Sabtu, 24 Februari 2018

Ilmu Balaghah Dan Mantiq

Dasar Ilmu Balaghah

Shifat kalam yang baligh

Tanaasuq al-ashwaat (kesesuaian bunyi) : a) derajat terendahnya ialah ketiadaan tanaafur huruf, b) derajat tertingginya ialah kesesuaian antara bunyi dan makna.Tarkib lughawi yang sesuai : a) shahih (bebas dari khatha’ dan syadzdz), b) merepresentasikan makna secara efektif.Mengandung unsur-unsur imajinatif yang berkesan.
Unsur-unsur kalam :
  Madhmun = maknaSyakl = lafazhHubungan diantara keduanya ibarat jasad dengan ruh.

Definisi Ilmu Balaghah
Ilmu Balaghah ialah ilmu untuk menerapkan (mengimplementasikan) makna dalam lafazh-lafazh yang sesuai (muthabaaqah al-kalaam bi muqtadhaa al-haal).

Tujuan ilmu balaghah : mencapai efektifitas dalam komunikasi antara mutakallim dan mukhathab.

Jenis-jenis Ilmu Balaghah :
Ilmu Ma’ani : ilmu yang mempelajari susunan bahasa dari sisi penunjukan maknanya, ilmu yang mengajarkan cara menyusun kalimat agar sesuai dengan muqtadhaa al-haal.Ilmu Bayan : ilmu yang mempelajari cara-cara penggambaran imajinatif. Secara umum bentuk penggambaran imajinatif itu ada dua. Pertama, penggambaran imajinatif dengan menghubungkan dua hal. Kedua, penggambaran imajinatif dengan cara membuat metafora yang bisa diindera.Ilmu Badii’ : ilmu yang mempelajari karakter lafazh dari sisi kesesuaian bunyi atau kesesuaian makna. Kesesuaian tersebut bisa dalam bentuk keselarasan ataupun kontradiksi.
Fashahah
Berarti implementasi makna melalui lafazh-lafazh yang jelas.
Fashahah meliputi : 1) Kemudahan pelafalan. 2) Kejelasan makna (tidak gharib). 3) Ketepatan sharaf. 4) Ketepatan nahwu.
Setiap kalimat yang baliigh mesti fashiih, namun tidaklah kalimat yang fashiih itu selalu baliigh.

ILMU BAYAN

Tasybih : uslub yang menunjukkan perserikatan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam sifatnya.

Rukun-rukun atau unsur-unsurnya ialah :
1) Musyabbah : obyek yang ingin disifati
2) Musyabbah bihi : sesuatu yang dijadikan sebagai model untuk perbandingan
3) Wajh al-syibh : sifat yang terdapat dalam perbandingan
4) Aadaat al-tasybih : kata yang dipakai untuk menunjukkan adanya tasybih. Bisa berupa huruf (kaaf, ka-anna), fi’il (hasiba, zhanna, khaala, dsb), atau isim (matsal, syibh, syabiih,dsb).

Tasybih Baliigh : tasybih yang unsur-unsurnya tinggal dua saja yaitu musyabbah dan musyabbah bih.

Tasybih Tamtsili (Tasybih al-Tamtsil, Matsal) : jenis tasybih yang wajh al-syibh nya murakkab dari beberapa sifat, dan biasanya aqli.

Tasybih Dhamni : tasybih yang dipahami dari siyaq (konteks) kalimat, dan biasanya dilakukan dengan dua jumlah atau lebih sebagai ganti dari satu jumlah.

Tasybih Maqlub (Tasybih Yang Dibalik)
Asalnya, sifat yang ada pada musyabbah bih mesti lebih kuat daripada sifat pada musyabbah. Namun dalam tasybih maqlub, kondisi tersebut dibalik yakni sifat yang ada pada musyabbah lebih kuat daripada yang ada pada musyabbah bih. Pembalikan ini dilakukan untuk tujuan mubalaghah, yakni untuk menunjukkan bahwa sifat yang ada pada musyabbah sudah sangat kuat dan agar perhatian memang tertuju pada musyabbah.

