Jumat, 17 Agustus 2018

RAHASIA SYAHADATAIN

Wahai hamba yang di rohmati Alloh. Kali ini kita akan mengupas rahasia pada kalimat (لااله الا الله) agar kita dapat mengerti dan mengamalkan keluhuran makna yang terkandung di dalamnya.
Sampai-sampai Baginda Nabi Muhammad s.a.w. mengatakan dalam satu hadits nya:
“Perbaharuilah selalu iman kalian dengan ucapan laa ilaaha illalloh."
Tentu kita akan mengupas kalimat tauhid ini dari sudut pandang ilmu hakikiyah dengan metode dan kaidah ilmu nafi dan isbat.

Pada kalimat pertama (لا) (nafi) dari sudut pandang ilmu makrifah berarti: tolak, buang, sirna, musnahkan, hilangkan.

Bermaknanya disini tolaklah dan buanglah.
Apa itu yang tertolak dan apa itu yang terbuang???
Yaitu berupa alam semesta dan segala isinya dan segala makhluk, entah itu manusia, hewan, tumbuhan, dunia, langit, dan tidak ada makhluk lain. Tidak ada bukit, bulan, matahari, bintang, gunung, tumbuh-tumbuhan, lautan atau tanah, tidak ada apa-apa di dalamnya atau kosong.

Lalu masuk pada kalimat kedua (اله) yang artinya di sini bahwa:
Jika pada saat berada pada kalimat "لا" kita harus menolak dan kita harus menyangkal semua keberadaan makhluk.
Kemudian sekarang diberi peringkat "اله" maka kita diminta untuk membangun dan mengadakan kembali barang-barang yang telah kita tolak, hapus, buang atau telah kita musnahkan tadi.

Artinya di sini, membangun kembali sifat alami, manusia, hewan, tumbuhan, dunia, surga/neraka, bukit, gunung, samudera, dan tanah semuanya ada di sana dalam keberadaan wujudnya.

Maka jadilah ada matahari, ada bulan, ada binatang, ada awan, ada ayam, ada kerbau dan kehadiran semua makhluk-makhluk ada semuanya.

Namun walaupun begitu, haruslah diingat oleh kita semua, bahwa adanya makhluk di dalam kalimat "اله" itu, hanya sekedar dalam bentuk "wajah Alloh", yaitu dalam bentuk bayang dan nama panggil-panggilan saja dan bukan dalam bentuk wujud hakiki yang sebenarnya.

Sesuai dalil:
Fa ainamaa tuwalluu fa samma waj-hulloh, innalloha waasi'un 'aliim.

"Kemana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Alloh. Sungguh, Alloh Maha Luas, Maha Mengetahui."
(QS. Al-Baqarah:115)

Kalimat ini sebetulnya akan menggiring kita pada satu pemahaman dan pengertian tentang bagaimana Alloh ta'ala itu berdiri sendiri atau Esa dalam kewujudan Nya.

Kita itu sebagai makhluk Alloh, sejatinya keberadaan kita itu hanyalah sekedar berupa bayangan, yaitu sekedar berupa wajah yang tidak kekal dan tidak mutlak, atau dalam keadaan fana' (tidak kekal). Pada kajian dan suluhan ilmu makrifat itu sendiri, keberadaan makhluk ini hanya dalam bentuk bayangan, atau tidak ada di dunia nyata.
Menurut cahaya lentera makrifat, hanya Tuhan sendiri lah yang ada dalam kenyataan.

Jadi apa yang kita lihat adalah, untuk dilihat 'wajah' Tuhan.

Jika kita melihat alam semesta sejatinya kita harus (di tuntut untuk) menyatakan dan melihat Tuhan, namun jika kita melihat segala isi alam semesta ini adalah wujud keberadaan makhluk, maka Tuhan akan tertutup atau terhijab dari pandangan hati kita.

Ini adalah konsep kalimat kata dari "اله" yang berlaku bagi mereka hukum hakekat.

Kalimat ketiga adalah kata sabit (الا) yang berarti: kecuali atau hanya (selain dari Alloh).
Satu-satunya makna atau netralitas adalah mengacu pada tidak adanya makhluk (ketiadaan makhluk).
Dan juga maksud sifat makhluk itu pula, adalah merujuk kepada binasa dalam "wajah Alloh", itulah interpretasi kalimat "الا" berdasarkan suluhan pelita ilmu makrifat.

Kalimat keempat "الله" itu mengacu hanya kepada Alloh, jadi hanya Alloh-lah yang ada.

