari kisah (Sejarah) terdahulu baik yang sudah lama (Nabi dan Umat Terdahulu sebelum Muhammad SAAW) ataukah yang belum lama terjadi (Umat Islam dll) sebagaimana dijelaskan dalam Q.S Yusuf[12]:111 sbb,

111. Sungguh pada kisah – kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi Ulul Albab. Itu (Al Qur’an atau khususnya kisah yang dijelaskan dalam Surah Yusuf ayat 1 – 110 di atas) bukanlah cerita yang dibuat – buat, tetapi membenarkan (kitab – kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan petunjuk dan rahmat bagi orang – orang yang beriman.

Ulul Albab senantiasa membaca Al Qur’an untuk mendapatkan pelajaran sebagaimana dijelaskan dalam Q.S Ibrahim[14]: 52 sbb,

52. Dan ini (Al Qur’an) adalah penjelasan (yang sempurna, balagh) bagi manusia, agar mereka diberi peringatan dengannya, agar mereka mengetahui bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar Ulul Albab mengambil pelajaran.

Ulul Albab senantiasa mentaddabburi Al Qur’an sbb,

29. Kitab (Al Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka mentaddabburi ayat – ayatnya dan untuk mengingatkan Ulul Albab. (Shad[38]:29)

24. Maka mengapakah mereka tidak mau mentaddabburi al-Qur’an? Apakah karena hati mereka terkunci mati?” (QS 47:24)

Mentaddabburi berarti memikirkan dan merenungkan lalu menghayati karena sudah memahaminya maka diamalkan.

Ulul Albab senantiasa mengambil pelajaran dari setiap peristiwa misalnya kisah Nabi Ayyub yang dinyatakan dalam Q.S Shad[38]: 43 sbb,

43. Dan Kami anugerahi dia (Nabi Ayyub, dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan Kami lipat gandakan jumlah mereka, sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi Ulil Albab.

Ulul Albab senantiasa dapat Menerima Pelajaran (Terbuka untuk mempelajari hal – hal yang baru). Namanya juga belajar berarti membuka diri untuk setiap informasi yang belum diketahuinya atau setiap hal yang baru (misalnya informasi tentang Kepemimpinan Imam Ali as maukah dipikirkannya?) sebagaimana dijelaskan dalam Q.S Az Zumar[39]:9 sbb,

9. Apakah (orang kafir yang lebih beruntung ataukah) dia yang taat beribadah pada waktu malam dengan bersujud dan berdiri, dia takut (azab) akhirat dan dia mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, Apakah sama orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya hanyalah Ulul Albab yang dapat mengambil pelajaran.

Menurut penafsiran lain, yang dimaksud dengan Dia (huwa) di sini adalah Imam Ali as, dimana beliau sangat takut kepada Tuhannya bahkan sering pingsan dan pernah dikira wafat oleh Salman al Farisy karena terbujur kaku di bawah pohon. Oleh Fathimah Az Zahra as memberitahu Salman untuk menyiramkan air, bahwa dia (Imam Ali) selalu begitu sudah biasa mengalami begitu.
Jadi ayat itu ditujukan kepada Imam Ali, sehingga jika penafsiran itu benar, maka Ulil Albab adalah Pengikut Imam Ali yang menolong beliau, membantu beliau, serta berwali kepada beliau sepeninggal Nabi Muhammad SAAW.

Ulul Albab senantiasa menyaring informasi yang didengarnya yaitu dengan cara mendengarkan perkataan lalu mengambil apa yang terbaik dari perkataan itu. Jadi Ulul Albab itu adalah Kelompok Pendengar Yang Paling Baik diantara manusia sebagaimana dijelaskan dalam Az Zumar[39]: 18 sbb,

18. (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang – orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah Ulul Albab.

Ulul Albab senantiasa mempelajari Alam Sekitar (planet Bumi) yang merupakan kalangan cendekiawan atau intelektual dari berbagai disiplin ilmu: biologi, kimia, fisika, matematika, geologi, geografi, astronomi, dan sebagainya sebagaimana dijelaskan dalam Q.S Az Zumar[39]: 21 sbb,

21. Apakah engkau tidak memperhatikan, bahwa Allah menurunkan air dari langit, lalu diaturnya menjadi sumber – sumber air di bumi, kemudian dengan air itu ditumbuhkan-Nya tanaman – tanaman yang bermacam – macam warnanya, kemudian menjadi kering, lalu engkau melihatnya kekuning – kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai – derai. Sungguh pada yang demikian itu terdapat peringatan/pelajaran bagi Ulil Albab.