Tujuan-tujuan Tasybih :
Secara umum tujuan tasybih ialah untuk menjadikan suatu sifat lebih mudah diindera. Adapun secara terperinci tujuan-tujuan tasybih ialah :
1) Bayaan miqdaar al-shifat (menjelaskan kualitas sifat)
2) Taqriir al-shifat (meneguhkan sifat)
3) Tahsiin al-musyabbah (memperindah musyabbah)
4) Taqbiih al-musyabbah (memperburuk musyabbah)
5) Tashwiir al-musyabbah bi shuurah al-thariifah
6) Itsbaat qadhiyyah al-musyabbah

Majaz : Penggunaan suatu kata dengan makna yang lain daripada maknanya yang lazim. Kebalikan dari majaz ialah haqiqah.
Majaz ada dua macam :
1) Majaz Mursal : majaz yang tidak dibangun diatas tasybih
2) Isti’arah : majaz yang dibangun diatas tasybih, atau penggunaan kata tidak dalam makna haqiqinya karena adanya hubungan keserupaan (syibh) antara makna yang dipakai tersebut dan makna haqiqinya.

Isti’arah Tashrihiyah : mengemukakan maksud musyabbah dengan menggunakan lafazh musyabbah bih, dan setiap orang mesti akan memahami bahwa maksud yang sebenarnya ialah musyabbah berdasarkan konteks kalimatnya. Dalam hal ini sang penutur menggunakan musyabbah bih dengan menghilangkan musyabbahnya. Konteks kalimat harus benar-benar menunjukkan bahwa musyabbah bih tidaklah digunakan dalam makna hakikinya, tetapi sebaliknya yakni mengandung makna musyabbah. Indikasi yang demikian ini disebut sebagai qarinah al-isti’arah.

Isti’arah Makniyah : Dalam isti’arah ini, musyabbah bih tidak muncul dengan jelas akan tetapi sedikit samar. Lafazh yang menunjukkan isti’arah dengan demikian bukanlah lafazh musyabbah bih melainkan lafazh-lafazh yang mengiringinya atau lafazh-lafazh yang menunjukkan sifat-sifatnya. Lafazh-lafazh ini dinisbatkan kepada musyabbah bih. Jadi, tasybih yang ditimbulkan bersifat mudhmar didalam pikiran.
Apabila suatu isti’arah makniyah menyerupakan sesuatu dengan manusia maka ia disebut tasykhish (personifikasi).

Kinayah : penunjukan terhadap suatu makna yang dimaksud dengan secara tidak langsung, dimana lafazh yang dipakai tidak sampai keluar dari makna haqiqinya ke makna majazinya.
Macam-macam kinayah :
1) Kinayah dari shifat
2) Kinayah dari dzat
3) Kinayah dari nisbah

ILMU MA’ANI
Asas dari jumlah ialah isnad. Jumlah terbagi dua : jumlah khabariyah dan jumlah insya-iyah.

Khabar dan Insya’
Jenis-jenis insya’ yang terpenting : amr, nahy, istifham, dan tamanniy

Tujuan-tujuan Khabar
1) Tujuan asal dan yang lazim ialah untuk memberitahu kepada mukhathab sesuatu yang belum ia ketahui.
2) Tujuan lainnya ialah ta’tsir nafsi (memberikan kesan kejiwaan) yang meliputi : ‘izhah (nasihat), sikhriyah(olok-olok), istihtsaats (membangkitkan semangat), dan madh (pujian).

Bentuk-bentuk Khabar
1) Uslub (dharb) ibtida-iy : tanpa adat ta’kid, digunakan apabila mukhathab dalam keadaan khaliy al-dzihni.
2) Uslub (dharb) thalabiy : menggunakan satu ta’kid, digunakan apabila mukhathab ragu-ragu sehingga membutuhkan penegasan.
3) Uslub (dharb) inkariy : menggunakan dua ta’kid atau lebih, digunakan jika mukhathab mungkir terhadap khabar.

Amar dan Nahy
Shighat-shighat amar : 1) F’il amar. 2) Fi’il mudhari’ yang didahului oleh laam amr. 3) Mashdar sebagai pengganti fi’il amar
Makna amar : talab al-fi’il dari otoritas yang lebih tinggi kepada otoritas yang lebih rendah.
Makna nahy : talab tark al-fi’il dari otoritas yang lebih tinggi kepada otoritas yang lebih rendah.
Namun terkadang amar dan nahy mempunyai makna lain: 1) Doa. 2) Tahqiir. 3) Tahdiid. 4) Nasihat. 5) Sikhriyyah (olok-olok)

