Kamis, 29 Maret 2018

Ciri Ciri Auliya Alloh

Ciri Khas Wali Allah

Allah Swt berfirman:

"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa." (QS. Yunus: 62-63)

Dua ayat ini menjelaskan ciri-ciri wali Allah. Prinsip utama wali Allah adalah "Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami"[1] dan hasil dari ketakutan itu adalah takwa. Sementara hasil dari takwa itu sendiri adalah "Mereka tidak disusahkan oleh kedahsyatan yang besar (pada Hari Kiamat)".[2] Para wali Allah tidak memiliki rasa takut tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Karena siapa saja yang takut kepada Allah, maka dia tidak akan memiliki rasa takut yang lain. "Orang yang bersih perhitungannya di Hari Kiamat, tidak akan pernah merasa takut".

Nabi Muhammad Saw bersabda, "Diamnya wali Allah adalah zikir, pandangannya mengambil pelajaran, ucapannya penuh hikmah dan aktivitasnya di tengah masyarakat menjadi sumber berkah."[3]

Imam Ali as berkata, "Allah Swt menyembunyikan wali-Nya di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya, jangan pernah menghina seorang muslim. Karena mungkin saja ia adalah wali Allah, sementara engkau tidak mengetahuinya."[4]

Seseorang yang menjadi wali Allah, niscaya Allah menjadi walinya. "Allah Pelindung orang-orang yang beriman",[5] "Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman"[6] dan "Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa".[7] (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)

Sumber: Mohsen Qaraati, Daghayeghi ba Quran, Tehran, Markaz Farhanggi Darsha-i az Quran, 1388 Hs, cet 1.

[1] . QS. al-Insan: 10.

[2] . QS. al-Anbiya: 103.

[3] . Tafsir as-Shafi.

[4] . Tafsir Nur at-Tsaqalain.

[5] . QS. al-Baqarah: 257.

[6] . QS. Ali Imran: 68.

[7] . QS. al-Jatsiyah: 19.

Senin, 26 Maret 2018

Wushul

Wushul kepada Allah Menurut Hadratusyaikh KH. M. Hasyim Asya’ri

By Tebuireng Online [M. Abror Rosyidin]

October 11, 2016

Wushul adalah sampai, wushul ilaallah ialah melihat Allah dengan ainul bashiroh (mata hati) yang mana dalam kenyakinanorang yang sudah wushul tersebut telah benar-benar yakin akan adanya Allah. Hal ini berbeda dengan penglihatan mata secara dhahir. Wushul  ini merupakan pengalaman kerohanian bukan secara nyata seperti halnya Nabi Musa yang secara jasmani takkan mampu  melihat Alllah, tetapi pingsannya Nabi Musa adalah tanda bahwa ruhaninya melihat Allah. Terkait Wushul Setiap insan mempunyai potensi untuk wushul kepada Allah sesuai yang dikendakiNya, hal itu bisa dilalui melalui guru, berthariqot dan lain-lain.

Dalam kitabnya Jami’ah Al-maqhosid, Hadratusyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari menjelaskan cara Wushul Kepada Allah sebagaimana berikut:

Taubat (meninggalkan) dari segala hal yang haram dan yang makruhMencari ilmu sesuai kebutuhanMelanggengkan diri dalam keadaan suciMelanggengkan diri untuk melakukan sholat fardhu di awal waktu dengan berjamaahMelanggengkan diri untuk melakukan sholat sunnah rawatibMelanggengkan diri untuk melaksanakan sholat dhuha sebanyak delapan rakaatMelanggengkan diri untuk melakukan sholat sunnah sebanyak enam rokaat diantara Magrib dan IsyaMelakukan sholat malam dan Sholat witirPuasa sunnah di hari Senin dan KamisPuasa sunnah tiga hari dalam ayyamuk biid(pertengahan bulan Hijriyah, ketika bulan purnama)Puasa di hari-hari muliaMembaca Al Quran dengan penuh penghayatanMemperbanyak IstighfarMemperbanyak sholawat kepada Nabi Muhammad SAW.Melanggengkan diri untuk membaca dzkir-dzikir yang disunnahkan di pagi hari dan sore hari. Diantara dzikir-dzikir tersebut adalah:

Allahuma bika nusbihu wa bika numsi wa bika nuhyi wabika namutu wa ilaikan nusur shobahan wal masir masyaan, asabahna waasbaha milku lillahi walhamdu lillahi wal kibriyau wal adhomatu lillahi wal kholqu lillahi wal amru, wal lailu wannaharu ma wa ma sakana fihima lillahi. Allahumma ma asbaha bii min ni’matin aw biahadin min kholqika faminka wahdaka la syarika laka, falakal hamdu walakas syukru. ( dibaca3x)

Allahumma inni asbahtu asyhaduka wa asyahadu hamlata ‘arsyika wa malaikatika wa jami’i kholkiak, innaka anta allahu la ilah illa anata wahdaka la syarika laka wa inna muhammadan ‘abduka wa rusuluka (dibaca 4X)

Roditubillahi rabba wa bil islami dinan wabisayyidina muhammadin nabiyya warosulla(dibaca 3x)

Amanar rosulu bima unzila ilaihi mir robbihi wal mu’mina kullun amana billahi wa malaikatuhu wa kutubihi wa rusuulihi la nuaffariqu baina ahadim min rusulihi wa qolu sami’na wa atho’na ghufronaka robbana wa ilaikal mashiru la yukallifullaahu nafsan illa wus’aha laha ma kasabat wa’ alaiha maktasabat robbana la taukhidna in nashina au akhho’na robbana wa la tahmil a’laina ishron kama hamaltahu a’lladzina min qoblina robbana wa la tuhammilna ma la thoqota lana bihi wa’fu anna waghfir lana warhamna anta maulana fanshurna ala qoumil kafirin, fain tawallau faqul hasbiyallahu la ilaha illa huwa ‘alaihi tawakkaltu wa huwa robbul arsyil ‘adhim(dibaca 7 x).

Fa subhanallahi hina tumsunabwa hina tusbihun wa lahul hamdu…. hingga firman Allah “tuhrojuna”.

Surat yasin

‘Audzu billahis sami’il ‘alimi minas syaithonir rojim (dibaca 3x)

        Lau anzalna hadzal qur’ana ala jabalin laroaitahum li sajidin..hingga akhir surat.

       Surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas (dibaca 3x)

‘Audzu bi kalimatillahit tammati min ghodobihi wa ‘iqobihi wa syarri ‘ibadihi wa min  hamazatis syathini wa an yadhurruni (dibaca 3x)

Astagfirullahal adhim alladzi la ilaha illa huwal hayyul qoyyumu wa atubu ilaihi (dibaca 3x)

Jika masih memiliki waktu dianjurkan membaca:

Subahanallahi wal hamdu lillahi wala ilaha illallahu wallahu akbaru(100x)

Wa lahaula wa la quwawata illa billahil ‘aliyyil ‘adhim (dibaca 100x)

La ilaha illahu wahdahu la syarika lahu lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qodirun (dibaca 100x atau 3 x)

Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammadin ‘abdika wa nabyyika wa habibika wa rosulikan nabiiyil ummiyil wa’ala alihi wa shohbihi wa sallim (dibaca 100x atau 3 x)

Demikian, semoga kita mendapat pertolonganNya, diberikan TaufiqNya agar mendapat hidayahNya meniti jalan yang benar sehingga kita dapat benar-bepar wushulkepadaNya.

Minggu, 25 Maret 2018

Mengangungkan Allah subhanahu wa ta'ala Dan Hukum Orang Yang Mencela Nya

Mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala Dan Hukum Orang Yang Mencela-Nya

Mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala Dan Hukum Orang Yang Mencela-Nya

Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallambeserta keluarga dan seluruh sahabatnya.

Aku memuji hanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala dengan pujian yang layak atas kekuasaan-Nya. Aku bersyukur kepada -Nya karena menjunjung perintah -Nya. Aku mengakui bahwa makhluk tidak akan mampu mengagungkan -Nya dengan sebenar-benarnya karena mereka tidak mengetahui -Nya secara menyeluruh.

Nikmat-nikmat Allah subhanahu wa ta’alatidak terhingga dan mensyukurinya tidak bisa disempurnakan. Bagi        -Nya akhirat dan dunia, dan hanya kepada –Nya lah kita semua kembali. Tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Allahsubhanahu wa ta’ala, Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi -Nya, dan tidak ada yang disembah dengan sebenarnya selain Allah subhanahu wa ta’ala.

Aku mengucap shalawat dan salam kepada seorang nabi yang ummy, Muhammad bin Abdullah.

Amma ba’du:

Sesungguhnya termasuk kewajiban terbesar secara akal dan naql (dalil) adalah mengenal keagungan Sang Maha Pencipta yang ke Esaan -Nya diakui oleh alam semesta. Dan pada diri setiap makhluk merupakan tanda-tanda yang nyata atas keagungan penciptanya dan Maha Besar penciptanya. Jikalau setiap orang kembali kepada -Nya, lalu ia memandang -Nya dan memikirkannya tentang segala kekuasaan dan karunia –Nya tentu ia mengenal keagungan Allahsubhanahu wa ta’ala yang menciptakannya.