Ulul Albab juga mempelajari petunjuk yang benar yang disampaikan Allah kepada Musa dan Kitab yang Hak yang diwariskan kepada Bani Israil sebagaimana dinyatakan dalam Q.S Al gahfir[40]:53-54 sbb,

53. Dan sungguh Kami telah memberikan petunjuk kepada Musa, dan mewariskan Kitab kepada Bani Israel,
54. untuk menjadi petunjuk dan peringatan/pelajaran bagi Ulil Albab.

Kitab yang dimaksud tidak berarti harus Taurat, sebab disini tidak disebutkan Taurat melainkan Kitab secara Umum, dimana sebutan Kitab biasa disebutkan dalam kata lain yaitu Kataba atau ketetapan. Maka bisa juga bermakna kemajuan Sains dan Teknologi yang dimiliki oleh Israel saat ini (Allah mewariskan kepada mereka) harus dapat dikuasai dan dipelajari oleh Ulil Albab. Petunjuk yang benar dari Musa kepada Bani Israel itulah yang telah mendarah daging dalam kehidupan mereka menjadi sifat kebiasaan dan tabiat “yang baik” mereka dan mengantarkan kemajuan Sains dan Teknologi bagi Bani Israel. Yang saya maksud tabiat/kebiasaan yang baik ini tentu kita hanya mengambil yang baik saja sebagai mana dalam Az Zumar: 18, karena Allah telah mewariskan kebiasaan – kebiasaan baik itu kepada mereka, maka kita harus menirunya (yang baik – baik saja).

Perhatikanlah ucapanku ini wahai saudaraku: Selagi Umat Islam Belum Berhasil Meniru Kebaikan Mereka Maka Umat Islam Tidak Akan Menang Terhadap Mereka, Sebab Allah Berkehendak Mewariskan Petunjuk Musa dan Warisan Kitab kepada Umat Islam.

Ulul Albab yang bertakwa akan mendapatan keberuntungan sebagaimana dalam Q.S Al Maidah[5]:100 sbb,

100. Katakanlah, tidaklah sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya keburukan itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah wahai Ulil Albab agar kamu beruntung.

Tidak ada yang akan mampu mendapatkan pelajaran hikmah kecuali Ulul Albab sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an sbb,

269. Dia memberi hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali ulul albab.
(Al Baqarah[2]: 269)

Sabtu, 07 Oktober 2017

BAHAYA PANJANG ANGAN

Bismillaahir Rohmaanir Rohiim

Allohummasholli’alaasayyidina Muhammadinil Musthofaa

Nasihat Asy-Syaikh Imam Al-Gazhali tentang “Jangan Panjang Angan-angan”

Rosulullaah Saw. bersabda kepada Abdullah bin Umar:

“Jika kamu sedang berada pada pagi hari, janganlah kamu berbicara kepada dirimu sendiri tentang petang hari nanti. Jika kamu sedang berada pada petang hari, janganlah kamu berbicara pada dirimu sendiri tentang pagi hari. Jadikan hidupmu sebagai modal untuk menghadapi kematianmu, dan jadikan sehatmu sebagai modal untuk menghadapi sakitmu. Sesungguhnya kamu, wahai Abdullah, besok sudah tidak tahu siapa namamu.” [HR. Ibnu Hibban]

Diriwayatkan oleh ‘Ali Karromallaahu wajahahu., sesungguhnya Nabi Saw. bersabda:

“Ada dua hal yang paling aku takuti menimpa kalian, yaitu: menuruti hawa nafsu dan banyak angan-angan. Sesungguhnya menuruti hawa nafsu itu dapat menghalangi dari kebenaran, dan banyak angan-angan itu sama dengan mencintai dunia.”

