Sang Panumbal Tanah Jawa:
Tidak banyak orang mengetahui dan mengenal nama Syaikh Subakir. Padahal Syaikh Subakir adalah salah seorang Ulama Besar (Wali Songo) periode pertama yang dikirim khalifah dari Kesultanan Turki Utsmaniyah Sultan Muhammad I untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Nusantara.
Syaikh Subakir konon adalah seorang Ulama besar yang telah menumbal tanah Jawa dari pengaruh negatif makhluk halus saat awal penyebaran ajaran Islam di Nusantara.
Kisahnya dimulai saat Sultan Muhammad I, bermimpi mendapat wangsit (ilham/irhas) (petunjuk) untuk menyebarkan dakwah Islam ke tanah Jawa.
Adapun mubalighnya diharuskan berjumlah sembilan orang. Jika ada yang pulang atau wafat maka akan digantikan oleh Ulama lain asal tetap berjumlah sembilan.
Sehingga dikumpulkanlah beberapa Ulama terkemuka dari seluruh penjuru dunia Islam waktu itu. Para Ulama yang dikumpulkan tersebut mempunyai keahlian masing-masing. Ada yang ahli tata negara, berdakwah, pengobatan, tumbal atau rukyah, dan lain-lain.
Lalu dikirimlah beberapa Ulama ke Nusantara atau tanah Jawa. Namun sudah beberapa kali utusan dari Kesultanan Turki Utsmaniyah yang datang ke tanah Jawa, untuk menyebarkan agama Islam tapi pada umumnya mengalami kegagalan.
Penyebabnya masyarakat Jawa saat itu sangat memegang teguh kepercayaannya. Sehingga para Ulama yang dikirim mendapatkan halangan karena meskipun berkembang tetapi ajaran agama Islam hanya dalam lingkungan skala yang kecil, tidak bisa berkembang secara luas seperti yang di harapkan.
Selain itu konon, pulau Jawa saat itu masih merupakan hutan belantara angker yang dipenuhi makhluk halus dan jin-jin jahat.
Lalu diutuslah Syaikh Subakir, Ulama asal Persia yang ahli dalam merukyah, ekologi, meteorologi dan geofisika ke tanah Jawa.
Beliau diutus secara khusus menangani masalah-masalah ghaib dan spiritual yang dinilai telah menjadi penghalang diterimanya Islam oleh masyarakat Jawa ketika itu.
Berdasarkan versi "Babad Tanah Jawa", setelah sampai ke Nusantara, Syaikh Subakir yang menguasai ilmu ghaib dan dapat menerawang makhluk halus mengetahui penyebab utama kegagalan para Ulama pendahulu dalam menyebarkan ajaran Islam karena dihalangi para jin dan dedemit penunggu tanah Jawa.
Para jin, dedemit dan lelembut tersebut bisa merubah wujud menjadi ombak besar yang mampu menenggelamkan kapal berikut penumpangnya dan menjadi angin puting beliung yang mampu memporak-porandakan apa saja yang berada di depannya.
Selain itu para jin kafir dan bangsa lelembut tersebut juga bisa berubah wujud menjadi hewan buas (siluman) yang mencelakakan para Ulama pendahulu tersebut.
Untuk mengatasi hal tersebut, konon Syaikh Subakir sudah membawakan batu hitam dari Arab yang telah dirajah.
Lalu batu dengan nama "Rajah Aji Kolocokro" (versi Jawa) tersebut dipasang di tengah-tengah tanah Jawa yaitu di Puncak Gunung Tidar, Magelang. Karena, Gunung Tidar dipercayai sebagai titik sentral atau pakunya tanah Jawa.
Kemudian efek dari kekuatan (wasilah) dari batu ghaib suci yang dimunculkan oleh batu hitam tersebut menimbulkan gejolak para dedengkot makhluk-makhluk penunggu tanah Jawa.
Alam yang tadinya cerah dan sejuk, Matahari bersinar terang, damai dengan kicauan burung. Tiba-tiba berubah drastis selama tiga hari tiga malam.
Cuaca mendung dan gelap, angin bergerak cepat, kilat menyambar-nyambar menimbulkan hujan api. Gunung-gunung bergemuruh tiada henti.