قال الله تعالى:  ﴿ وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلاَ تُبْصِرُونَ﴾ [الذاريات: 21 ] 

dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan (QS. adz-Dzariyaat:21)

            Dan nabi Nuh ‘alaihissalam berkata kepada kaumnya:

قال الله تعالى: ﴿ مَّالَكُمْ لاَتَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَارًا . وَقَدْ خَلَقَكُمْ أَطْوَارًا ﴾ [نوح: 13-14] 

Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah * Padahal -Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian. (QS.Nuh:13-14)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan Mujahidrahimahullah berkata: ‘Kamu tidak mempercayai kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala.’[1]

Dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata pula: ‘Mengapa kamu tidak mengagungkan Allahsubhanahu wa ta’ala dengan sebenar-benarnya.’[2]

Nabi Nuh ‘alaihissalam mengajak mereka kembali merenungkan diri mereka dan beberapa tingkatan kejadian mereka supaya mereka mengetahui hak -Nya terhadap mereka. Maka berfikir pada diri sendiri dan beberapa tahapan kejadian-kejadian sudah cukup dalam mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala dan mengenal kebesaran-Nya. Maka bagaimana dalam merenungkan pada semua makhluk Allahsubhanahu wa ta’ala di alam semesta, di bumi dan di langit! Sesungguhnya manusia tidak mengetahui keagungan Allah subhanahu wa ta’alakarena mereka memandang kepada ayat-ayat -Nya tanpa memikirkan dan mereka melewatinya dengan cepat dan menikmati, bukan dengan mengambil pelajaran, memikirkan dan merenungkan:

قال الله تعالى: ﴿ وَكَأَيِّن مِّنْ ءَايَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ﴾ [ يوسف:105 

Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya. (QS.Yusuf:105)

Maka ayat-ayat tidak bisa memberi faedah dan mukjizat tidak dapat memberi manfaat kepada akal-akal yang berpaling dan hati yang lupa. Tidak bisa mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala kecuali orang yang melihat -Nya, atau melihat ayat-ayat       -Nya dan mengenal sifat-sifat- Nya. Karena inilah, keagungan Allahsubhanahu wa ta’ala lemah di hati orang yang lupa lagi berpaling, lalu Allah subhanahu wa ta’aladidurhakai dan dikufuri, dan terkadang -Dia dicela dan olok-olok! karena kejahilan terhadap keagungan -Nya. Dikufuri dan diingkari hak       -Nya sekadar yang kurang dari keagungan -Nya dan kedudukan       -Nya di dalam hati. Ditaati dengan lemah sekadar kebodohan dan  kelemahannya. Dan Allah subhanahu wa ta’ala disembah dan diagungkan sekadar yang lebih dari kebesaran dan kedudukan       -Nya di dalam hati.

Karena alasan inilah orang-orang musyrik menyembah berhala dan kafir dengan (Allahsubhanahu wa ta’ala) yang menghidupkan tulang. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menjelaskan kekurangan ini:

قال الله تعالى:  ﴿ يَآأَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللهِ لَن يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِن يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لاَّيَسْتَنقِذُوهُ مِنْهُضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ . مَاقَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِنَّ اللهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ ﴾ [الحج :73 - 74] 

Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. *Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. al-Hajj:73-74)

Dan termasuk mengagungkan Allahsubhanahu wa ta’ala adalah mengenal asma` dan sifat -Nya, merenungkan ayat-ayat     -Nya, tadabbur terhadap nikmat-nikmat dan karunia -Nya, melihat dan merenung kan dengan ilmu terhadap kondisi umat-umat di masa lalu, serta menganalisa umat yang membenarkan dan mendustakan, sesudahnya baik yang beriman maupun kafir.

Dan termasuk mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala adalah mengenal syari’at-syari’at -Nya, perintah-perintah dan larangan-larangan -Nya, dan mengagungkan -Nya dengan menjunjung -Nya dan mengamalkan -Nya. Karena hal itu dapat menghidupkan iman di dalam hati, bagi iman hal itu laksana panas dan bara api, panasnya bisa menjadi dingin dan bara apinya menjadi padam tatkala seseorang mengimani –Nya, namun tidak melaksanakan perintah -Nya dan tidak meninggalkan larangan -Nya. Karena inilah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang keagungan syi’ar-syi’ar hadyu (hewan sembelihan dalam haji) dan ibadah haji:

قال الله تعالى:  ﴿ ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ ﴾ [الحج:32]

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. (QS.al-Hajj:32)

Maka mengagungkan perintah dan larangan merupakan pengagungan terhadap yang memerintah. Karena inilah, tidak nampak ilhadterhadap hak Allah subhanahu wa ta’ala, diingkari, dikufuri dan dicela kecuali sebelumnya telah didahului oleh ta’thil (pengingkaran) terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan -Nya dan meremehkan nya.

Telah masyhur mencela Allah subhanahu wa ta’ala dari sebagian kalangan awam yang berpaling lagi jahil terhadap Allah subhanahu wa ta’ala akan keagungan -Nya, yang sebelumnyata’thil terhadap  segala perintah dan larangan -Nya, terutama di negeri Syam (Siria) dan Iraq, serta sebagian negara-negara Afrika. Mensifati -Nya dan menuduh –Nya dengan berbagai ungkapan yang mana seorang mukmin tidak sanggup mengucapkan atau mendengarnya. Dan terkadang diucapkan oleh beberapa golongan yang menganggap diri mereka sebagai kaum muslimin, karena mereka mengucapkan dua kalimah syahadah.

Dan terkadang muncul dari sebagian orang yang shalat, dan syetan mengalirkannya lewat lisan mereka, dan syetan memudahkan kepada kebanyakan mereka (berbuat dosa) bahwa mereka tidak bermaksud makna zhahirnya (yang nampak) dan tidak bermaksud menghina hak (Allah subhanahu wa ta’ala) Yang Maha Pencipta.

Dan syetan memudahkan mereka (berbuat dosa) bahwa ia termasuk ucapan sia-sia yang tidak terhenti di sisinya (tidak mengapa dilakukan), maka mereka merasa gampang karena alasan itu.

Hal seperti ini perlu penjelasan? –padahal sudah sangat jelas bahaya dan kerusakannya pada akal-akal yang sehat, dan pada semua syari’at samawiyah- untuk memutuskan godaan-godaan syetan dan jebakan-jebakannya, dan karena mengagungkan Allah subhanahu wa ta’alaYang Maha Pencipta, dan untuk mensucikan -Nya dari segala keburukan dengan cara bagaimanapun yang diucapkan lisan dan dengan tujuan apapun yang dikehendaki oleh jiwa.

Maka saya katakan secara ringkas:

Sesungguhnya mencela: yaitu setiap kata atau perbuatan yang ditujukan menghina (merendahkan) atau meremehkan Allahsubhanahu wa ta’ala adalah kufur. Kaum muslimin tidak berbeda pendapat dalam hal itu. Sama saja hal itu dengan tujuan mengolok-olok dengan serius, ataukah bermain, bercanda dan bersenda gurau, ataukah karena lupa dan jahil! Tidak ada perbedaan di antara tujuan manusia dalam hal itu, karena yang dipandang adalah secara lahir.

Hakikat mencela dan maknanya

Setiap perkara yang menusia menamakannya mencela, atau mengolok-olok, atau menghina dalam pandangan umum (‘uruf) mereka, maka dalam syara’ juga sama seperti itu. Maka yang dipandang adalah dengan kembali kepada pandangan umum yang ada di tengah masyarakat, seperti mencela, menghina, ucapan yang keji ataupun isyarat yang keji dan buruk dengan tangan. Demikian pula ungkapan-ungkapan yang dilakukan oleh penduduk negeri tertentu dan mereka menamakannya sebagai olok-olok dan celaan, maka ia adalah celaan, walaupun menurut pandangan penduduk negeri yang lain tidak dianggap sebagai celaan.

Hukum mencela Allah subhanahu wa ta’ala

Umat Islam tidak berbeda pendapat bahwa mencela Allah subhanahu wa ta’ala adalah kufur  dan orang yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala hukumannya adalah dibunuh. Dan sesungguhnya yang diperdebatkan adalah apakah diterima atau tidak taubatnya. Jika ia bertaubat, apakah taubatnya menghalanginya dari hukuman pancung atau tidak? Ada dua pendapat yang terkenal di kalangan para ulama.