Jadi kalau kita rumuskan dari awal maka ketiadaan itu adalah dalam ada nya wajah Alloh.
Maka kalimat Laa ilaha ilalloh bisa juga di artikan: "TIADA YANG LAIN DAN ADANYA YANG LAIN ITU, ADALAH JUGA ALLOH".

Jika di ringkas lagi, maka akan berbunyi: "TIADA DAN ADA ITU HANYA ALLOH"

Menurut hemat saya pribadi, kalimat itu sangatlah indah dan sangat menyentuh kalbu. Dan menyatakan bahwa kedirian Alloh itu tidak ada yang mensejajari. Existensi wujud Alloh termanifestasi dalam ke Esa-an nya sendiri.

Jadi, dalam kaidah menuntut ilmu, kita harus paham yang mana dulu dan yang mana kemudian supaya dapat memperoleh manfaat.
Salah satu sifat wajib Alloh dari 20 sifat yang mewakili kalimat nafi "laa" adalah sifat Nya yang WUJUD (ADA).
Jika sifatulloh itu ADA maka sifat mohal bagi makhluk itu adalah tiada (wajib tiada). Karena wujud ke Esa an Alloh mewajibkan untuk menolak adanya yang selain Alloh. Maka seumpama Alloh itu ADA dan makhluk itu juga ADA, maka itu secara syirik khaufi kita mempunyai keyakinan bahwa ada yang mensejajari Alloh dalam ke WUJUD-an Nya.
Karena Alloh itu Kekal (Abadi) maka makhluk itu hukum nya wajib untuk tidak kekal dan pasti sirna.

Mohon maaf sebelumnya, di atas sudah saya jelaskan bahwa ini penjabaran dari sudut pandang ilmu hakikiyah. Yang sebetulnya tidak boleh untuk di jabarkan karena mengambil perumpamaan dengan makhluk dan mengambil penyerupaan. Tapi hal ini bisa di benarkan dengan kaidah ilmu dan jika di kembalikan dari sudut pandang ushul fiqih maka segala sesuatu itu di nilai dari niatnya. Dan niat saya adalah supaya saudara saudara semua yang di rohmati Alloh dapat mengenal ke Agungan dan ke Esa an Alloh dengan sebenar-benarnya kenal. Jadi tidak ada maksud untuk menyerupakan Alloh dengan sesuatu yang lain atau di samakan dengan sesuatu yang baru karena Dia laisa kamislihi syai'un. Jadi penjabaran ini di maksudkan hanya untuk menfasilitasi pemahaman agar dapat di terima oleh akal. Karena akal itu sangat terbatas jangkauan nya maka dia dalam menerima segala sesuatu membutuhkan dan memerlukan dalil aqli.
Sementara hakekat Tuhan itu tidak mengizinkan keserupaan dengan sesuatu dan Yang Maha Agung tidak bisa di gambarkan.
Kita kembali ke hukum fiqih manfaat penjabaran ini dengan mudhorot nya lebih besar yang mana???

Karena segala sesuatu itu berasal dari Alloh dan harus (wajib!) di kembalikan kepada Alloh.

Sebetulnya si kalau menurut saya, kalau kita paham tentang konsep Dzar dan Nur awal mula proses penciptaan. Maka semuanya selesai dan tidak perlu di jabarkan panjang lebar.
Tidak ada apa-apa selain Dzat, lalu Dzat menciptakan Diri nya dalam Diri nya itu Nur Muhammad. Dari Nur itu terciptalah alam semesta. Selesai.
Silahkan ambil kesimpulan masing masing.
Jadi gimana kira-kira???
Sesuai ngga ya kira kira sama dalil Al Baqarah 115 tadi di atas bahwa kemanapun kita hadapkan, di sanalah "wajah Alloh".

Jadi sudah jelas, segala sesuatu itu milik Alloh. Meskipun itu adalah sifat itu jugalah milik Alloh. Baik itu sifat keji atau baik. Karena dalam pandangan Alloh itu tidak ada apa apa selain diri Nya sendiri yang Berdiri sendiri. Jadi sifat pun dalam pandangan Alloh tidak ada baik ataupun buruk. Artinya baik dan buruk itu hanya dalam pandangan makluk atau si makhluk itu sendiri. Dan adanya makhluk karena sebab makhluk itu sendiri.
Contoh: Di dalam Al Qur'an di abadikan bahwa Nabi Khidir adalah seorang hamba yang sholeh. Tiba tiba di suruh membunuh anak kecil yang tidak berdosa dan tidak tau apa-apa. Salahkan Nabi Khidir?
Salah dalam pandangan Nabi Musa tapi dalam pandangan Alloh tidak salah wong yang nyuruh bunuh itu Alloh sendiri?!
Karena Musa adalah sisi makhluk maka dia mempertimbangkan dosa, baik dan buruk. Tapi nyatanya Khidir meskipun sudah membunuh tapi oleh Alloh di nyatakan sebagai hamba Alloh yang sholeh dan Musa di suruh berguru kepada Khidir.
Artinya, yang mengadakan dosa itu makhluk itu sendiri sebetulnya. Sebab adanya hisab adalah wujud akuan si makhluk itu sendiri.