Lelembut, setan, siluman, lari menyelamatkan diri. Jin, peri, banaspati, kuntilanak, jailangkung, semua hanyut dalam air karena tak kuat menahan panasnya pancaran batu hitam tersebut. Makhluk halus yang masih hidup pun mengungsi ke lautan.
Sebagian jin yang lain ada yang mati akibat hawa panas dari tumbal yang dipasang Syaikh Subakir tersebut.
Melihat hal itu, konon Sabdo Palon, Raja bangsa jin yang telah 9.000 tahun bersemayam di Puncak Gunung Tidar terusik dan keluar mencari penyebab timbulnya hawa panas bagi bangsa jin dan lelembut tersebut.
Sabdo Palon lalu berhadapan dengan Syaikh Subakir. Sabdo Palon lalu menanyakan maksud pemasangan batu hitam tersebut.
Sang Ulama menyatakan, maksud dia, menancapkan batu hitam itu untuk mengusir bangsa jin dan lelembut yang mengganggu upaya penyebaran ajaran Islam di tanah Jawa oleh para Ulama utusan Khalifah Turki Utsmaniyah.
Setelah terjadi perdebatan mereka segera mengadu kesaktian. Konon pertempuran antara keduanya terjadi selama 40 hari 40 malam, hingga Sabdo Palon yang juga dikenal sebagai Ki Semar Bodronoyo sang Danyang tanah Jawa ini merasa kewalahan dan menawarkan perundingan.
Sabdo Palon mensyaratkan beberapa point dalam upaya penyebaran Islam di tanah Jawa.
Isi kesepakatan antara lain, Sabdo Palon memberi kesempatan kepada Syaikh Subakir beserta para Ulama untuk menyebarkan Islam di tanah Jawa, akan tetapi tidak boleh dengan cara memaksa.
Kemudian Sabdo Palon juga memberi kesempatan kepada orang Islam untuk berkuasa di tanah Jawa. Raja Raja Islam namun dengan catatan. Para Raja Islam itu silahkan berkuasa, namun jangan sampai meninggalkan adat istiadat dan budaya yang ada. Silahkan kembangkan ajaran Islam sesuai dengan kitab yang diakuinya, tetapi biarlah adat dan budaya berkembang sedemikian rupa. Syarat-syarat itu pun akhirnya disetujui Syaikh Subakir.
Selain di Puncak Gunung Tidar, Syaikh Subakir juga membersihkan beberapa tempat angker di tanah Jawa yang dikuasai para raja jin dan makhluk halus lainnya.
Dalam versi lain diceritakan untuk membersihkan wilayah Gunung Tidar dari bangsa jin, Syaikh Subakir membawa senjata pusaka berupa Tombak Kiai Panjang.
Lalu tombak pusaka tersebut ditancapkan tepat di Puncak Tidar sebagai syarat (syari'at) penolak bala. Dan benar, tombak sakti itu menciptakan hawa panas yang bukan main bagi para lelembut dan bangsa jin yang berdiam di Gunung Tidar.
Mereka pun lari tunggang langgang meninggalkan Gunung Tidar. Sebagian pengikut Sabdo Palon dari bangsa jin melarikan diri ke Timur dan konon hingga sekarang menempati daerah Gunung Merapi yang masih dipercaya sebagian masyarakat sebagai wilayah yang angker. Bahkan sebagian lagi anak buah Sabdo Palon ada yang melarikan diri ke Alas Roban, dan ke Gunung Srandil.
Tombak itu sekarang masih dijaga oleh masyarakat dan ditempatkan di Puncak Gunung Tidar dengan nama petilasan, Makam Tombak Kiai Panjang.
Dengan adanya (syari'at) tombak sakti itu, maka amanlah Gunung Tidar dari kekuasaan para jin dan makhluk halus.
Dan karena keberhasilannya menumbal tanah Jawa lalu penyebaran Islam oleh Wali Songo periode pertama menjadi lancar.
Nama Syaikh Subakir lalu menjadi sangat terkenal dan dikagumi di kalangan para pendekar dan srikandi, penganut ilmu ghaib dan kanuragan, bangsawan serta masyarakat di tanah Jawa ketika itu. Sehingga mereka terkesan melampaui batas mendewakan sang Ulama asal Persia tersebut.