Mencela dan mengolok-olok termasuk  jenis menyakiti yang paling besar. Firman Allahsubhanahu wa ta’ala:

قال الله تعالى:  ﴿ إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُّهِينًا . وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَااكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا ﴾ [الأحزاب:57-58] 

Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan mela'natinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan. Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu'min dan mu'minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. al-Ahzab:57-58)

Dan menyakiti Allah subhanahu wa ta’alabukan berarti membahayakan Allah subhanahu wa ta’ala, menyakiti itu ada dua macam: menyakiti yang membahayakan dan menyakiti yang tidakmembahayakan, dan tidak ada sesuatu pun yang bisa membahayakan Allah subhanahu wa ta’ala.

Dan dalam hadits qudsi, firman Allahsubhanahu wa ta’ala:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَا عِبَادِي, إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضُرِّي فَتَضُرُّوْنِي...» [ أخرجه مسلم ]

Wahai hamba-hamba -Ku, sesungguhnya kalian tidak akan bisa membahayakan -Ku lalu kamu membahayakan -Ku...”[3]

Dan Allah subhanahu wa ta’ala mengutuk orang yang menyakiti -Nya di dunia dan akhirat.La’n (kutukan) adalah pengusiran hamba dari rahmat, dan ayat tersebut menunjukkan atas dijauhkannya dia dari dua rahmat; rahmat di dunia dan di akhirat, dan tidak terusir dari dua rahmat tersebut kecuali orang yang kafir kepada Allahsubhanahu wa ta’ala. Dan hal ini sangat jelas bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan setelah itu orang yang menyakiti orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, dan tidak menyebutkan kutukan -Nya di dunia dan akhirat, karena manusia tidak dianggap kafir karena saling menyakiti di antara mereka satu sama lain dengan cara mencela, mengutuk dan menuduh berzinah. Sesungguhnya ia adalah tuduhan palsu (fitnah) dan dosa yang nyata, apabila tidak ada bukti atas hal itu.

Kemudian Allah subhanahu wa ta’alamenyebutkan bahwa ia menyebutkan bagi siapa yang menyakiti -Nya (siksa yang menghinakan) dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak menyebutkan  (siksa yang menghinakan) kecuali kepada orang-orang yang kafir kepada -Nya.

Mencela Allah subhanahu wa ta’ala adalah kufur di atas kekufuran. Ia berada di atas kekafiran para penyembah berhala, karena para penyembah berhala mengagungkan batu-batu (berhala, patung) karena mereka mengagungkan Allahsubhanahu wa ta’ala. Mereka tidak menurunkan keagungan Allah subhanahu wa ta’ala sehingga mereka menyamakan -Nya dengan batu, dan sesungguhnya mereka meninggikan derajat batu sehingga menyamai Allah subhanahu wa ta’ala. Karena inilah orang-orang kafir berkata setelah mereka masuk neraka:

قال الله تعالى: ﴿ تَاللهِ إِن كُنَّا لَفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ .إِذْ نُسَوِّيكُم بِرَبِّ الْعَالَمِينَ ﴾ [الشعراء:97-98] 

"demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Rabb semesta alam". (QS.asy-Syu’ara:97-98)

Mereka meninggikan derajat batu sehingga menyamai derajat Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menurunkan derajat Allahsubhanahu wa ta’ala sehingga menyamai batu. Maka mengagungkan batu termasuk mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala, menurut sangkaan mereka! Siapa yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala berarti ia menempatkan Allah subhanahu wa ta’ala berada di bawah derajat batu dengan mencela -Nya. Sementara orang-orang musyrik tidak pernah mencela sembahan-sembahan mereka sekalipun sambil bermain, karena mereka mengagungkannya, dan karena alasan inilah mereka mencela orang yang mencelanya.

Dan Allah subhanahu wa ta’alamenurunkan kepada nabi-Nya ayat:

قال الله تعالى: ﴿ وَلاَتَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ﴾ [الأنعام :  108] 

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.. (QS. al-An’aam:108)

Padahal orang orang musyrik adalah kafir, namun Allah subhanahu wa ta’ala melarang nabi -Nya mencela berhala-berhala mereka, sehingga mereka tidak melakukan karena pengingkaran mereka kufur di atas kekufuran, yaitu mencela IlahMuhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (Allahsubhanahu wa ta’ala).

Dan sebagian lafazh mencela Allahsubhanahu wa ta’ala lebih kufur dari pada ilhad(pengingkaran), karena seorang mulhidmengingkari adanya Yang Maha Pencipta dan Rabb, dan lisan hanya mengatakan: jika aku mengakui adanya Rabb niscaya aku akan mengagungkan -Nya.

Adapun orang yang mengaku beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu menetapkan rububiyah -Nya dan mencela -Nya, ini adalah pengingkaran dan tantangan yang paling jelas!

Memasang patung-patung di beberapa negara dan berkeliling di sekitarnya, sujud dan mengambil berkah dengannya lebih mudah bagi Allah subhanahu wa ta’ala dari pada mendeklarasikan mencela Allah subhanahu wa ta’ala di gedung-gedung di negeri tersebut, di jalan-jalan, pasar-pasar dan majelis-majelisnya; karena mendeklarasikan mencela Allah subhanahu wa ta’ala lebih besar dari pada menyekutukan berhala bersama -Nya, kendati kedua perbuatan itu adalah kufur. Namun orang yang musyrik mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala dan orang yang mencela adalah menghina Allah subhanahu wa ta’ala. Maha Suci Allah subhanahu wa ta’ala dari semua itu.

Mencela Allah subhanahu wa ta’ala dan mendeklarasikannya di suatu negeri lebih besar (dosanya) dari pada menghalalkan perzinahan dan mensyari’atkannya, lebih berat (dosanya) dari menghalalkan perbuatan keji kaum nabi Luth‘alaihissalam (homo seksual), karena kufur menghalalkan perbuatan keji adalah kufur yang penyebabnya adalah pengingkaran terhadap syari’at dari syari’at-syari’at Allah subhanahu wa ta’ala dan meremehkan salah satu perintah dari perintah-perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun mencela, maka ia adalah kekufuran dengan Dzat (Allah subhanahu wa ta’ala) yang mensyari’atkan yang konsekuensinya adalah kufur dengan semua syari’at -Nya dan meremehkannya. Ini lebih besar dan lebih berat, kendati keduanya adalah kufur, namun kufur juga terdiri dari beberapa tingkatan, sebagaimana iman juga terdiri dari beberapa tingkatan.

Tatkala Allah subhanahu wa ta’alamenyebutkan kekufuran kaum Nashrani dan pencelaan mereka terhadap -Nya dengan mengatakan bahwa ia mempunyai anak, Allahsubhanahu wa ta’ala menyebutkan jarimah(kejahatan) mereka dan mensifatkan dampaknya lebih besar dari pada penjelasan -Nya bagi kesyirikan para penyembah berhala dan penyembah bintang. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

قال الله تعالى: ﴿ وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا . لَّقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا . تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنشَقُّ اْلأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا . أَن دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا . وَمَايَنبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَن يَتَّخِذَ وَلَدًا . إِن كُلُّ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ إِلآ ءَاتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا . لَّقَدْ أَحْصَاهُمْ وَعَدَّهُمْ عَدًّا . وَكُلُّهُمْ ءَاتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا﴾ [مريم: 88-95] 

Dan mereka berkata:"Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak". (QS. 19:88)

Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, (QS. 19:89)

hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, (QS. 19:90)

karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Penurah mempunyai anak. (QS. 19:91)

Dan tidak layak lagi Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. (QS. 19:92)

Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. (QS. 19:93)

Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. (QS. 19:94)

Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri. (QS. Maryam:88-95)

Karena dengan menyebutkan mempunyai anak merupakan penghinaan terhadap Allahsubhanahu wa ta’ala dan mencela -Nya. Ia lebih besar daripada sesuatu jika mereka menyembah Allah subhanahu wa ta’ala dan menyekutukan sesuatu dengan -Nya, maka mereka mengangkat makhluk dan mengagungkannya seperti pengagungan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala. Karena menyandarkan anak adalah menurunkan keagungan Yang Maha Pencipta agar sama seperti makhluk dan menyembah berhala adalah meninggikan makhluk agar sama seperti Yang Maha Pencipta. Menurunkan keagungan Yang Maha Pencipta lebih besar dosanya dari pada meninggikan derajat makhluk dan lebih kufur.

Mencela adalah menafikan iman secara lahir dan batin; menafikan ucapan hati, yaitu mempercayai Allah subhanahu wa ta’ala dan beriman dengan keberadaan -Nya serta beriman dengan hak -Nya dengan beribadah. Demikian pula menafikan amal hati, yaitu mencintai Allahsubhanahu wa ta’ala, mengagungkan dan menghormati -Nya. Maka tidak diterima pengakuan pengagungan sementara engkau mencelanya, seperti mengagungkan Allahsubhanahu wa ta’ala dan menghormati kedua orang tua. Maka siapa yang mengaku menghormati kedua orang tuanya, sedangkan ia mencela dan mengolok-olok keduanya, maka ia adalah pembohong dalam pengakuannya.