Istifham : Adat-adatnya
1) Dua huruf : hamzah dan hal. Perbedaan antara hamzah dan hal : a) Hamzah bisa digunakan untuk menuntut penentuan pilihan. Dalam hal ini hamzah disertai dengan huruf “am” (atau). b) Pertanyaan dengan hamzah cocok jika digunakan menghadapi orang yang ragu-ragu atau mendustakan.
2) Sembilan isim : 1.Maa : menuntut definisi hakikat yang ditanyakan. 2.Man : menuntut penentuan yang ditanyakan berupa isim atau shifat yang berakal. 3.Ayyu : menuntut penentuan salah satu dari hal-hal yang di-idhafah-kan kepadanya. 4.Kam : menanyakan jumlah. 5.Kaifa : menanyakan hal (keadaan). 6.Aina : menanyakan tempat. 7.Annaa : terkadang bermakna “darimana (min aina)” dan terkadang bermakna “bagaimana (kaifa)”. 8.Mataa : menanyakan waktu. 9.Ayyaana : menanyakan waktu

Istifham : Makna-makna Yang Ditimbulkannya
Terkadang istifham bisa menimbulkan makna yang bukan makna asli istifham. Makna-makna tersebut ialah:
1) Ta’ajjub
2) Taubikh
3) Istihzaa’
4) Wa’iid
4) Tamanniy
5) Taqriir
6) Istibthaa’
7) Istihtsaats
8) Tahwiil

Tamanniy
1) Laita
2) Hal
3) La’alla
4) Lau laa
5) Lau maa

ILMU BADII’

Thibaaq wa Muqaabalah
Thibaaq : menggabungkan dua hal yang saling bertentangan dalam sebuah kalam.
Muqabalah : jenis thibaq dimana terdapat dua makna atau lebih yang diikuti (disusul) dengan lawannya secara urut.

Sajak : kesesuaian pada akhir dari hentian-hentian (waqaf) pada natsr. Dalam syi’r, yang demikian ini disebut dengan qafiyah.
Sebagian ulama tidak sepakat apabila dikatakan bahwa kebanyakan ayat Al-Qur’an merupakan sajak-sajak. Dalam hal ini mereka lebih suka menyebutnya sebagai faashilah (jamak : fawaashil). Mereka mengemukakan dua alasan :
1) Sajak itu mesti berulang-ulang sebagaimana qafiyah dalam syi’r. Sementara, apa yang terdapat dalam Al-Qur’an tidaklah seluruhnya demikian.
2) Sajak itu dibuat dengan mengalahkan makna dalam rangka kesesuaian bunyi atau lafazh. Sementara, Al-Qur’an sangat memelihara makna atau menjadikan makna sebagai hal ang terpenting diatas yang lainnya.

Jinas : keserupaan lafazh antara dua kata atau lebih tanpa disertai keserupaan makna.
Jinas ada dua : taamm dan naaqish

Tauriyah : penggunaan dua kata yang sama dengan makna yang berbeda.

Mantiq:

Definisi dan Urgensi Mantiq

Mantiq adalah alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga kesalahan dalam berpikir.

Lebih jelasnya, Mantiq adalah sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berpikir, sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari cara berpikir salah.

Manusia sebagai makhluk yang berpikir tidak akan lepas dari berpikir. Namun, saat berpikir, manusia seringkali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, subyektifitas dan lainnya sehingga ia tidak dapat berpikir jernih, logis dan obyektif. Mantiq merupakan upaya agar seseorang dapat berpikir dengan cara yang benar, tidak keliru.

Sebelum kita pelajari masalah-masalah mantiq, ada baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan “berpikir”.

Berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri (majhul atau belum diketahui) dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam benak kita (dzihn) sehingga yang majhul itu menjadi ma’lûm (diketahui).

Faktor-Faktor Kesalahan Berpikir 1. Hal-hal yang dijadikan dasar (premis) tidak benar. 2. Susunan atau form yang menyusun premis tidak sesuai dengan kaidah mantiq yang benar.

Argumentasi (proses berpikir) dalam alam pikiran manusia bagaikan sebuah bangunan. Suatu bangunan akan terbentuk sempurna jika tersusun dari bahan-bahan dan konstruksi bangunan yang sesuai dengan teori-teori yang benar. Apabila salah satu dari dua unsur itu tidak terpenuhi, maka bangunan tersebut tidak akan terbentuk dengan baik dan sempurna. Sebagai misal, “[1] Socrates adalah manusia; dan [2] setiap manusia bertindak zalim; maka [3] Socrates bertindak zalim”. Argumentasi semacam ini benar dari segi susunan dan formnya. Tetapi, salah satu premisnya salah yaitu premis yang berbunyi “Setiap manusia bertindak zalim”, maka konklusinya tidak tepat. Atau misal, “[1] Socrates adalah manusia; dan [2] Socrates adalah seorang ilmuwan”, maka “[3] manusia adalah ilmuwan”. Dua premis ini benar tetapi susunan atau formnya tidak benar, maka konklusinya tidak benar. (Dalam pembahasan qiyas nanti akan dijelaskan susunan argumentasi yang benar, pen).