Akhirnya, untuk melepaskan kefanatikan masyarakat terhadap Syaikh Subakir dan untuk menjaga aqidah umat Islam. Maka pada tahun 1462 Masehi, Syaikh Subakir pulang ke Persia, Iran.
Ini dimaksudkan agar kefanatikan tersebut runtuh, dan masyarakat kembali kepada tauhid yang benar.
Selain itu tugas utama Syaikh Subakir untuk membersihkan tanah Jawa dari pengaruh negatif makhluk halus telah selesai.
Selanjutnya setelah Syaikh Subakir wafat, menurut satu riwayat posisinya digantikan oleh Wali Songo lainnya yaitu Sunan Kalijaga.
Versi: Astana Cirebon
Syaikh Subakir adalah "Sang Babad Alas Jowo" Islam di tanah Jawa sebelum Wali Songo. Sudah banyak utusan dari Negeri Arab dalam hal menyebarkan agama Islam di tanah Jawa namun terbentur akan kekuatan ghaib yang masih menguasai tanah Jawa (Nusantara). Maka, ditunjuklah Syaikh Subakir untuk menumbali tanah Jawa sebelum para Wali-Wali memulai dakwahnya.
Penyebab utama dari gagalnya syi'ar agama Islam sebelum Syaikh Subakir disebabkan oleh masyarakat yang masih kokoh memegang kepercayaan lama (klenik). Dalam artian, bahwa masih banyak mahluk yang menghuni dan mempengaruhi masyarakat Jawa untuk menyembah pepohonan, batu besar, atau hal-hal yang menyeru kepada kemusyrikan.
Di situlah Syaikh Subakir berperan menghilangkan gangguan jin dan setan tersebut menggunakan batu hitam yang dipasang Syaikh Subakir di bagian-bagian Nusantara. Untuk tanah Jawa sendiri diletakkan di tengah-tengahnya Pulau Jawa, yaitu di Gunung Tidar. Setelah semua dipasang, efek dari kekuatan ghaib batu hitam tersebut menimbulkan gejolak besar yang membuat jin dan setan mengamuk. Kemudian, Syaikh Subakir meredamnya dengan berdialog bersama mereka: “Walaupun kamu mampu meredam amukan kami dan kamu dapat mengembangkan agama Islam di tanah Jawa, tetapi qodratullah tetap masih berlaku atas-ku.” (Kata Setan).
“Apa yang kamu maksud?” (Jawab Syaikh Subakir).
“Aku masih dibolehkan untuk menggoda manusia, termasuk orang-orang Islam yang imannya masih lemah.” (Pungkasnya).
Atas dasar itulah beliau dikenal sebagai Wali Alloh yang menaklukkan jin dan makhluk halus di Gunung Tidar sehingga para makhluk halus tersebut ‘berpindah’ ke Pantai Selatan, tempat Nyai Roro Kidul. Setelah berhasil menaklukkan para jin-jin dan makhluk halus, Syaikh Subakir kembali ke tanah asalnya di Rom (Baghdad).
Dan tidaklah salah bila kemudian, Gunung Tidar dikenal dengan sebutan Paku Tanah Jawa.
Pada puncak Gunung Tidar ada lapangan yang cukup luas dan terdapat Tugu dengan simbol huruf “Sa”. Menurut penuturan juru kunci “Sa” bermakna, Sapa Salah Seleh (Siapa Salah Ketahuan Salahnya). Tugu inilah yang dipercaya sebagian orang sebagai Pakunya Tanah Jawa, yang membuat tanah Jawa tetap tenang dan aman.
Bagi sebagian orang yang memang nglakoni lelaku spiritual, Gunung Tidar merupakan salah satu obyek yang menjadi tempat tujuan untuk mendekatkan diri kepada Gusti Alloh. Zaman dahulu, Gunung Tidar terkenal ke-angkerannya dan menjadi rumah bagi para jin dan makhluk halus. "Jalmo Moro Jalmo Mati", setiap orang yang datang ke Gunung Tidar bisa dipastikan kalau tidak mati ya modar (hal ini yang menjadi asal-usul nama Tidar [Mati atau Modar]).
Berdasarkan penuturan juru kunci Gunung Tidar, terdapat 2 buah makam yaitu Makam Kyai Panjang dan Makam Sang Hyang Ismoyo (Kyai Semar). Sedangkan tempat yang selama ini dikenal sebagai Makam Syaikh Subakir sebenarnya itu hanyalah petilasan beliau.