Jadi kesimpulan nya apa sih?! Kita itu harus bisa menafikan dalam isbat.
Contoh: Saya ngasih makan orang miskin. Padahal hakekatnya yang memberi rizki itu adalah Alloh. Tapi kok lewat perantara saya??? Gimana ini???
Saya harus menghilangkan atau memfana'kan (menafikan) diri saya sendiri. Artinya saya tidak boleh muncul akuan bahwa rejeki orang miskin ini dari saya.
Kalau saya merasa sudah memberi rizki orang miskin tersebut, maka saya ber keyakinan bahwa Alloh dalam memberikan karunia rizki Nya itu membuhkan makhluk atau persekutuan atau perbantuan makhluk. Maha Suci Alloh dari segala aqidah bathil tersebut.
Inilah sebetulnya makna lam yalid walam yuulad (Dia tidak ber-anak dan tidak pula diperanakan) walam yaqul lahuu kufuan ahad (dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia).
Yang di maksud anak itu ya perantara. Alloh itu tidak beranak atau tidak berperantara dalam af'al Nya. Dan perantara itu tidak lagi bercabang cabang yaitu beranak dan di peranakkan. Alloh itu Tunggal dan bisa sendiri tanpa bantuan siapapun!
Inilah pandangan tauhid yang hakiki yang di sebut di dalam Al Qur'an kita itu sebagai li ulil abshoor wahai yang berpenglihatan (berwawasan luas) atau wahai yang mempunyai penglihatan mata hati (bathin).
Jadi sifat isbat itu tetap menumpang atau bergantung dengan sabit. Artinya satu sifat yang di kaitkan dengan sifat yang lain dan dia tidak bisa berdiri sendiri kecuali didirikan oleh kata di depannya yaitu Alloh atau kedirian Alloh itu sendiri.

Keberadaan diri yang bersifat bayangan ini hanya untuk menunjukkan dan mengenali kepada Sang Pemilik Bayangan itu sendiri.

Semoga dapat menjadi manfaat dan bisa di istiqomahkan dalam satu pengamalan kita semua. Semoga kita di kembalikan kepada jalan yang benar.
Aamiin...aamiin...yra...

Penulis: Jadmiko
Sumber: Di adaptasi dan di kembangkan dari berbagai sumber literatur dan di filter oleh ke-ilmuan.

Bagi yang belum memiliki guru mursyid, silahkan ikuti bimbingan kami dengan sanad ke-ilmuan yang jelas dan dapat di pertanggung jawabakan di sisi Alloh.
CP: 081213333500 (WA)

#Parapsikologi
#KonsultanSpiritual

BAYT ALLOH

Wahai hamba yang di rohmati Alloh. Ketahuilah bahwasannya qolbu mu itulah hakikat bayt Alloh, dan kita itu sejatinya ialah ahlul bayt.
Jika seumpama diri kita ini adalah babu atau budak atau seorang hamba. Maka sudah semestinya tugas kita adalah menjaga, merawat, dan membersihkan rumah majikan kita. Yaitu membersihkan hati kita masing-masing agar indah dan bersih. Dengan demikian agar majikan kita merasa nyaman dan betah berada di dalam rumahnya sendiri.
Manakala majikan kita berkenan hadir dalam baytnya, maka saat itulah kita manunggal dengan tuan kita.

Maka demikian gambaran hubungan kita dengan Alloh, di mana Alloh hanya berkenan hadir di dalam qolbu yang bersih dan suci yang dari selain Nya. Alloh tidak mau bercampur dengan kekotoran-kekotoran makhluk.
Manakala hati ini kotor dan di penuhi oleh masyiwalloh maka Dia akan meninggalkannya dan jadilah ia (hati itu) istana Iblis. Maka bisikan yang berasal dari hati yang kotor pun adalah dorongan nafsu yang sifatnya sesat menyesatkan dan menjerumuskan agar hancur sehancur-hancurnya dan semakin jauh dari ketakwaan kepada Alloh.