Demikian itulah, sesungguhnya mencela Allah subhanahu wa ta’ala membatalkan iman secara lahir, yaitu ucapan dan perbuatan.

Ijma’ (konsensus) para ulama: orang yang mencela Allah subhanahu wa ta’alaadalah kufur

Para ulama sepakat dari setiap mazhab yang mengatakan: ‘iman adalah ucapan dan perbuatan’, bahwa mencela Allah subhanahu wa ta’ala adalah kufur. Tidak ada alasan bagi orang yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala pada setiap celaan atau penghinaan yang nyata dengan kesepakatan mereka.

Harb rahimahullah meriwaytkan dalam ‘Masail’nya, dari Mujahid rahimahullah, dari Umarradhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Barangsiapa yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala atau mencela salah seorang nabi maka bunuhlah ia.”[4]

Al-Lats rahimahullah meriwayatkan dari Mujahid rahimahullah, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Muslim manapun yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala atau seseorang dari pada nabi berarti ia mendustakan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, ia menjadi murtad maka harus disuruh bertaubat. Jika ia kembali (maka taubatnya diterima) dan jika ia tidak mau bertaubat maka bunuhlah. Seorang kafir mu’ahad(yang terikat perjanjian damai dengan kaum muslimin) yang ingkar mencela Allah subhanahu wa ta’ala atau salah seorang nabi atau terang-terangan dengannya, maka sungguh ia telah melanggar perjanjian maka bunuhlah ia.’[5]

Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang orang yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala? Ia menjawab: ‘Ini murtad, harus dipotong lehernya.’ Sebagaimana diriwayatkan oleh anaknya, Abdullah, dalam ‘Masail’nya.[6]

Banyak para ulama yang meriwayatkan kufurnya (orang yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala) dan ia harus dibunuh:

Ibnu Rahawaihi rahimahullah berkata: ‘Kaum muslimin ijma’ (konsensus) bahwa siapa yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala, atau mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau menolak sesuatu yang diturunkan Allahsubhanahu wa ta’ala, atau membunuh seorang nabi dari para nabi, maka ia kafir dengan hal itu, sekalipun ia mengakui dengan yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala.’[7]

Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: ‘Tidak ada perbedaan pendapat bahwa orang yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala dari kaum muslimin adalah kafir, darahnya halal.’[8]

Ibnu Hazm rahimahullah dan yang lainnya juga meriwayatkan ijma’. Dan para imam menegaskan kufurnya, seperti Ibnu Abi Zaid al-Qairawany rahimahullah, Ibnu Quddamahrahimahullah dan yang lainnya.[9]

Demikianlah, semua menegaskan kufur orang yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala dan mereka tidak menerima alasan darinya, karena selama manusia masih punya akal sehat ia bisa membedakan celaan dari yang lainnya, mengenal yang mana pujian dan yang mana celaan, akan tetapi mereka menggampangkan dalam kelancangan (ketidak sopanan) terhadap -Nya.

Ibnu Abi Zaid al-Qairawany al-Malikyrahimahullah ditanya tentang seseorang yang mencela seorang laki-laki dan mencela Allahsubhanahu wa ta’ala bersamanya, lalu laki-laki itu berkata: ‘Sebenarnya saya bermaksud mencela syetan, tapi saya salah ngomong.’ Ibnu Abi Zaidrahimahullah menjawab: ‘Ia dibunuh sesuai ucapannya yang nampak dan tidak diterima alasannya, sama saja ia bercanda atau serius.’[10]

Seperti demikianlah para ulama dan qadhi memberikan fatwa dan memutuskan di semua mazhab fiqih –seperti imam empat dan ahli zhahir- hukum sesuai yang nampak dan tidak memandang yang batin (dalam hati), sekalipun orang yang mencela mengaku bahwa maksudnya bukan hal itu.

Jikalau para ulama mengembalikan pelanggaran-pelanggaran yang nyata kepada pengakuan batin yang berbeda dengan yang nampak niscaya gugurlah nama-nama syari’at, hukum-hukum, hukuman, dan hudud, dan tersia-sialah hak-hak dan kemuliaan. Maka tidak bisa dibedakan muslim dan kafir, mukmin dan munafik, dan jadilah agama dan dunia menjadi bahan mainan lewat lisan orang-orang bodoh dan di tangan orang-orang yang hatinya sakit.


Mencela (Allah subhanahu wa ta’ala ) adalah kufur, sekalipun tanpa tujuan kufur

Mencela Allah subhanahu wa ta’ala akan kufur, tidak ada perbedaan dalam hal itu, dan tidak diperdulikan kegampangan kalangan awam mengucapkannya dengan alasan tidak ada maksud, dan sesungguhnya ucapan mereka mencela terucap di lisan tanpa ada maksud buruk pada hak Allah subhanahu wa ta’ala.

Alasan ini adalah kebodohan dari pelakunya dan tidak ada yang menerima alasan ini kecuali Jahm bin Shafwan dan ghulat Murji`ah yang mengatakan bahwa iman adalah membenarkan dan mengenal secara hati. Ini penyebabnya adalah ketidak tahuan bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan, artinya ucapan lisan dan hati, dan amal hati dan anggota tubuh.

Ghulat Murji`ah berpendapat bahwa amal lahiriyah tidak menetapkan iman, dan atas dasar ini ia tidak menafikannya kecuali dengan kembali kepada hatinya.

Yang haq bahwa iman adalah lahir dan batin, dan satu sama lain dari keduanya menetapkan iman, dan dengan tiadanya satu dari keduanya niscaya tiadalah iman secara keseluruhan.

Sebagaimana orang kafir, ia kafir apabila ia bermaksud kufur dan menghendakinya, sekalipun ia belum mengatakannya dengan lisan dan belum melakukannya dengan anggota tubuhnya. Demikian pula ia menjadi kufur dengan ucapannya, sekalipun ia belum berniat dalam hatinya dan belum melakukannya dengan anggota tubuhnya. Demikian pula menjadi kafir orang yang melakukan perbuatan kufur, sekalipun ia tidak bermaksud kufur dalam hatinya dan tidak mengatakannya dengan lisannya.

Apabila anggota tubuh melakukan perbuatan haram ia dihukum dengan perbuatannya dan urusan hatinya diserahkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan tidaklah semua yang diputuskan kufurnya –karena nampak kufurnya secara lahiriyah-  ia menjadi kafir di sisi Allah subhanahu wa ta’ala secara batin. Urusan batin diserahkan kepada Allah subhanahu wa ta’aladan urusan lahiriyah, hamba dihukum dengannya di dunia.

Allah subhanahu wa ta’ala memutuskan kufur orang yang mengolok-olok terhadap  -Nya, terhadap kitab -Nya, dan rasul -Nya serta tidak menerima alasannya karena tidak serius. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

قال الله تعالى: ﴿وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ .لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ ﴾ [التوبة: 65-66] 

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab:"Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah:"Apakah dengan Allah, ayat-ayat -Nya dan Rasul -Nya kamu selalu berolok-olok?". Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema'afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (QS. at-Taubah:65-66)

Dan akal sehat menunjukkan bahwa manusia dihukum dengan sesuatu yang nampak darinya, maka tidak bisa diterima tuduhan sebagian mereka (terhadap yang lain) dengan zina. Demikian pula pemerintah tidak menerima celaan dan kutukan terhadapnya, sekalipun orang-orang beralasan bahwa mereka tidak sengaja (tidak ada maksud). Maka Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan hukuman had terhadap orang yang menuduh berzinah tanpa maksud sebanyak delapan puluh cambuk, dan tidak diterima alasan pelaku bahwa ia hanya bercanda dan main-main.

Demikian pula wibawa pemerintah akan gugur apabila membiarkan manusia bercanda dan bermain dengan kehormatannya. Maka engkau melihatnya menghukum dan memberi pelajaran kepada manusia: yang serius dan bercanda dari mereka.

Sangat banyak nash-nash dalam menghukum manusia karena tindakan kriminal dan kezalimannya yang menggampangkan dalam mengenal keagungan -Nya dan kedudukan -Nya yang dikenal jelas secara akal dan naql (nash, dalil), dan tidak diterima alasannya dalam hal itu.

Dalam ash-Shahih, dari Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ الله لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاًيَهْوِيْ بِهَا فِى جَهَنَّمَ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا » [ أخرجه البخاري ومسلم ]

Sesungguhnya hamba berbicara dengan satu kalimah dari kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala yang ia tidak memperdulikannya, ia terjerumus karenanya di neraka tujuh puluh tahun.[11]

Sungguh Allah  subhanahu wa ta’alamengharuskan siksaan baginya dan tidak menerima alasannya, padahal ia tidak memperdulikannya, maksudnya ia tidak memikirkan nilai ucapannya dan tidak pula timbangan perkataannya, karena ia mempergampang dalam merenungkan ucapannya. Maka jika ia merenungkan ucapannya walau hanya sedikit niscaya jelaslah baginya keburukan ucapannya dan kejahatan perkataannya.