Pada tahap berikutnya, kedudukan Syaikh Subakir “Sang Babad Tanah Jawa” sebagai salah satu Wali Songo, digantikan oleh Sunan Kalijaga yang banyak disebut-sebut pimpinan para Wali di tanah Jawa karena kekeramatannya yang begitu melegenda. Diantara para Wali yang bersama-sama Syaikh Subakir dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa generasi pertama adalah:
1. Maulana Malik Ibrahim, (Turki), ahli mengatur Negara.
2. Maulana Ishaq, (Samarkand, Rusia Selatan), ahli bidang pengobatan.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, (Mesir), dakwah tauhid Islam.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, (Maroko).
5. Maulana Malik Isro’il, (Turki), ahli tata Negara.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, (Persia, Iran), ahli pengobatan.
7. Maulana Hasanudin, (Palestina).
8.Maulana Aliyudin, (Palestina).
9. Syaikh Subakir, (Iran), ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni jin jahat.
Perjanjian Syaikh Subakir Dengan Semar:
"Kisah Perjanjian" antara Sabdo Palon dengan Syaikh Subakir
Konon ada semacam perjanjian antara Sabdo Palon sebagai Pamomong (Danyang Ghaib) tanah Jawa dengan Syaikh Subakir sebagai penyebar agama Islam generasi awal di tanah Jawa ini.
Tersebutlah kisah perjanjian ini dalam tulisan "lontar kuno". Lontar tersebut diperkirakan ditulis oleh Kanjeng Sunan Drajad atau setidak-tidaknya oleh murid atau pengikut beliau.
Cerita tentang kisah ini pernah dipentaskan sebagai lakon wayang kulit bergenre wayang songsong (wayang kulit yang berisi cerita hikayat dan legenda Jawa) yang digelar di Desa Drajad, Paciran, Lamongan, (sebuah desa tempat situs Sunan Drajad).
Syaikh Subakir: "Kisanak, siapakah kisanak ini, tolong jelaskan".
Sabdo Palon: "Aku ini Sabdo Palon, pamomong (penggembala) tanah Jawa sejak jaman dahulu kala. Bahkan sejak jaman kadewataan (para Dewa), akulah pamomong para kesatria leluhur. Dulu aku dikenali sebagai Sang Hyang Ismoyo Jati, lalu dikenal sebagai Ki Lurah Semar Bodronoyo dan sekarang jaman Majapahit ini namaku dikenal sebagai Sabdo Palon".
Syaikh Subakir: "Oh, berarti kisanak ini adalah Danyang (Penguasa) tanah Jawa ini. Perkenalkan kisanak, namaku adalah Syaikh Subakir berasal dari tanah Syam Persia".
Sabdo Palon: "Ada hajad apa gerangan jengandiko (anda) rawuh (datang) di tanah Jawa ini?".
Syaikh Subakir: "Saya diutus oleh Sultan Muhammad yang bertahta di Negeri Istambul untuk datang ke tanah Jawa ini. Saya tidaklah datang sendiri. Kami datang dengan beberapa kawan yang sama-sama diutus oleh Baginda Sultan".
Sabdo Palon: "Ceritakanlah selengkapnya kisanak. Supaya aku tahu duduk permasalahannya".
Syaikh Subakir: "Baiklah. Pada suatu malam Baginda Sultan Muhammad bermimpi menerima wisik (ilham). Wisik dari Hyang Akaryo Jagad, Gusti Alloh Dzat Yang Maha Suci lagi Maha Luhur. Diperintahkan untuk mengutus beberapa orang ‘Alim (ahli ilmu) ke tanah Jawa ini. Yang dimaksud orang ‘Alim ini adalah sebangsa pendita, brahmana, dan resi di tanah Hindu. Pada bahasa kami disebut ‘Ulama".
Sabdo Palon: "Jadi jengandiko ini termasuk ngulama itu tadi?".
Syaikh Subakir: "Ya, saya salah satu dari utusan yang dikirim Baginda Sultan. Adapun tujuan kami dikirim kemari adalah untuk menyebarkan 'Wewarah Suci' (ajaran suci), amedar agama suci. Yaitu Islam".