Ilmu dan Idrak

Dua kata di atas, Ilmu dan Idrak, mempunyai makna yang sama (sinonim). Dalam ilmu mantiq, kedua kata ini menjadi bahasan yang paling penting karena membahas aspek terpenting dalam pikiran manusia, yakni ilmu. Oleh karena itu, makna ilmu sendiri perlu diperjelas. Para ahli mantiq (mantiqiyyin) mendefinisikan ilmu sebagai berikut:

Ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang ada dalam benak (akal). Benak atau pikiran kita tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu ilmu dan jahil (ketidak tahuan). Pada saat keluar rumah, kita menyaksikan sebuah bangunan yang megah dan indah, dan pada saat yang sama pula tertanam dalam benak gambaran bangunan itu. Kondisi ini disebut “ilmu”. Sebaliknya, sebelum menyaksikan bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada gambaran itu. Kondisi ini disebut “jahil”.

Pada kondisi ilmu, benak atau akal kita terkadang hanya [1] menghimpun gambaran dari sesuatu saja (bangunan, dalam misal). Terkadang kita tidak hanya menghimpun tetapi juga [2] memberikan penilaian atau hukum (judgement). (Misalnya, bangunan itu indah dan megah). Kondisi ilmu yang pertama disebut tashawwur dan yang kedua disebut tashdiq. Jadi tashawwur hanya gambaran akan sesuatu dalam benak. Sedangkan tashdiq adalah penilaian atau penetapan dengan dua ketetapan: “ya” atau “tidak/bukan”. Misalnya, “air itu dingin”, atau “air itu tidak dingin”; “manusia itu berakal”, atau “manusia itu bukan binatang” dan lain sebagainya.

Kesimpulan, ilmu dibagi menjadi dua; tashawwuri dan tashdiqi.

Dharuri dan Nadzari

Ilmu tashawwuri dan ilmu tashdiqi mempunyai dua macam: dharuri dan nadzari. Dharuri adalah ilmu yang tidak membutuhkan pemikiran lagi (aksiomatis). Nadzari adalah ilmu yang membutuhkan pemikiran.

Lebih jelasnya, dharuri (sering juga disebut badihi) adalah ilmu dan pengetahuan yang dengan sendirinya bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu yang lain. Jadi Ilmu tashawwuri dharuri adalah gambaran dalam benak yang dipahami tanpa sebuah proses pemikiran. Contoh: 2 x 2 = 4; 15 x 15 = 225 atau berkumpulnya dua hal yang kontradiktif adalah mustahil (tidak mungkin terjadi) adalah hal yang dharuri. Sedangkan nadzari dapat diketahui melalui sebuah proses pemikiran atau melalui pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya. (Lihat kembali definisi berpikir). Jadi ilmu tashawwuri nadzari adalah gambaran yang ada dalam benak yang dipahami melalui proses pemikiran. Contoh: bumi itu bulat adalah hal yang nadzari.

Kulli dan Juz’i

Pembahasan tentang kulli (general) dan juz’i (parsial) secara esensial sangat erat kaitannya dengan tashawwur dan juga secara aksidental berkaitan dengan tashdiq.

Kulli adalah tashawwur (gambaran benak) yang dapat diterapkan (berlaku) pada beberapa benda di luar. Misalnya: gambaran tentang manusia dapat diterapkan (berlaku) pada banyak orang; Budi, Novel, Yani dan lainnya.

Juz’i adalah tashawwur yang dapat diterapkan (berlaku) hanya pada satu benda saja.

Misalnya: gambaran tentang Budi hanya untuk seorang yang bernama Budi saja. Manusia dalam berkomunikasi tentang kehidupan sehari-hari menggunakan tashawwur-thasawwur yang juz’i. Misalnya: Saya kemarin ke Jakarta; Adik saya sudah mulai masuk sekolah; Bapak saya sudah pensiun dan sebagainya. Namun, yang dipakai oleh manusia dalam kajian-kajian keilmuan adalah tashawwur-thasawwur kulli, yang sifatnya universal. Seperti: 2 x 2 = 4; Orang yang beriman adalah orang bertanggung jawab atas segala perbuatannya; Setiap akibat pasti mempunyai sebab dan lain sebagainya. Dalam ilmu mantiq kita akan sering menggunakan kulli (gambaran-gambaran yang universal), dan jarang bersangkutan dengan juz’i.