Lalu bagaimana cara kita mengetahui hati kita sudah bersih atau masih kotor?
Adakah alat khusus untuk mengukurnya?

Tentu saja ada, alat itu bernama "ilmu".

Jika di dalam hati mu masih menyimpan sifat merasa, yaitu merasa benar sendiri, merasa baik, merasa mulia, merasa lurus, merasa 'alim, merasa beriman, merasa taqwa, merasa sholeh, dsb..., maka itu artinya hati kita masihlah kotor dan begitulah hukum sunatulloh nya.

Namun jika di dalam diri ini menyadari bahwa diri ini masihlah dzolim, kotor, hina, pendosa, munafik, ghofilun, buruk, bodoh, dsb..., itu berarti hati mu sudah lah bersih.

Karena tidak ada di antara golongan Nabi dan Rosul kecuali mereka semua masih tetap menyadari bahwa mereka termasuk golongan orang-orang yang dzolim di hadapan Alloh.
Menyadari keburukan diri sendiri dan senantiasa bertaubat, serta memohon perlindungan dari Alloh merupakan ciri-ciri bersihnya hati seorang penempuh jalan Alloh.
Jika telah menyadari diri ini kotor, maka lebih utama adalah membersihkannya.

Semua nya itu sejatinya ada di dalam diri mu.
Surga dan Neraka itu adalah sifat. Kelak hidup kita di Surga atau Neraka itu sudah tercermin saat kita hidup semasa di dunia.

Bukanlah pisau itu dapat memotong, namun sifat tajamnya pisau itulah yang memotong. Bahkan terkadang sifat tajamnya pisau masih lebih tajam lisan seseorang yang tidak terjaga ucapannya. Sampai dapat melukai hati seseorang yang mungkin tidak bisa termaafkan sampai ajal menjemputnya.

Bukannya sifat pusau itu dapat membahayakan, namun si pengguna pisau itu sendirilah yang menentukan sifat berbahaya atau tidaknya sebuah pisau.
Jika di gunakan oleh ibu-ibu, maka pisau itu akan berguna dan bermanfaat untuk keperluan memasak untuk keluarganya.
Namun jika pisau itu berada di tangan seorang penjahat, maka ia akan di gunakan untuk satu tindak kejahatan yang dapat mengancam keselamatan seseorang.

Maka semuanya itu tergantung kepada pembawaan diri kita sendiri, saya pun dapat menggunakan pisau itu untuk satu kejahatan atau mungkin juga untuk kemaslahatan, pilihan ada pada diri saya sendiri.
Bahkan Rosul s.a.w. berpesan dalam satu hadits nya: "Di dalam diri manusia terdapat segumpal daging, jika baik ia maka baiklah seluruh amalnya, jika buruk ia maka buruklah seluruh amaliyyahnya. Segumpal daging itu adalah hati."

Rasa itu adalah sepenuhnya milik rasa. Namun kesadaran itu adanya pada akal. Manusia di katakan makhluk yang sempurna karena di karuniai sebuah akal. Maka manusia di katakan adabnya seperti binatang ketika tidak mempergunakan akalnya di jalan Alloh yang sudah di ataur dalam hukum syara'.
Maka tugas kita adalah menjaga kesucian hati, kejernihan akal, dan menjaga akhlak kita kepada sesama agar terciptanya manusia yang berbudi luhur mengetahui salah dan benar.

Ilmunya dzohir di atur dalam kaidah ilmu fiqih.
Dan ilmunya hati di atur dalam kaidah ilmu tasawuf.
Itulah syari'at dan hakikat. Itulah kaki kanan dan kaki kiri. Maka itulah yang di sebut berjalan dengan kedua kaki. Agar terjaga keseimbangan dzohiron wa bathinan.

Hai orang syari'at?! Kamu jangan lupa! Di atas hukum fiqih masih ada hukum tasawuf!

Hai orang tasawuf?! Kamu lihat-lihat ke bawah, masih berlakunya hukum fiqih!

Baik ulama mutasyari'in (ahli syari'ah) dan juga seorang mursyid (ahlith-thoriqoh), maka ibadah mu'amalah kalian tidak akan sempurna di hadapan Alloh jika tanpa kedua-duanya!

Semua sifat ada di dalam diri, semakin ke atas spiritual seseorang maka bentuk ujian dan cobaan akan semakin halus. Ada ujian dan cobaan. Di uji dengan kesenangan dan di coba dengan kesusahan. Mampukah kita itu selalu bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa kepada Alloh?