Sabdo Palon: "Bukankah kisanak tahu bahwa di tanah Jawa ini sudah ada agama yang berkembang yaitu Hindu dan Budha yang berasal dari tanah Hindu? Lalu buat apa lagi kisanak menambah dengan agama yang baru lagi?".
Syaikh Subakir: "Biarkan kawulo dasih (rakyat) yang memilih keyakinannya sendiri. Bukankah kisanak sendiri sebagai Danyangnya tanah Jawa lebih paham bahwa sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke Jawa ini, di sinipun sudah ada kapitayan (kepercayaan)? Kapitayan atau ‘ajaran’ asli tanah Jawa yang berupa ajaran Budhi?".
Sabdo Palon: "Ya, rupanya kisanak sudah menyelidiki kawulo Jowo disini. Memang disini sejak jaman sebelum ada agama Hindu dan Budha, sudah ada ‘kapitayan’ asli. Kapitayan adalah kepercayaan yang hidup dan berkembang pada anak cucu di Nusantara ini".
Syaikh Subakir: "Jika berkenan, tolong ceritakan bagaimana kapitayan yang ada di tanah Jawa ini?".
Sabdo Palon: "Secara ringkas kepercayaan Jawa sejak dulu itu begini. Manusia Jawa sejak dari jaman para leluhur dahulu kala meyakini ada Sang Maha Kuasa yang bersifat ‘tan keno kinoyo ngopo’, tidak bisa digambarkan bagaimana keadaannya. Dialah pencipta segala-galanya. Bawono Agung dan Bawono Alit. Jagad besar dan jagad kecil. Alam semesta dan ‘alam manusia’. Orang Jawa meyakini bahwa Dia Yang Maha Kuasa ini dekat. Juga dekat dengan manusia. Dia juga diyakini berperilaku sangat welas asih".
"Dia juga diyakini meliputi segala sesuatu yang ada. Karena itu masyarakat Jawa sangat menghormati alam sekelilingnya. Karena bagi mereka semuanya mempunyai sukma. Sukma ini adalah sebagai ‘wakil’ dari Dia Yang Maha Kuasa itu".
"Jika masyarakat Jawa melakukan pemujaan kepada Sang Pencipta, mereka lambangkan dengan tempat yang suwung. Suwung itu kosong namun sejatinya bukan kosong namun berisi SANG MAHA ADA. Karena itu tempat pemujaan orang Jawa disebut Sanggar Pamujan. Di salah satu bagiannya dibuatlah sentong kosong (tempat atau kamar kosong) untuk arah pemujaan. Karena diyakini bahwa dimana ada tempat suwung disitu ada Yang Maha Ada dan Yang Maha Berkuasa".
Syaikh Subakir: "Nah itulah juga yang menjadi ajaran agama yang kami bawa. Untuk memberi ageman (pegangan atau pakaian) yang menegaskan itu semua. Bahwa sejatinya dibalik semua yang maujud ini ada Sang Wujud Tunggal yang menjadi Pencipta, Pengatur dan Pengayom alam semesta. Wujud Tunggal ini dalam bahasa Arab disebut Al Ahad. Dia Maha Dekat kepada manusia, bahkan lebih dekat Dia daripada urat leher manusianya sendiri. Ajaran agama kami menekankan budi pekerti yang agung yaitu menebarkan welas asih kepada alam gumebyar, kepada sesama-sesama titah atau makhluk".
"Lihatlah Sang Danyang, betapa sudah rusaknya tatanan masyarakat Majapahit sekarang. Bekas-bekas perang saudara masih membara. Rakyat kelaparan. Perampokan dan penindasan ada dimana-mana. Ini harus diperbaharui budi pekertinya".
Sabdo Palon: "Aku juga sedih sebenarnya memikirkan rakyatku. Tatanan sudah bubrah. Para pejabat Negara sudah lupa akan dharmanya. Mereka saling sikut untuk merebutkan jabatan dan kemewahan duniawi. Para pandito juga sudah tak mampu berbuat banyak. Orang kecil salang tunjang (bersusah payah) mencari pegangan. Jaman benar-benar jaman edan".