Dan diriwayatkan pula dalam hadits Bilal bin Harits radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَابَلَغَتْ فَيَكْتُبُ الله عَلَيْهِ بِهَا سَخَطَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ » [ أخرجه أحمد وابن حبان ]

Dan sesungguhnya seseorang darimu berbicara dengan satu kalimat  dari kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala, ia tidak menduga akan terlalu jauh, maka Allah subhanahu wa ta’ala menulis atasnya kemurkaan -Nya karena kalimat itu hingga hari bertemu -Nya.”[12]

Maka alasan manusia bahwa mencela Allah subhanahu wa ta’ala dan mengutuk -Nya terucap di lisan tanpa ada maksud merendahkan atau sengaja menghina; adalah alasan yang dimudahkan Iblis bagi manusia sehingga menetapkan dia dalam kekufuran, dan menentramkannya dalam kezhalimannya bagi dirinya terhadap hak Rabb-nya. Syetan tidak memudahkan kekufuran terhadap manusia kecuali ia mendapatkan baginya sesuatu yang menentramkannya berupa syubhat-syubhat akal yang lemah dan syubat-syubhat syara’ yang lemah  yang tidak berdiri di atas timbangan pemahaman yang shahih, yang bersih dari hawa nafsu.

Dan di antara rayuan syetan dan syubhatnya terhadap manusia: bahwa ia memudahkan baginya  kekufuran dan dosanya dengan menghadirkan ketaatan kepada manusia yang memadamkan dengannya kerugian dosa dan kepedihan maksiat di hati manusia yang berdosa, seperti godaannya bagi orang yang mencela Allahsubhanahu wa ta’ala dari kalangan awam bahwa ia mengucapkan dua kalimah syahadat dan berbakti kepada kedua orang tua, dan terkadang menunaikan shalat.

Dan seperti inilah sesatnya kaum musyrik arab di Makkah. Di mana mereka menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala dan menyembah berhala dari selain -Nya, dan menghadirkan di hati mereka memberi minuman kepada jama’ah haji dan memakmurkan Masjidil Haram serta kiswah (kelambu) Ka’bah, dan ini semua tidak bermanfaat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Karena penyekutuan mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala bersama yang lain meniadakan pengagungan kepada     -Nya. Mereka mengagungkan Baitullah namun kufur dengan Rabb Ka’bah. Bait diagungkan hanya karena Rabb-nya dan tidaklah Rabb diagungkan karena Bait-Nya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

قال الله تعالى: ﴿ أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَآجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللهِ لاَيَسْتَوُونَ عِندَ اللهِ وَاللهُ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ  ﴾ [التوبة:19] 

Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah. Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim. (QS. at-Taubah:19)

Banyak sekali iman manusia kepada Allahsubhanahu wa ta’ala hanya pengakuan belaka, karena sangat bertentangan dengan realitas perbuatannya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

قال الله تعالى: ﴿وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الأَخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ ﴾ [البقرة:8] 

Di antara manusia ada yang mengatakan:"Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (QS. al-Baqarah:8)

Maka tidak mungkin pengakuan mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala dan mengucapkan dua kalimah syahadat disertai mencela dan mengolok-olok Allah subhanahu wa ta’ala.


Had orang yang mencela Allahsubhanahu wa ta’ala

Para ulama sepakat bahwa orang yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala dihukum bunuh karena kufur  dan ia tidak bisa mengambil hukum-hukum sebagai seorang muslim setelah dibunuh seperti dishalatkan, dimandikan, dikafani, dikuburkan, dan dido’akan. Mereka berpendapat bahwa ia tidak boleh dishalatkan, tidak dimandikan, tidak dikafani dan tidak dikuburkan di kuburan kaum muslimin, dan tidak boleh dido’akan karena tidak termasuk kaum muslimin.

Sesungguhnya para ulama hanya berbeda pendapat dalam masalah; apakah diterima taubatnya setelah ia mengatakan ucapannya atau melakukan perbuatannya yang buruk terhadap Allah subhanahu wa ta’ala. Apakah ia terlebih dulu diminta bertaubat atau ia dibunuh dan tidak diterima taubatnya di dunia, dan Allah subhanahu wa ta’ala mengurus perkara batinnya di akhirat? Mereka berbeda pendapat dalam hal itu atas dua pendapat yang masyhur:

Pendapat pertama: tidak diterima taubatnya dan harus dibunuh tanpa harus diminta bertaubat, dan urusan taubatnya diserahkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala di akhirat kelak. Ini adalah pendapat yang masyhur menurut Hanabilah (para ulama mazhab Hanbaly) dan segolongan fuqaha selain mereka, dan itulah pendapat Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu serta selain mereka, seperti yang sudah dijelaskan. Dan itulah nampaknya ucapan Imam Ahmad yang terkenal.

Penyebabnya adalah: bahwa sesungguhnya taubat tidak bisa menggugurkan kesalahan dosa (kriminal) yang nampak dan tidak bisa menolak kerusakan menggampangkan mencela Allah subhanahu wa ta’ala dan mengolok-olok -Nya di hadapan manusia. Maka dengan penerimaan taubatnya, manusia akan meremehkan melakukan dosa besar ini. Apabila mereka dibawa ke hadapan pemerintah dan hukum, mereka menampakkan taubat kemudian ia dilepas. Dan ini menyebabkan keberanian terhadap kufur dan menggampangkan perkaranya di dalam jiwa. Hukuman disyari’atkan untuk memberi pelajaran terhadap pelakukan tindakan kriminal dan membersihkannya, serta pencegah bagi yang lain dari orang yang mengatakan atau melakukan seperti ucapan dan perbuatannya, dan penerimaan taubatnya menggugurkan dua tujuan tersebut.

Pendapat kedua: mereka berpendapat agar ia disuruh bertaubat terlebih dahulu dan diterima taubatnya jika nampak kejujuran darinya dan tidak mengulangi lagi perbuatan dosanya, dan inilah pendapat mayoritas fuqaha.

Dan penyebab penerimaan taubat mereka adalah: sesungguhnya mencela Allah subhanahu wa ta’ala adalah kufur dan taubat orang kafir dari semua kekafiran adalah diterima seperti orang-orang musyrik, penyembah berhala dan orang-orang yang ingkar yang masuk Islam. Masuknya mereka ke dalam Islam menghapus kekufuran mereka yang terdahulu. Allah subhanahu wa ta’alamenerima taubat orang yang bertaubat dan memaafkannya. Dan tindakan melampaui batas terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dengan mencela adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala, dan Allah subhanahu wa ta’ala memaafkan orang yang menganiaya dirinya dengan mencela –Nya dan menerima taubat setiap orang musyrik.

Ini berbeda dengan mencela Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia adalah hak yang harus diambil, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa memaafkan setiap orang yang mencelanya karena beliau sudah wafat.

Dasar dalam hal itu adalah hak beliau yang agung dan mencela Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kufur, dan pelakunya harus dibunuh.

Kemudian, sesungguhnya mencela Nabi muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi pengaruh dalam wibawanya dalam pandangan manusia dan melemahkan kedudukannya di dalam hati. Berbeda mencela Allah subhanahu wa ta’ala. Maka orang yang mencela -Nya tidak memberikan mudharat kecuali terhadap dirinya sendiri.

Yang benar: bahwa orang yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala harus dibunuh dan tidak diterima taubatnya. Dan taubatnya kepada Allahsubhanahu wa ta’ala ditemukannya di batinnya, dan Allah subhanahu wa ta’ala memperlakukannya dengan keadilan -Nya atau memaafkannya.

Siapa yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala dan bertaubat serta menampakkan taubatnya sebelum ditanya dan diadili niscaya diterima taubat karena jelas kejujurannya. Maka hukumnya sama seperti hukum orang kafir yang masuk Islam secara suka rela, sekalipun mereka mengaku mencela Allah subhanahu wa ta’ala  sebelum masuk Islam.

Mencela Allah subhanahu wa ta’ala adalah dua macam:

Pertama: mencela secara langsung; seperti mengutuk      -Nya, mencela -Nya dan mengolok-olok -Nya. Maka ia sama seperti hukum-hukum yang telah dijelaskan dan itulah yang dimaksudkan para ulama ketika menyebutkan hukum mencela Allah subhanahu wa ta’ala.

Kedua: mencela secara tidak langsung; seperti mencela sesuatu yang Allah subhanahu wa ta’ala mengaturnya, berupa ayat-ayat dan makhluk-makhluk -Nya yang tidak ada hak memilih baginya dan tidak ada usaha seperti pilihan dan usaha manusia. Dan hal itu seperti mencela masa, hari, jam, detik, bulan, bintang dan peredarannya. Maka tidak sama seperti terdahulu berupa kufurnya orang yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala, membunuhnya dan yang lainnya. Kecuali bila disertai nampak tujuan kepada yang menjalankannya dan mengedarkannya serta menyatakan dengan -Nya.