Nisab Arba’ah

Dalam benak kita terdapat banyak tashawwur yang bersifat kulli dan setiap yang kulli mempunyai realita (afrad) lebih dari satu. (Lihat definisi kulli ). Kemudian antara tashawwur kulli yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan (relasi). Ahli mantiq menyebut bentuk hubungan itu sebagai “Nisab Arba’ah”. Mereka menyebutkan bahwa ada empat kategori relasi: [1] Tabâyun (diferensi), [2] Tasâwi (ekuivalensi), [3] Umum wa khusus Mutlaq (implikasi) dan [4] Umum wa Khusus Minwajhin (asosiasi).

Tabâyun adalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya tidak bisa diterapkan pada seluruh afrad tashawwur kulli yang lain. Dengan kata lain, afrad kulli yang satu tidak mungkin sama dan bersatu dengan afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur batu. Kedua tashawwur ini sangatlah berbeda dan afradnya tidak mungkin sama. Setiap manusia pasti bukan batu dan setiap batu pasti bukan manusia.Tasâwi adalah dua tashawwur kulli yang keduanya bisa diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwurt berpikir. Artinya setiap manusia dapat berpikir dan setiap yang berpikir adalah manusia.Umum wa khusus mutlak adalah dua tashawwur kulli yang satu dapat diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain dan tidak sebaliknya. Misal: tashawwur hewan dan tashawwur manusia. Setiap manusia adalah hewan dan tidak setiap hewan adalah manusia. Afrad tashawwur hewan lebih umum dan lebih luas sehingga mencakup semua afrad tashawwur manusia.Umum wa khusus min wajhin adalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya dapat diterapkan pada sebagian afrad kulli yang lain dan sebagian lagi tidak bisa diterapkan. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur putih. Kedua tashawwur kulli ini bersatu pada seorang manusia yang putih, tetapi terkadang keduanya berpisah seperti pada orang yang hitam dan pada kapur tulis yang putih.

Hudud dan Ta’rifat

Kita sepakat bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui (majhul). Dan sesuai dengan fitrah, kita selalu ingin dan mencari tahu tentang hal-hal yang masih majhul.

Pertemuan lalu telah dibahas bahwa manusia memiliki ilmu dan pengetahuan (ma’lûm), baik tashawwuri ataupun tashdiqi. Majhul (jahil) sebagai anonim dari ma’lûm (ilmu), juga terbagi menjadi dua majhul tashawwuri dan majhul tashdiqi. Untuk mengetahui hal-hal majhul tashawwuri, kita membutuhkan ma’lûm tashaswwuri. (Lihat definisi berpikir. Pencarian majhul tashawwur dinamakan “had” atau “ta’rif”.

Had/ta’rif adalah sebuah jawaban dan keterangan yang didahului pertanyaan “Apa?”.

Saat menghadapi sesuatu yang belum kita ketahui (majhul), kita akan segara bertanya “apa itu?”. Artinya, kita bertanya tentang esensi dan hakikat sesuatu itu. Jawaban dan keterangan yang diberikan adalah had (definisi) dari sesuatu itu.

Oleh karena itu, dalam disiplin ilmu, mendefinisikan suatu materi yang akan dibahas penting sekali sebelum membahas lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Perdebatan tentang sesuatu materi akan menjadi sia-sia kalau definisinya belum jelas dan disepakati. Ilmu mantiq bertugas menunjukkan cara membuat had atau definisi yang benar.

Macam-Macam Definisi (Ta’rif)

Setiap definisi bergantung pada kulli yang digunakan. Ada lima kulli yang digunakan untuk mendefinisikan majhul tashawwuri (biasa disebut “kulliyat khamsah”). Lima kulli itu adalah: [1] Nau’ (spesies), [2] jins (genius), [3] fashl (diferentia), [4] ‘aradh ‘aam (common accidens) dan [5] ‘aradh khas (proper accidens). Pembahasan tentang kulliyat khamsah ini secara detail termasuk pembahasan filsafat, bukan pembahasan mantiq.