Selanjutnya kata Beliau Saw.:

“Sesungguhnya Allaah Ta’ala memberikan dunia kepada orang yang dicintai maupun yang dibenci-Nya. Jika mencintai seorang hamba, Allaah memberinya iman. Ingat, sesungguhya agama itu mempunyai anak. Jadilah kamu termasuk anak-anak agama, dan janganlah kamu menjadi anak-anak dunia. Ingat, sesungguhnya dunia itu bergerak pergi. Ingat, sesungguhnya akhirat itu bergerak maju (datang). Ingat, sesungguhnya kalian berada pada zaman untuk beramal, bukan zaman untuk dihisab. Dan ingat, sesungguhnya kalian hampir tiba pada zaman untuk dihisab yang sudah tidak berlaku amal.” [HR. Ibnu Abi-d Dunya]

Ummu Al-Mundzir menuturkan, ‘Pada suatu sore Rosulullaah Saw. muncul di tengah-tengah para sahabat, lalu beliau bersabda, “Wahai manusia, apakah kalian tidak merasa malu kepada Allaah?” Mereka bertanya, ‘Kenapa kami harus malu, ya Rosulullaah?’ Beliau bersabda, “Kalian mengumpulkan sesuatu yang tidak bisa kalian jangkau, dan kalian membangun sesuatu yang tidak kalian tempati.” [HR. Ibnu Abi-d Dunya]

Sedangkan Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan, ‘Usamah bin Zaid membeli seorang budak perempuan dari Zaid bin Tsabit seharga seratus dinar dengan pembayaran tempo satu bulan. Lalu aku mendengar Rosulullaah Saw. bersabda: “Apakah kalian tidak heran terhadap Usamah yang baru membayar sampai sebulan setelah ia membeli barang? Usamah sungguh panjang angan-angannya. Demi Allaah yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, setiap saat aku merasa yakin bahwa sepasang kelopak mataku tidak akan dapat terkatup kembali sebelum Allaah mencabut nyawaku, atau aku dapat membukanya kembali dengan keyakinan bahwa aku akan bisa menutupnya sekali lagi sebelum mati. Setiap kali memakan sepotong daging aku selalu berfikir bahwa aku tidak akan bisa menelannya sampai maut mencekikku.”

Lanjut Beliau: “Wahai anak cucu Adam, jika kalian berakal, maka anggaplah diri kalian termasuk orang-orang yang sudah mati. Demi Allaah yang jiwaku berada di genggaman-Nya. Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti akan datang, dan kamu sekalian tidak pernah bisa melepaskan diri.” [HR. Ibnu Abi-d Dunya dan Ath-Thabrani]

Diriwayatkan dari Abdullaah bin Abbas ra. bahwa Rosulullaah Saw. pernah buang air kecil lalu beliau melakukan tayamum. Ia lalu berkata kepada Beliau, ‘Wahai Rosulullaah, bukankah ada air di dekat anda?’ Beliua bersabda: “Bagaimana aku bisa tahu. Boleh jadi aku tidak mampu/dapat menjangkaunya.”

Diriwayatkan pada suatu hari Rosulullaah Saw. mengambil tiga batang ranting kayu. Beliau meletakkan yang sebatang di hadapannya, yang sebatang lagi di sebelahnya, dan yang sebatang lagi agak jauh darinya. Lalu Beliau bertanya kepada para sahabat, “Kalian tahu, apa artinya ini?” Para sahabat menjawab, ‘Allaah dan Rosul-Nya yang lebih tahu.’ Beliau bersabda, “Yang ini manusia, ini ajalnya, dan yang itu adalah angan-angan yang selalu dikejar-kejar oleh manusia. Akan tetapi ajal keburu menjemputnya sebelum tercapai angan-angannya.” [HR. Ahmad dan Ibnu Abi-d Dunya]

Dan Rosulullaah Saw. bersabda:

“Perumpamaan manusia itu seakan-akan dikepung oleh sembilan puluh macam sebab kematian. Dan bilamana ia mampu lolos dari semuanya, ia pasti tidak bisa mengelak dari kepikunan.” [HR. At-Tirmidzi]

Anas ra. berkata, Rosulullaah Saw. bersabda:

“Anak cucu Adam itu bisa menjadi pikun, dan ada dua hal yang menyertainya, yakni keserakahan dan angan-angan.” [HR. Muslim]

Dalam riwayat lain disebutkan:

“…dan ada dua hal bersamanya yang tetap muda, yaitu keserakahan terhadap harta dan keserakahan terhadap usia.”