Diriwayatkan dalam Shahihain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «قَالَ الله: يُؤْذِيْنِي ابْنُ آدَمَ, يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ, بِيَدِي اْلأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ  » [ أخرجه الشيخان ]

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: ‘Manusia menyakiti -Ku, ia mencela masa dan Aku adalah masa, di tangan -Ku perkara, Aku membolak balik malam dan siang.” [13]

وفي رواية: «قَالَ الله: يُؤذِيْنِي ابْنُ آدَمَ, يَقُوْلُ يَاخَيْبَةَ الدَّهْرِ, فَلاَ يَقُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ يَاخَيْبَةَ الدَّهْرِ, فَإِنِّي أَنَا الدَّهْرُ, أُقَلِّبُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهَ, فَإِذَا شِئْتُ قَبَضْتُهُمَا. » [ أخرجه مسلم ]

Dalam satu riwayat: ‘Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: ‘Manusia menyakiti -Ku, ia berkata: ‘Wahai celakanya masa’, maka janganlah seseorang darimu mengatakan: ‘Wahai celakanya masa’. Maka sesungguhnya Aku adalah masa, Aku membolak-balikan malam dan siangnya. Apabila Aku menghendaki, Aku meggenggam kedua.’[14]

Planet-planet seperti matahari dan bulan serta dampak dari keduanya seperti malam dan siang serta zaman, dijalankan (oleh Allahsubhanahu wa ta’ala) tidak diberikan pilihan (kepadanya). Tidak keluar dari kehendak Allahsubhanahu wa ta’ala semata. Tidak ada baginya pilihan, usaha dan kehendak. Tidak diperintah kecuali dengan perintah kauni, dan ia tidak bisa keluar darinya.

Maka mencelanya merupakan tindakan melampaui batas terhadap yang menjalankannya dan menyuruhnya, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala, dan penentangan terhadap hikmah dan kehendak -Nya padanya.

Karena inilah, Allah subhanahu wa ta’alamenjadikan orang yang mencela masa adalah mencela Allah subhanahu wa ta’ala sebagai konsekuensinya.

Allah subhanahu wa ta’ala tidak menjadikan mencela manusia sama seperti mencela Allah subhanahu wa ta’ala, karena manusia mempunyai hak memilih dan berkehendak yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

قال الله تعالى: ﴿ وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ ﴾ [التكويــر: 29] 

Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam. (QS. at-Takwir:29)

Adapun planet-planet seperti matahari dan bulan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

قال الله تعالى: ﴿ لاَالشَّمْسُ يَنبَغِي لَهَآ أَن تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلاَالَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ  ﴾ [يس: 40] 

Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang.Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS. Yasiin:40)

Wajib mengagungkan Allah subhanahu wa ta’aladan sifat-sifat-Nya!

Di antara mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala adalah mengagungkan pengaturan -Nya, segala perintah dan larangan -Nya, berhenti di sisinya dan menjunjungnya, dan tidak mendalami pada sesuatu yang manusia tidak mengetahuinya.

Di antara mengagungkan -Nya: berdzikir, berdo’a dan meminta kepada -Nya, serta menghubungkan berbagai peristiwa alam dengan -Nya, Dia yang menciptakan dan mengaturnya, tiada sekutu bagi -Nya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

قال الله تعالى: ﴿ وَمَاقَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَاْلأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ  ﴾ [الزمر: 67] 

Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya pada hal bumi seluruhnya dalam genggaman -Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan  -Nya.Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (QS. az-Zumar:67)

Dengan ini selesainya risalah ini dengan ringkas. Hanya Allah subhanahu wa ta’ala semata yang menolong dan meluruskan, tiada sekutu bagi-Nya. Kami memohon kepada-Nya niat yang baik dan manfaat yang umum.

Semoga Allah subhanahu wa ta’alasenantiasa memberi rahmat dan kesejahteraan kepada nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau hingga hari pembalasan.

[1] Ad-Durrul Mantsur 8/290-291.

[2] Jami’ul Bayan, ath-Thabary 22/296 dan Ma’alimu Tanzil, al-Baghawy 5/156.

[3] HR. Muslim 2577

[4] Sebagaimana dalam ash-Sharimul Maslul’ hal.102

[5] ash-Sharimul Maslul’ hal. 201

[6] Hal. 431.

[7] At-Tamhid, Ibnu Abdil Barr 4/226 dan Istidzkaar 2/150.

[8] Asy-Syifaa` 2/270

[9] Al-Muhalla, Ibnu Hazm, 11/411, al-Mughny, Ibnu Quddamah, 9/33, ash-Sharimul Maslul, Ibnu Taimiyah hal. 512, al-Furu`, IbnuMuflih 6/162, Inshaaf, al-Mardawy 10/326, at-Taaj wal Iklil, al-Mawaaq 6/288.

[10] Asy-Syifaa`, ‘Iyadh, 2/271.

[11] Al-Bukhari 6478 dan Muslim 2988

[12] Musnad Ahmad, 3/469 dan Shahih Ibnu Hibban 280.

[13] Al-Bukhari 4826, 7491 dan Muslim 2246.

[14] Muslim 2246

Sabtu, 24 Maret 2018

MANUSIA BODOH VERSI AL HIKAM


أَجْهَلُ النَّاسِ مَنْ تَرَكَ يَقِيْنَ مَا عِنْدَهُ لِظَنِّ مَا عِنْدَ النَّاسِ

"Sebodoh-bodoh manusia adalah orang yang meninggalkan keyakinannya karena mengikuti sangkaan orang-orang."

[Syekh Ibnu Athai’illah as-Sakandari, dalam al-Hikam]

Keyakinan yang datang dari diri sendiri lebih utama ketimbang anggapan-anggapan yang bersumber dari orang lain meski dalam jumlah yang banyak. Level sangkaan (dhann) ada di bawah yakin (yaqîn). Kebenaran tak tergantung pada seberapa banyak orang menganggapnya benar. Karena itu, menurut Ibnu Athaillah, mengabaikan keyakinan sendiri lantaran mendengarkan sangkaan kebanyakan orang adalah sikap yang bodoh. Dengan demikian, menilai benar sesuatu semsestinya karena sesuatu itu memang diyakini benar, bukan sebab orang-orang menganggapnya benar. Di kehidupan sehari-hari sering kita dapati fakta yang bertentangan dengan idealisme ini, di mana banyak orang membenci sesuatu atau seseorang hanya karena banyak orang yang juga membenci sesuatu atau seseorang itu. Wallahu a'lam

Jumat, 23 Maret 2018

Fasluki Subula Robiki Dzululan

Suluk secara harfiah berarti menempuh (jalan). Dalam kaitannya dengan agama Islam dan sufisme, kata suluk berarti menempuh jalan (spiritual) untuk menuju Allah. Menempuh jalan suluk (bersuluk) mencakup sebuah disiplin seumur hidup dalam melaksanakan aturan-aturan eksoteris agama Islam (syariat) sekaligus aturan-aturan esoteris agama Islam (hakikat). Ber-suluk juga mencakup hasrat untuk Mengenal Diri, Memahami Esensi Kehidupan, Pencarian Tuhan, dan Pencarian Kebenaran Sejati (ilahiyyah), melalui penempaan diri seumur hidup dengan melakukan syariat lahiriah sekaligus syariat batiniah demi mencapai kesucian hati untuk mengenal diri dan Tuhan.

Kata suluk berasal dari terminologi Al-Qur'an, Fasluki, dalam Surat An-Nahl [16] ayat 69, Fasluki subula rabbiki zululan, yang artinya Dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (bagimu).Seseorang yang menempuh jalan suluk disebut salik.

Kata suluk dan salik biasanya berhubungan dengan tasawuftarekatdan sufisme.

Suluk, Mengenal Diri, Misi Hidup: Apa itu?

[TANYA] bersuluk, bermakna keberserahdirian. namun apakah yang dilakukan/dikerjakan oleh orang2 yg bersuluk? amalannya? dimana? caranya? kenapa? dan mengapa? (Nurhidayah)

[JAWAB] Bersuluk sebenarnya tidak tepat jika dikatakan bermakna keberserahdirian. ‘Islam’ (aslama)-lah yang artinya ‘berserah diri’. ‘Islam’, adalah keberserahdirian dalam ketaatan dan pengabdian sejati kepada Allah.