Had Tâm, adalah definisi yang menggunakan jins dan fashl untuk menjelaskan bagian-bagian dari esensi yang majhul. Misal: Apakah manusia itu? Jawabannya adalah “Hewan yang berpikir (natiq)”. “Hewan” adalah jins manusia, dan “berpikir” adalah fashl manusia. Keduanya merupakan bagian dari esensi manusia.Had Nâqish, adalah definisi yang menggunakan jins saja. Misal: “Manusia adalah hewan”. Hewan adalah salah satu dari esensi manusia.Rasam Tâm, adalah definisi yang mengunakan ‘ardh khas. Misal: “Manusia adalah wujud yang berjalan, tegak lurus dan dapat tertawa”. “Maujud yang berjalan”, “tegak lurus” dan “tertawa” bukan bagian dari esensi manusia, tetapi hanya bagian yang eksiden.Rasam Nâqish, adalah definisi yang menggunakan ‘ardh ‘âm, misalnya, “Manusia adalah wujud yang berjalan”.

Qadhiyyah (Proposisi)

Sebagaimana yang telah kita ketahui, tashdiqi adalah penilaian dan penghukuman atas sesuatu dengan sesuatu yang lain (seperti: gunung itu indah; manusia itu bukan kera dan lain sebagainya). Atas dasar itu, tashdiq berkaitan dengan dua hal: maudhu’ dan mahmul (“gunung” sebagai maudhu’ dan “indah” sebagai mahmul). Gabungan dari dua sesuatu itu disebut qadhiyyah (proposisi).

Macam-macam Qadhiyyah

Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur: 1) mawdhu’, 2) mahmul dan 3) rabithah (hubungan antara mawdhu’ dan mahmul). Berdasarkan masing-masing unsur itu, qadhiyyah dibagi menjadi beberapa bagian.

Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua: hamliyyah (proposisi kategoris) dan syarthiyyah (proposisi hipotesis).

Qadhiyyah hamliyyah adalah qadhiyyah yang terdiri dari mawdhu’, mahmul dan rabithah.

Lebih jelasnya, ketika kita membayangkan sesuatu, lalu kita menilai atau menetapkan atasnya sesuatu yang lain, maka sesuatu yang pertama disebut mawdhu’ dan sesuatu yang kedua dinamakan mahmul dan yang menyatukan antara keduanya adalah rabithah. Misalnya: “gunung itu indah”. “Gunung” adalah mawdhu’, “indah” adalah mahmul dan “itu” adalah rabithah (Qadhiyyah hamliyyah, proposisi kategorik)

Terkadang kita menafikan mahmul dari mawdhu’. Misalnya, “gunung itu tidak indah”. Yang pertama disebut qadhiyyah hamliyyah mujabah (afirmatif) dan yang kedua disebut qadhiyyah hamliyyah salibah (negatif).

Qadhiyyah syarthiyyah terbentuk dari dua qadhiyyah hamliyah yang dihubungkan dengan huruf syarat seperti, “jika” dan “setiap kali”.

Contoh: jika Tuhan itu banyak, maka bumi akan hancur. “Tuhan itu banyak” adalah qadhiyyah hamliyah; demikian pula “bumi akan hancur” sebuah qadhiyyah hamliyah. Kemudian keduanya dihubungkan dengan kata “jika”. Qadhiyyah yang pertama (dalam contoh, Tuhan itu banyak) disebut muqaddam dan qadhiyyah yang kedua (dalam contoh, bumi akan hancur) disebut tali.

Qadhiyyah syarthiyyah dibagi menjadi dua: muttasilah dan munfasilah. Qadhiyyah syarthiyyah yang menggabungkan antara dua qadhiyyah seperti contoh di atas disebut muttasilah, yang maksudnya bahwa adanya “keseiringan” dan “kebersamaan” antara dua qadhiyyah. Tetapi qadhiyyah syarthiyyah yang menunjukkan adanya perbedaan dan keterpisahan antara dua qadhiyyah disebut munfasilah, seperti, Bila angka itu genap, maka ia bukan ganjil. Antara angka genap dan angka ganjil tidak mungkin kumpul.

Qadhiyyah Mahshurah dan Muhmalah

Pembagian qadhiyyah berdasarkan mawdhu’-nya dibagi menjadi dua: mahshurah dan muhmalah. Mahshurah adalah qadhiyyah yang afrad (realita) mawdhu’-nya ditentukan jumlahnya (kuantitasnya) dengan menggunakan kata “semua” dan “setiap” atau “sebagian” dan “tidak semua”. Contohnya, semua manusia akan mati atau sebagian manusia pintar. Sedangkan dalam muhmalah jumlah afrad mawdhu’-nya tidak ditentukan. Contohnya, manusia akan mati, atau manusia itu pintar.