Syaikh Subakir: "Karena itulah mungkin Sang Maha Jawata Agung menyuruh Sultan Muhammad Turki untuk mengutus kami kesini. Jadi, wahai Sang Danyang tanah Jawa, ijinkanlah kami menebarkan wewarah suci ini di wewengkon (wilayah) kekuasaanmu ini".
Sabdo Palon: "Baiklah jika begitu. Tapi dengan syarat-syarat yang harus kalian patuhi".
Syaikh Subakir: "Syukurlah jika di ijinkan secara baik-baik, karena jikapun tidak, kami tetap akan mewedarkan ajaran ini, kalau begitu apa yang menjadi syaratnya itu wahai Sang Danyang tanah Jawa?".
Sabdo Palon: "Pertama, jangan ada pemaksaan agama, dharma atau kepercayaan. Kedua, jika hendak membuat bangunan tempat pemujaan atau ngibadah, buatlah yang wangun (bangunan) luarnya nampak cakrak (gaya) Hindu Jawa walau isi dalamannya Islam. Ketiga, jika mendirikan kerajaan Islam maka Ratu yang pertama harus dari anak campuran. Maksud campuran adalah jika bapaknya Hindu maka ibunya Islam. Jika bapaknya Islam maka ibunya harus Hindu. Keempat, jangan jadikan 'Wong Jowo' berubah menjadi orang Arab atau Parsi. Biarkan mereka tetap menjadi orang Jawa dengan kebudayaan Jawa walau agamanya Islam. Karena agama setahu saya adalah dharma, yaitu lelaku hidup atau budi pekerti. Hati-hati jika sampai orang Jawa hilang Jawa-nya, hilang kepribadiannya, hilang budi pekertinya yang adiluhung, maka aku akan datang lagi. Ingat itu. Lima ratus tahun lagi jika syarat-syarat ini sudah terabaikan, maka aku akan muncul dengan membuat goro-goro".
Syaikh Subakir: "Baiklah jika memang begitu. Syarat pertama sampai keempat aku setujui. Namun khusus syarat keempat, betapapun aku dengan kawan-kawan akan tetap menghormati dan melestarikan budaya Jawa yang adiluhung ini. Namun jika suatu saat kelak karena perkembangan jaman dan ada perubahan, maka tentu itu bukan dalam kuasaku lagi, biarlah Gusti Kang Akaryo Jagad yang menentukannya".
Memang susah untuk mengetahui keadaan, asal-usul atau gambaran kondisi sebuah masyarakat nan jauh ke masa lalu. Semakin jauh masa itu, semakin gelap gambarannya. Namun, upaya-upaya ahli sejarah dan lainnya untuk menguaknya patut dihargai. Paling tidak ada sedikit gambaran yang mungkin bisa kita lihat, meski tidak sepenuhnya benar seratus persen.
Beberapa naskah yang beredar mencoba menggambarkan hal itu. Seperti dalam Serat Jangka Syaikh Subakir.
“Sampun sangang ewu warsa, inggih wonten pulo ngriki, dedukuh ing hardi Tidar, saweg antuk sewu warsi, langkung taun puniki, Syaikh Bakir gawok angrungu, dika niku wong napa, napa ta ayekti janmi, umur dika dene ta kaliwat-liwat.”
Yang artinya antara lain:
“Sudah 9000 tahun, ya (saya Semar) sudah ada di pulau ini (Jawa), di pedusunan di Gunung Tidar, tapi baru 1000 tahun berjalan, di sini, Syaikh Subakir heran mendengarnya, engkau ini makhluk apa, apa benar manusia? Kok usianya luar biasa?”
Demikian perkenalan Semar dengan Syaikh Subakir. Selama ribuan tahun itu Semar bertapa di Gunung Merbabu dan tidak mengetahui keadaan manusia di Jawa. Gambaran tentang kondisi pulau Jawa juga digambarkan dalam 'serat' tersebut penuh dihuni oleh demit, jin, gendruwo, bekasaan, dan sejenisnya. Bahkan beberapa utusan dari negeri Rum sebelum Syaikh Subakir dimakan demit (binadog demit). Dari serat ini, ditegaskan bahwa Raja Rum mendapat petunjuk untuk mengisi pulau Jawa: “Jeng Sultan Rum kang winarni, angsal sasmitaning sukma, dinawuhan angiseni, manungso pilo Jawi”.