Sementara ketaqwaan secara hakiki tidak mungkin di dapat tanpa ilmu yang berkenaan dengan penghadapan jiwa (bathin) ini kepada Tuhan nya.

Sementara hukum syari'at selama ini menuntut kita agar membatasi segala sesuatu yang berkenaan dengan konsep ke Tuhanan!

Sebetulnya, penjabaran yang terlalu gamblang seperti di atas itu tidak di perbolehkan dalam kaidah hukum syara'. Karena jelas konsep tanzih menolak tegas keserupaan antara makhluk dengan Alloh subhanahu wa ta'ala, namun bagaimana dengan ayat sifat yang harus di tasybih dengan penampakan (madzhar) alam ini sebagai perwujudan diri Nya Yang Maha Wujud?
Itu bukankah sama seperti ijma' dan qiyas atau ushul dan furu' yang sama-sama berkaitan satu sama lain. Bahwa setiap ushul (pokok) pasti ada furu' (cabang) nya, dan setiap furu' pun pasti ada ushulnya.

Dalam mempelajari agama itu harus paham yang mana dulu dan mana kemudian? Berawal dari mana dan berakhir ke mana? Dari mana? Mau kemana?

Kalau penjabaran di atas secara hukum syari'at maka jelas tidak di perbolehkan dan di haramkan menyerupakan Alloh Yang Maha Suci dengan makhluk. Tapi penjabaran di atas di tujukan supaya dapat di terimanya akal maka di gunakan perumpamaan-perumpamaan, bukan bermaksud mengambil keserupaan namun tujuannya untuk mengambil kepahaman maka di carilah dalil aqli.
Kembali lagi kepada kaidah ushul fiqih bahwa segala sesuatu di ukur dari niatnya. Niat nya apa menjabarkan ini?
Untuk mengenalkan ke Agung-an Nya supaya kita mampu mensucikan Alloh dengan kaidahnya secara hakiki dan tidaklah layak bahwa adanya sifat puji ini kepada selain Alloh.

Secara hukum hakekat bahwa seluruh sifat itu milik dan kepunyaan Alloh saja dan tidaklah layak makhluk ini memiliki sifat. Termasuk sifat Iblis yang sesat dan menyesatkan?
Tentu saja karena sudah jelas di dalam Al Qur'an di nyatakan bahwa Alloh memberikan hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan akan menyesatkan jalan seseorang sesesat sesatnya bahkan mengunci mati hati seseorang itu. Dan kekuasaan itu haq mutlak Alloh dan tidaklah layak bagi makhluk dapat mencampuri segala urusan Alloh. Jadi sebetulnya syari'at itu hanya di jadikan alasan agar seolah olah Alloh itu di sucikan oleh makhluk, padahal tidak perlu di sucikan Alloh itu sudah Maha Suci.

Sifat Iblis itu hakekatnya jugalah milik Alloh tapi hukum syara' mengatur bahwa itu harus di nafikan kepada Alloh dan harus di isbatkan kepada Iblis. Jadi seolah olah Iblis memiliki sifat?! Karena sifat itu tercela dalam kaca mata syari'at maka itu tidak layak di sandangkan kepada dan untuk Alloh. Padahal dalam pandangan hakekat tidak ada baik ataupun buruk. Baik atau buruk itu hanya ada pada pandangan makhluk itu sendiri. Adanya makhluk itu berasal dari si makhluk. Sementara existensi adanya Tuhan tidak bisa di sejajari oleh si makhluk! Ketunggalan mutlak milik Alloh subhanahu wa ta'ala.

Semoga pemahaman ini dapat di terima oleh jiwa-jiwa yang bersih, di ilmui dan di amalkan. Agar semakin melebar cahaya kemakrifatan kita semua kepada Alloh jalal jalaluhu wa ta'ala.

Semoga kita semua di bimbing dalam rohmat dan jalan Nya yang lurus. Aamiin...aamiin...yra...

~ d z a t ~

Penulis: Jadmiko
Sumber: Di adaptasi dan di kembangkan dari berbagai sumber literatur dan di filter oleh ke-ilmuan.

Bagi yang belum memiliki guru mursyid, silahkan ikuti bimbingan kami dengan sanad ke-ilmuan yang jelas dan dapat di pertanggung jawabakan di sisi Alloh.
CP: 081213333500 (WA)

#Parapsikologi
#KonsultanSpiritual