Dalam ilmu mantiq, filsafat, eksakta dan ilmu pengetahuan lainnya, qadhiyyah yang dipakai adalah qadhiyyah mahshurah.

Qadhiyyah mahshurah terkadang kulliyah (proposisi determinatif general) dan terkadang juz’iyyah (proposisi determinatif partikular) dan qadhiyyah sendiri ada yang mujabah (afirmatif) dan ada yang salibah (negatif) . Maka qadhiyyah mahshurah mempunyai empat macam:

Mujabah kulliyyah: Setiap manusia adalah hewanSalibah kulliyyah: Tidak satupun manusia yang berupa batu.Mujabah juz’iyyah: Sebagian manusia pintarSalibah juz’iyyah: Sebagian manusia bukan laki-laki.

Sebenarnya masih banyak lagi pembagian qadhiyyah baik berdasarkan mahmul-nya (qadhiyyah muhassalah dan mu’addlah), atau jihat qadhiyyah (dharuriyyah, daimah dan mumkinah) dan qadhiyyah syarthiyyah muttasilah (haqiqiyyah, maani’atul jama’ dan maani’atul khulw). Namun qadhiyyah yang paling banyak dibahas dalam ilmu filsafat, mantiq dan lainnya adalah qadhiyyah mahshurah.

Hukum-Hukum Qadhiyyah

Setelah kita ketahui definisi dan pembagian qadhiyyah, maka pembahasan berikutnya adalah hubungan antara masing-masing dari empat qadhiyyah mahshurah. Pada pembahasan terdahulu telah kita ketahui bahwa terdapat empat macam hubungan antara empat tashawwuri kulli: [1] tabâyun, [2] tasâwi, [3] umum wa khusus mutlak dan [4] umum wa khusus min wajhin. Demikian pula terdapat empat macam hubungan antara masing-masing empat qadhiyyah mahshurah: [1] tanaqudh, [2] tadhadd, [3] dukhul tahta tadhadd dan [4] tadakhul.

Tanaqudh (mutanaqidhain [kontradiktif]) adalah dua qadhiyyah yang mawdhu’ dan mahmul-nya sama, tetapi kuantitas (kam) dan kualitasnya (kaif) berbeda, yakni yang satu kulliyah mujabah dan yang lainnya juz’iyyah salibah. Misalnya, “Semua manusia hewan” (kulliyyah mujabah) dengan “Sebagian manusia bukan hewan” (juz’iyyah salibah).Tadhad (kontrariatif) adalah dua qadhiyah yang sama kuantitasnya (keduanya kulliyyah), tetapi yang satu mujabah dan yang lain salibah. Misalnya, “Semua manusia dapat berpikir” (kulliyyah mujabah) dengan “Tidak satupun dari manusia dapat berpikir” (kulliyyah salibah).Dukhul tahta tadhad (dakhilatain tahta tadhad [interferensif sub-kontrariatif]) adalah dua qadhiyyah yang sama kuantitasnya (keduanya juz’iyyah), tetapi yang satu mujabah dan lain salibah. Misalnya: “Sebagian manusia pintar” (juz’iyyah mujabah) dengan “Sebagian manusia tidak pintar” (juz’iyyah salibah).Tadakhul (mutadakhilatain [interferensif]) adalah dua qadhiyyah yang sama kualitasnya tetapi kuantitasnya berbeda. Misalnya: “Semua manusia akan mati” (kulliyyah mujabah) dengan “Sebagian manusia akan mati” (juz’iyyah mujabah) atau “Tidak satupun dari manusia akan kekal” (kulliyyah salibah) dengan “Sebagian manusia tidak kekal” (juz’iyyah salibah). Dua qadhiyyah ini disebut pula

Hukum dua qadhiyyah mutanaqidhain (kontradiktif) jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lainnya pasti salah. Demikian pula jika yang satu salah, maka yang lainnya benar. Artinya tidak mungkin (mustahil) keduanya benar atau keduanya salah. Dua qadhiyyah biasa dikenal dengan ijtima’ al naqidhain mustahil (kombinasi kontradiktif).

Hukum dua qadhiyyah mutadhaddain (kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lain pasti salah. Tetapi, jika salah satu salah, maka yang lain belum tentu benar. Artinya keduanya tidak mungkin benar, tetapi keduanya mungkin salah.