Syaikh Subakir mengambil orang-orang 'keling' (?) Untuk dibawa mengisi pulau Jawa, sebanyak 2 laksa (20.000) keluarga. Dari serat ini, maka yang mengisi (menjadi penghuni pulau Jawa) adalah dari bangsa 'keling' yang dibawa oleh Syaikh Subakir. Padahal dalam naskah itu pula, Semar adalah manusia.
“Sang Hyang Semar lon wuwusnya, gih sumangga karso aji, sajatine gih kawula, lan kiraka tiyang Jawi, ing kina prapteng mangkin, kawak daplak inggih ulun, wong Jawa kuna mula, saderenga dika prapti, kula manggen Marbabu pucak haldaka.”
Namun, selama bertapa ribuan tahun itu pula pulau Jawa sudah berubah isinya, bukan manusia seperti Semar, tetapi sudah dikuasai oleh para demit.
Dalam versi SERAT JANGKA TANAH JAWI gambarannya tidak beda jauh dengan serat Jangak Syaikh Subakir, yaitu pertemuan antara Semar dengan Syaikh Subakir ketika memberi tumbal (mengusir) para dedemit yang menguasai tanah Jawa. Dalam serat ini ada dialog yang sebenarnya adalah bantahan anggapan bahwa tanah Jawa belum dihuni oleh manusia, hanya oleh bangsa jin dan demit.
“Syaikh Bakir lon angandika, sayrkti ing tanah Jawi, pan durung ono manungso, pan isih rupa wanadri, Hyang Semar matur aris, kawula sajatosipun, ing kina makina, saderenging tuwan prapti, hamba kalih dhedhukuh Rebabu arga.”
Artinya:
Syaikh Subakir berkata, sebenarnya di tanah Jawa, belum ada manusia, masih berupa hutan. Hyang Semar menjawab dengan lembut. "Hamba ini sebenarnya, di masa lalu, sebelum kedatangan tuan, hamba berdua (Semar dan Togog) ini penghuni Jawa yang bertempat di gunung Merbabu."
Namun, dalam serat ini Semar sendiri menjelaskan bahwa dia bukan manusia, tetapi keturunan Dewa, Sang Yang Tunggal atau Manikmaya. Agak sedikit berbeda memang dengan serat Jangka Syaikh Subakir. Namun pada intinya bahwa Semar dan Togog di masa lalu adalah penghuni pulau Jawa. Apakah hanya mereka berdua? Tentu ini bisa disinkronkan dengan sumber-sumber lain misalnya Babad Demak Pesisiran yang menerangkan silsilah orang tua Syang Hyang Tunggal adalah Sang Yang Wenang, putra dari Sang Yang Wening, putra dari Sang Yang Nurasa, putra dari Sang Yang Nurcahyo atau Sayid Anwar, putra dari Nabi Sis. (dalam versi lain, Sang Yang Wening dan Wenang adalah satu pribadi). Dalam Serat Jangka Tanah Jawi, Semar adalah keturunan dari Nabi Sis (jika digabungkan Babad Demak Pesisiran, karena anak dari Sang Yang Tunggal). Namun, dalam Babad Demak Pesisiran, nama Semar tidak muncul sebagai anak Sang Yang Tunggal. Di sinilah letak gelapnya lagi, Semar di satu sisi mengaku anak Sang Yang Tunggal, namun dalam babad Demak Pesisiran, tidak masuk. Demikian pula dalam Babad Tanah Jawa, Semar dan Togog itu menjadi “penderek” Raden Palasara yang merupakan keturunan dari Sayid Anwar. Dalam babad Tanah Jawa, Palasara merupakan cikal bakal leluhur Jawa, dimana kemudian, Kurawa, Pandawa adalah bagian dari keturunannya (ini menjadi terbalik, bahwa kisah Mahabarata itu mulanya dari Jawa).
Dalam serat Babad Demak Pesisiran, Nabi Ibrahim itu berbeda dengan Bathara Brahma. Nabi Ibrahim berada pada garis silsilah Sayid Anwas (saudara Sayid Anwar). Bathara Brahma adalah keturunan dari Sayid Anwar.