Bersuluk, artinya ‘menempuh jalan’. Jalan yang dimaksud adalah ‘jalan kembali kepada Allah’, yaitu ‘jalan taubat’ (ingat asal kata ‘taubat’ adalah ‘taaba’, artinya ‘kembali’), atau jalan ad-diin. ‘Suluk’ secara harfiah berarti ‘menempuh’, (Sin – Lam – Kaf) asalnya dari Q.S. An-Nahl [16] : 69, “Fasluki subula Rabbiki zululan,”

“…dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (untukmu).” (Q. S. An-Nahl [16] : 69)


‘Menempuh jalan suluk’ berarti memasuki sebuah disiplin selama seumur hidup untuk menyucikan qalb dan membebaskan nafs (jiwa) dari dominasi jasadiyah dan keduniawian, dibawah bimbingan seorang mursyid sejati (yang telah meraih pengenalan akan diri sejatinya dan Rabb-nya, dan telah diangkat oleh Allah sebagai seorang mursyid bagi para pencari-Nya), untuk mengendalikan hawa nafsu, membersihkan qalb, juga belajar Al-Qur’an dan belajar agama, hingga ke tingkat hakikat dan makna. Dengan bersuluk, seseorang mencoba untuk beragama dengan lebih dalam daripada melaksanakan syari’at saja tanpa berusaha memahami. Orang yang memasuki disiplin jalan suluk, disebut salik(bermakna ‘pejalan’).

Ber-suluk –bukan– mengasingkan diri. Ber-suluk adalah menjalankan agama sebagaimana awal mulanya, yaitu beragama dalam ketiga aspeknya, ‘Iman’ – ‘Islam’ – ‘Ihsan’ (tauhid – fiqh – tasawuf)sekaligus, sebagai satu kesatuan diin Al-Islam yang tidak terpisah-pisah. Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa bersuluk adalah ber-thariqah, walaupun tidak selalu demikian.

Yang dilakukan, adalah setiap saat berusaha untuk menjaga dan menghadapkan qalb nya kepada Allah, tanpa pernah berhenti sesaat pun, sambil melaksanakan syari’at Islam sebagaimana yang dibawa Rasulullah saw. Amalannya adalah ibadah wajib dan sunnah sebaik-baiknya, dalam konteks sebaik-baiknya secara lahiriah maupun secara batiniah. Selain itu ada pula amalan-amalan sunnah tambahan, bergantung pada apa yang paling sesuai bagi diri seorang salik untuk mengendalikan sifat jasadiyah dirinya, mengobati jiwanya, membersihkan qalbnya, dan untuk lebih mendekat kepada Allah.

“Tidak ada cara ber-taqarrub(mendekatkan diri) seorang hamba kepada-Ku yang lebih Aku sukai selain melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Aku fardhu-kan kepadanya. Namun hamba-Ku itu terus berusaha mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan (sunnah)nawafil, sehingga Aku pun mencintainya. Apabila ia telah Aku cintai, Aku menjadi pendengarannya yang dengan Aku ia mendengar, (Aku menjadi) pengelihatannya yang dengan Aku ia melihat, (Aku menjadi) tangannya yang dengan Aku ia keras memukul, dan (Aku menjadi) kakinya yang dengan Aku ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, sungguh, akan Aku beri dia, dan jika ia memohon perlindungan-Ku, Aku benar-benar akan melindunginya.” (Hadits Qudsi riwayat Bukhari).


Dasar segala amalan adalah Al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah, demikian pula amalan-amalan dalam suluk. Suluk tidak mengajarkan untuk meninggalkan syariat pada level tertentu. Syariat (bahkan hingga hakikat dari pelaksanaan syariat) tuntunan Rasulullah wajib dipahami dan dilaksanakan oleh seorang salik, hingga nafasnya yang penghabisan.

Dimana? Dimana pun, kapan pun. Setiap saat, selama hidup hingga nafas terakhir kelak. Kenapa? Karena sebagian orang ingin memahami makna hidup, makna Al-Qur’an, ingin hidup tertuntun dan senantiasa ada dalam bimbingan Allah setiap saat. Sebagian orang ingin memahami agama, bukan sekedar menghafal dalil-dalil beragama.

Jadi, bersuluk kurang lebih adalah ber-Islam dengan sebaik-baiknya dalam sikap lahir maupun batin, termasuk berusaha memahami kenapa seseorang harus berserah diri (ber-Islam), mengetahui makna ‘berserah diri kepada Allah’ (bukan ‘pasrah’), dalam rangka berusaha mengetahui fungsi spesifik dirinya bagi Allah, untuk apa ia diciptakan-Nya.

Dengan mengetahui fungsi spesifik kita masing-masing, maka kita mulai melaksanakan ibadah(pengabdian) yang sesungguhnya. Sebagai contoh, shalatnya seekor burung ada di dalam bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang, dan shalatnya seekor ikan ada di dalam kondisi saat ia berenang di dalam air. Masing-masing kita pun memiliki cara pengabdian yang spesifik, jika kita berhasil menemukan fungsi untuk apa kita diciptakan-Nya.

“Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya ber-tasbih kepada Allah siapa pun yang ada di petala langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalat-nya dan cara tasbih-nya masing-masing. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan.” (Q. S. An-Nuur [24] : 41)


Inilah ibadah (pengabdian) yang sejati: beribadah dengan cara melaksanakan pengabdian pada Allah dengan menjalankan fungsi spesifik diri kita, sesuai dengan untuk apa kita diciptakan-Nya sejak awal. Fungsi diri yang spesifik inilah yang disebut dengan ‘misi hidup’ atau ‘tugas kelahiran’, untuk apa kita diciptakan.

Sebagaimana sabda Rasulullah:

Dari Imran ra, saya bertanya, “Ya Rasulullah, apa dasarnya amal orang yang beramal?” Rasulullah saw. menjawab, “Tiap-tiap diri dimudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah diciptakan untuk (amal) itu.” (H. R. Bukhari no. 2026).


Juga,

“…(Ya Rasulullah) apakah gunanya amal orang-orang yang beramal?” Beliau saw. menjawab, “Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya.”(H. R. Bukhari no. 1777).


Tiap-tiap diri. Setiap orang. Spesifik. Masing-masing memiliki suatu alasan penciptaan, sebuah tugas khusus, sebuah amanah ilahiyah. Ketika seseorang menemukan tugas dirinya, Allah akan memudahkan dirinya beramal dalam pengabdian sejati berupa pelaksanaan akan tugas itu. Ia akan menjadi yang terbaik dalam bidang tugasnya tersebut. Jalan ‘yang dimudahkan kepadanya’ inilah jalan pengabdian yang sesuai misi hidup, sesuai untuk apa kita diciptakan Allah, sebagaimana Q. S. 16 : 69 tadi, “… tempuhlan jalan Rabb-mu yang dimudahkan (bagimu).”

Agama-agama timur mengistilahkan hal ini dengan kata ‘dharma’. Para wali songgo di Jawa zaman dahulu memberi istilah ‘kodrat diri’ atau kadar diri, sesuai istilah dalam Qur’an. Ada juga yang menyebutnya dengan ‘jati diri’.

Segala sesuatu diciptakan Allah dengan ketetapan, dengan tugas, dengan ukuran fungsi spesifik tertentu. Demikian pula kita masing-masing, dan berbeda untuk tiap-tiap orang. Al-Qur’an mengistilahkan hal ini dengan qadar. “Inna kulli syay’in khalaqnaahu bi qadr.”

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan qadr.” (Q. S. Al-Qamar [54] : 49)


Kita, karena ke-Mahapenciptaan Allah, mustahil diciptakan-Nya secara ‘murahan’ dan ‘tidak kreatif’ sebagai sebuah produk massal. Kita sama sekali bukan mass-product, karya generik. Masing-masing kita dirancang Allah secara spesifik, tailor-made orang-per-orang, dengan segala kombinasi kekuatan dan kelemahan yang diukur dengan presisi oleh tangan-Nya sendiri.

Masing-masing kita diciptakan-Nya dengan dirancang untuk memiliki sekian kombinasi ‘kadar’ keunggulan pada sisi tertentu dan kelemahan pada sisi lainnya, demi kesesuaian untuk melaksanakan sebuah tugas, demi melaksanakan sebuah misi.

Menemukan ‘misi hidup’ adalah menemukan qadr diri kita sendiri sebagaimana yang tersebut pada ayat di atas, sehingga kita memahami untuk (fungsi) apa kita diciptakan. Kita menemukan qudrah Allah yang ada dalam diri kita sendiri. Inilah maksudnya ‘mengenal diri’ dalam hadits “man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu.”.

“Siapa yang mengenal jiwa (nafs)-nya, akan mengenal Rabb-nya.”