Lalu kata Beliau Saw.:

“Golongan pertama dari umat ini selamat karena keyakinan dan zuhud. Dan golongan terakhir dari umat ini binasa karena kekikiran dan angan-angan.” [HR. I. Abi-Dunya]

Dalam sebuah riwayat lain, pada suatu hari Nabi Isa as.. duduk di dekat deorang kakek yang tengah menggali tanah dengan cangkul. Ia berdo’a, “Ya Allaah, tolong kembalikan angan-angan kepadanya.” Seketika sang kakek meletakkan cangkulnya lalu berbaring. Satu jam kemudian, ia berdo’a lagi, “Ya Allaah, tolong kembalikan angan-angan kepadaya.” Seketika sang kakek bangkit dan meneruskan pekerjaannya. Ketika ditanya oleh Nabi Isa tentang apa yang terjadi, sang kakek menjawab, “Ketika sedang mencangkul, jiwaku berbisik, ‘berapa lama lagi kamu akan bekerja? Padahal saat ini kamu sudah cukup tua.’ Itulah sebabnya mengapa tadi seketika aku meletakkan cangkul dan berbaring. Kemudian jiwaku berbisik lagi kepadaku, ‘Demi Allaah, betapa pun kamu harus mempertahankan hidup.’ Itulah sebabnya tadi aku lalu bangkit kembali memegang cangkul.”

Al-Hasan ra. berkata, Rosulullaah bertanya kepada para sahabatnya:

“Apakah kalian semua ingin masuk surga?” Para sahabat menjawab, ‘Tentu yaa Rosulullaah. Beliau lalu bersabda, “Kalau begitu jagan banyak angan-angan. Letakkan ajal kalian di depan mata. Dan merasa malulah kepada Allaah dengan sungguh-sungguh.” [HR. Ibnu Abu-d Dunya]

Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa Mutharrif bin Abdullah mengatakan, “Seandainya tahu kapan ajal kematianku, aku khawatir akalku akan hilang. Tetapi Allaah Ta’ala telah menganugerahi hamba-hamba-Nya dengan lalai pada kematian. Bila tak ada anugerah ini, tentu mereka tidak akan merasakan kesenangan hidup, dan tidak ada pasar yang dibangun di tengah-tengah mereka.”

Al-Hasan al-Bishri memgatakan, “Lalai dan angan-angan adalah dua nikmat besar yang dianugerahkan Allaah kepada manusia. Jika tidak ada keduanya, niscaya orng-orang muslim tidak akan ada di jalan-jalan.”

Sedangkan Suftan ats-Tsauri mengatakan, ‘Aku mendengar bahwa seseorang itu diciptakan dalam keadaan dungu. Seandainya tidak begitu, tentu ia tidak bisa merasakan kesenangan hdup.’

Salman al-Farisi menuturkan, “Ada tiga orang yang aku merasa heran sehingga membuatku tertawa, yakni yang mengangan-angankan dunia padahal ia sedang diburu oleh kematian, orang yang lalai tetapi ia tidak mau menerima nasihat, dan orang yang selalu tertawa padahal ia tidak tahu apakah Tuhan semesta alam murka atau ridlo’ kepadanya. Dan ada tiga hal yang aku merasa sedih sehingga membuatku menangis, yakni perpisahan dengan orang-orang tercinta (Muhammad Saw. dan golongannya), huru-hara kiamat, dan ketika aku berdiri di hadapan Allah tanpa tahu apakah aku akan diperintahkan masuk surga atau ke neraka.”

Dalam salah satu khutbahnya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengatakan, “Setiap perjalanan pasti membutuhkan bekal. Oleh karena itu jadikanlah takwa kepada Allaah sebagai bekal untuk perjalanan kalian ke negri akhirat. Jadilah kalian seperti orang yang sudah melihat dengan mata telanjang pahala dan hukuman yang telah disiapkan oleh Allaah. Tanamkanlah perasaan harap-harap cemas dalam hati kalian. Jangan habiskan waktu kalian sehingga hati kalian menjadi keras, lalu kalian tunduk kepada musuh kalian. Demi Allaah, tidak akan bisa leluasa berangan-angan seseorang yang tidak tahu apakah ia masih mendapati waktu pagi ketika ia sedang berada di waktu sore, dan apakah ia masih mendapatkan waktu sore ketika ia sedang berada di waktu pagi. Sangat boleh jadi, di antata waktu sore dan pagi ada kematian.”

Rosulullaah Saw. berdo’a:

“Yaa Allaah, aku berlindung kepada-Mu dari dunia yang dapat menghalangi kebajikan akhirat. Aku berlindung kepada-Mu dari hidup yang dapat menghalangi dari sebaik-baik kematian, dan aku berlindung kepada-Mu dari angan-angan yang dapat menghalangi sebaik-baik amal.” [HR. Ibnu Abi-d Dunya]

Semoga berkenan, dan semoga kita dijauhkan oleh Allaah dari kesenangan hidup dunia yang hanya sementara serta penuh dengan tipuan dan angan-angan , amiin