Masa-masa gelap ini memang memunculkan banyak versi mengenai leluhur Jawa. Buku lain, yaitu SEJARAH KAWITANE WONG JAWA LAN WONG KANUNG menggambarkan: Pertama jaman jamajuja (puluhan ribu-buku ini ditulis pada tahun 1931) sudah ada manusia, tetapi masih bertelanjang, seperti kera, hidupnya di gua-gua. Masih dalam masa jamajuja periode 5000 tahun (sebelumnya) manusianya sudah mengalami kemajuan, sudah memakai cawet dari dedaunan, sudah menempati di luar gua. Mereka sudah berkumpul dalam sebuah komunitas. Masyarakat ini disebut dengan masyarakat Lingga (Suku Lingga). Masa kuna (sebelum masehi), orang-orang Sampit berhijrah ke Nusa Kendheng yang kemudian disebut sebagai orang Jawa. Kata Jawa sendiri dirujukkan pada sebutan Bantheng yang “gemati” penuh perhatian terhadap anaknya. Sebab bantheng perempuan disebut Jawi, yang “gemati” kemudian disebut Jawa. Orang-orang Sampit yang mengungsi ke Jawa ini kemudian membuat pertanda awal sebagai orang Jawa, yaitu 230 tahun sebelum masehi (bukan saka). Tahun itu disebut tahun Hwuning (pengingat). Tokoh pimpinan rombongan eksodus ini namanya Khi Seng Dhang, yang kelak kemudian disebut Dhang Hyang (Danyang). Mereka berasal dari Sampit yang keturunan dari suku Hainan. Dari catatan ini, maka orang Jawa (dalam pengertian) pendatang baru yang “gemati”, mau menghormati orang Lingga adalah 230 SM. Namun penduduk Jawa asli, Suku Lingga kemudian bercampur dan kelak memenuhi Jawa.
Dengan demikian, mulainya peradaban Jawa itu 230 SM, karena adanya kebudayaan Hainan yang dibawa, sementara suku Lingga yang masih tertinggal, hidup di gua, hutan dan bergantung pada alam, belum disebut sebagai orang Jawa. Ini tentu berbeda dengan versi Serat Jangka Syaikh Subakir dan Serat Jangka Tanah Jawi. Jika kita lihat kedatangan Syaikh Subakir di tanah Jawa dari sumber lain, sekitar tahun 1404. Jika berasumsi bahwa sebelum tahun itu tanah Jawa tak ada manusianya, maka akan muncul banyak persoalan lagi, bagaimana dengan Kerajaan Singasari, Kediri dan lainnya yang sebelumnya ada? Tentu membaca SERAT JANGKA SYAIKH SUBAKIR dan SERAT JANGKA TANAH JAWI ini tidak bisa sejelentreh ini. Mungkin butuh analisis simbol, semiotik, hermeneutik, dan lain sebagainya agar mendapat pemahaman yang lebih luas. Sebab SERAT JANGKA itu pesan besarnya adalah mengenai “prediksi” masa depan Jawa dalam periodisasi tertentu, bukan membahas asal-usul bangsa Jawa.
Jadi masih terbuka lebar untuk penelitian yang lebih jauh dan mendalam siapa sebenarnya leluhur orang Jawa di masa lampau sekali. Tentu tidak akan ditemukan jawaban tunggal, sebab sebuah masyarakat terdiri dari berbagai unsur, keluarga dan sebagainya, maka akan dimungkinkan banyak versi.
Kembali lagi, bahwa kata Jawa itu bisa diartikan “gemati”, perhatian, menghargai, menyayangi. Jadi siapapun mereka bisa melakukan itu semua di pulau Jawa ini, akan menjadi leluhur Jawa, entah dia dari belahan dunia manapun.
*) Catatan :
Keling, dalam wikipedia adalah daerah yang sekarang bernama India (benua Keling), seperti tercantum dalam sejarah Melayu. Pada masa ini perkataan ini kebiasaannya merujuk kepada suku bangsa Dravida termasuk kaum Tamil, Telugu dan Malayalam. Di kawasan yang dulunya Kalinga, penduduknya pada hari ini bertutur dalam bahasa Bahasa Telugu dan Bahasa Oriya.
Penulis: Muhammad Jadmiko
Sumber: Disarikan dari: Dandang Gulo (Sunan Kalijaga), Serat Darmagandhul, Serat Centhini, dan Suluk Wali Songo.