Tentu saja, dengan mengenal jiwa (nafs) otomatis juga mengenal Rabb, karena pengetahuan tentang fungsi dan kesejatian diri kita hanya bisa turun langsung dari sisi Allah ta’ala dan bukan dikira-kira oleh kita sendiri. Turunnya pengetahuan sejati (‘ilm) tentang ini bukan kepada jasad maupun kepada otak di jasad kita ini; melainkan hanya kepada jiwa (nafs), diri kita yang sesungguhnya. Dalam jiwa (nafs)kitalah tersimpan pengetahuan tentang diri dan pengetahuan tentang Allah, karena nafs-lah yang dahulu mempersaksikan Allah dan berbicara dengan-Nya, sebagaimana diabadikan oleh Al-Qur’an di surat Al-A’raaf [7] : 172;

“Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan dari bani Adam, dari punggung mereka, keturunan-keturunan mereka, dan mengambil kesaksian terhadap jiwa-jiwa (nafs-nafs; anfus) mereka (seraya berkata): ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu.’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami bersaksi’….” (Q. S. [7] : 172)


Ketika kita mengenal jiwa (nafs), kita mendapatkan pengetahuan tentang Allah, qudrah Allah dan qadrdiri yang tersimpan dalam jiwa kita. Dengan demikian, kita pun mengenal Allah dan juga mengenal fungsi spesifik untuk apa kita diciptakan-Nya (mengenal diri). Dengan melaksanakan fungsi tersebut, maka kita pun melaksanakan pengabdian yang sejati kepada Allah sesuai tujuan-Nya menciptakan kita. Kita mulai mengabdi (ya’bud) di atas agama-Nya (Ad-Diin) dengan hakiki. Inilah maksud perkataan sahabat Ali r. a. yang termasyhur: “Awaluddiina Ma’rifatullah.”

“Awal Ad-Diin adalah mengenal Allah (ma’rifatullah)” (Sahabat Ali r. a.)


Demikianlah pengabdian (ibadah)yang hakiki. ‘Ibadah’ bukanlah sekedar puasa, shalat, zakat, dan semacamnya; melainkan jauh, jauh lebih dalam dari itu. ‘Ibadah’ berasal dari kata ‘abid, bermakna, ‘abdi’, ‘hamba’, atau ‘budak’. ‘Ibadah’ pada hakikatnya adalah sebuah pengabdian, atau penghambaan diri. Dan pengabdian yang hakiki adalah pengabdian dengan menjalankan tugas ilahiyah sesuai dengan keinginan-Nya, menurut kehendak-Nya, untuk fungsi apa Dia menciptakan kita.

Demikian pula, status ‘Abdullah’(‘abdi Allah/hamba Allah) maupun ‘Abdina’ (hamba Kami) adalah mereka yang sudah mengenali tugasnya dan sudah berfungsi sesuai dengan yang sebagaimana Allah kehendaki bagi dirinya. ‘Hamba Allah’ adalah sebuah status yang tinggi.

Sekarang, insya Allah kita jadi sedikit lebih memahami makna ‘dalam’ dari ayat tujuan penciptaan jin dan manusia, “wama khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduun.”

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadahmengabdi/menghamba (ya’bud)kepada-Ku.” (Q. S. Adz-Dzariyaat [51] : 56)


Demikian pula pada Q. S. Al-Faatihah [1] : 5,

“Kepada Engkau kami mengabdi/menghamba (‘na’bud’,* dari ‘abid,), dan kepada Engkau kami memohon pertolongan.” (Q. S. Al-Faatihah [1] : 5)


Semoga kelak kita diizinkan Allah mampu melaksanakan pengabdian yang hakiki, dengan dijadikan Allah termasuk ke dalam golongan ‘Abdullah’.

Semoga bermanfaat,

Herry Mardian; Yayasan Paramartha.
____
na’bud sering diinterpretasikan dengan arti ‘kami menyembah’.

[*] Oh ya, mungkin akan sangat membantu memahami hal ini jika membaca juga tulisan Watung Arif, “Tiap Orang, Satu Misi”di sini.

[*] Beberapa kalimat dikutip dari makalah Zamzam A. Jamaluddin, “Struktur Insan Dalam Al-Qur’an dan Hadits: Misykat Cahaya-cahaya.”



*(Catatan Pribadi): Ini adalah gabungan kedua blog yang menyadarkan saya di tengah tengah malam, ini sangatlah berarti bagi saya kedepan. Maka saya abadikan di dalam blog pribadi saya sebagai satu kenangan manis. Alloh SWT selalu menyadarkan ku dan menegurku dengan cara caranya yang halus dan lembur serta berkasih sayang. Bermula saya terbangun tengah malam sekitar pukul 12:00. Kemudian saya terkejut seseorang telah memasukkan saya kepada satu group Whats App dengan judul Fasluki Subula Robbika, saya pun tidak mengenal siapa yang memasukkan dan kontaknya saya tidak mengenal. Kemudian saya cari tau apa itu Fasluki Subula Robika? Saya ketik dan saya baru membuka kedua blog ini maka saya tercengang. Ternyata ini dasarnya apa yang selama ini abah guru saya lakukan? 

Bagi saya tidak ada yang kebetulan, ini semua adalah cara cara Alloh dalam memberikan petunjuk kepada setiap hamba Nya terkhusus diri saya pribadi.Terimakasih yaa Alloh...

Sami'na wa atho'na...

Selasa, 20 Maret 2018

PENGERTIAN HABAIB

Organisasi pencatat keturunan Nabi Muhammad s.a.w. di Indonesia yaitu Rabithah Alawiyah, menilai banyak terjadi salah kaprah di masyarakat terkait sebutan Habib. Ketua Umum Rabithah Alawiyah, Sayyid Zen Umar bin Smith menyatakan bahwa fenomena itu perlu diluruskan.

Menurutnya, habib secara bahasa berarti keturunan Rosulullah yang dicintai. Adapun, habaib adalah kata jamak dari habib. Jadi tidak semua keturunan Rosulullah bisa disebut habib.

Keturunan Rosulullah dari Sayyidina Husein disebut sayyid, dan dari Sayyidina Hasan disebut assyarif. Hasan dan Husein merupakan putra Sayyida Fatimah binti Muhammad dengan Ali bin Abi Thalib. Zen menjelaskan, di Indonesia para keturunan Rosullullah banyak yang berasal dari Husein. Maka banyak yang disebut sayyid.

Sementara keturunan-keturunan Hasan kebanyakan menjadi raja atau presiden seperti di Maroko, Jordania, dan kawasan Timur Tengah. Pertama kali ulama-ulama dari Yaman atau Hadramaut masuk ke Indonesia di beberapa daerah. Karena adanya akulturasi budaya, sebutan sayyid di Aceh berubah menjadi Said, di Sumatra Barat menjadi Sidi dan lain sebagainya.

Dia mengatakan, saat ini banyak orang yang mengaku sebagai seorang habib, padahal bukan. ‘Gelar’ habib, kata dia, tidak bisa disematkan kepada setiap sayyid. Setiap habib harus sayyid, tetapi sayyid belum tentu habib. Seorang sayyid, lanjutnya, tidak bisa mengatakan bahwa dirinya sendiri adalah habib.

Pengakuan habib harus melalui komunitas dengan berbagai persyaratan yang sudah disepakati. Di antaranya cukup matang dalam hal umur, harus memiliki ilmu yang luas, mengamalkan ilmu yang dimiliki, ikhlas terhadap apapun, wara' atau berhati-hati serta bertakwa kepada Alloh.

Dan yang paling penting, lanjutnya, adalah akhlak yang baik. Sebab, bagaimanapun keteladanan akan dilihat orang lain. Seseorang akan menjadi habib atau dicintai orang kalau mempunyai keteladanan yang baik dalam tingkah lakunya. Maka, kata dia, menjadi aneh jika seseorang mengaku-ngaku dirinya adalah seorang habib.

Dari proses zaman ke zaman, orang akhirnya menamakan semua keturunan sayyid menjadi habib. “Padahal seharusnya tidak,” katanya. Artinya, kata dia, dari waktu yang cukup lama orang mengatakan mana habib dan mana yang sayyid, untuk membedakan bahwa habib adalah ulama-ulama.

Zen mencontohkan, di Jakarta ada Habib Ali bin Abdurrahman Kwitang, Habib Ali bin Husein Al-Atas di Cikini, Habib Abdullah bin Muchsin Al-Atas di Bogor dan lain-lain. Menurutnya, beberapa habib itulah sedikit contoh dari yang memang benar-benar habib dalam arti yang sebenarnya.

Seiring berjalannya waktu, lanjutnya, penyebutan habib terjadi degradasi kualitas. Panggilan habib lebih dijadikan sebagai panggilan keakraban atau panggilan kekerabatan. Sementara di sisi lain, banyak kalangan dari sayyid sendiri maupun dari kalangan habib sendiri ingin menggunakan gelar habib untuk dakwah.
Tapi, akhirnya melenceng, mereka mentitelkan dirinya sendiri.

Saat ini, kata Zen, di seluruh dunia kurang lebih ada sekitar 68 qobilah (marga) dari keturunan Rosululloh, termasuk di Indonesia. Hanya saja, Rabithah Alawiyah masih melakukan proses pendataan secara detail berapa jumlah keturunan Nabi Muhammad yang ada di Indonesia.

“Jumlah persis kita belum tahu. Tapi estimasi kasar sekitar 1-1,5 juta orang dan saat ini sedang proses verifikasi,” ujarnya.