Hukum dua qadhiyyah dakhlatain tahta tadhad (interferensif sub-kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu salah, maka yang lain pasti benar. Tetapi, jika yang satu benar, maka yang lain belum tentu salah. Dengan kata lain, kedua qadhiyyah itu tidak mungkin salah, tetapi mungkin saja keduanya benar.

Hukum dua qadhiyyah mutadakhilatain (interferentif), berbeda dengan masalah tashawwuri. (Lihat pembahasan tentang nisab arba’ah, pen); bahwa tashawwur kulli (misalnya, manusia) lebih umum dari tashawwur juz’i (misalnya, Ali). Di sini, qadhiyyah kulliyyah lebih khusus dari qadhiyyah juz’iyyah. Artinya, jika qadhiyyah kulliyyah benar, maka qadhiyyah juz’iyyah pasti benar.

Tetapi, jika qadhiyyah juz’iyyah benar, maka qadhiyyah kulliyyah belum tentu benar. Misalnya, jika “setiap A adalah B” (qadhiyyah kulliyyah), maka pasti “sebagian A pasti B”. Tetapi jika “sebagian A adalah B”, maka belum pasti “setiap A adalah B”.

Tanaqudh

Salah satu hukum qadhiyyah yang menjadi dasar semua pembahasan mantiq dan filsafat adalah hukum tanaqudh (hukum kontradiksi). Para ahli mantiq dan filsafat menyebutkan bahwa selain mawdhu’ dan mahmul dua qadhiyyah mutanaqidhain itu harus sama, juga ada beberapa kesamaan dalam kedua qadhiyyah tersebut. Kesamaan itu terletak pada:

Kesamaan tempat (makan)Kesamaan waktu (zaman)Kesamaan kondisi (syart)Kesamaan korelasi (idhafah)Kesamaan pada sebagian atau keseluruhan (juz dan kull )Kesamaan dalam potensi dan aktual (bil quwwah dan bil fi’li). Qiyas (silogisme)

Pembahasan tentang qadhiyyah sebenarnya pendahuluan dari masalah qiyas, sebagaimana pembahasan tentang tashawwur sebagai pendahuluan dari hudud atau ta’rifat. Dan sebenarnya inti pembahasan mantiq adalah hudud dan qiyas.

Qiyas adalah kumpulan dari beberapa qadhiyyah yang berkaitan yang jika benar, maka dengan sendirinya (li dzatihi) akan menghasilkan qadhiyyah yang lain (baru).

Sebelum kita lebih lnjut membahas tentang qiyas, ada baiknya kita secara sekilas beberapa macam hujjah (argumentasi ). Manusia disaat ingin mengetahui hal-hal yang majhul, maka terdapat tiga cara untuk mengetahuinya:

Pengetahuan dari juz’i ke juz’i yang lain. Argumenatsi ini sifatnya horisontal, dari sebuah titik yang parsial ke titik parsial lainnya. Argumentasi ini disebut tamtsil (analogi).Pengetahuan dari juz’i ke kulli. Atau dengan kata lain, dari khusus ke umum (menggeneralisasi yang parsial) Argumentasi ini bersifat vertikal, dan disebut istiqra’ (induksi).Pengetahuan dari kulli ke juz’i. Atau dengan kata lain, dari umum ke khusus. Argumentasi ini disebut qiyas (silogisme).

Macam-macam Qiyas

Qiyas dibagi menjadi dua; iqtirani (silogisme kategoris) dan istitsna’i (silogisme hipotesis). Sesuai dengan definisi qiyas di atas, satu qadhiyyah atau beberapa qadhiyyah yang tidak dikaitkan antara satu dengan yang lain tidak akan menghasilkan qadhiyyah baru. Jadi untuk memberikan hasil (konklusi) diperlukan beberapa qadhiyyah yang saling berkaitan. Dan itulah yang namanya qiyas.

1. Qiyas Iqtirani

Qiyas iqtirani adalah qiyas yang mawdhu’ dan mahmul natijahnya berada secara terpisah pada dua muqaddimah. Contoh: “Kunci itu besi” dan “setiap besi akan memuai jika dipanaskan”, maka “kunci itu akan memuai jika dipanaskan”. Qiyas ini terdiri dari tiga qadhiyyah; [1] Kunci itu besi, [2] setiap besi akan memuai jika dipanaskan dan [3] kunci itu akan memuai jika dipanaskan. Qadhiyyah pertama disebut muqaddimah shugra (premis minor), qadhiyyah kedua disebut muqaddimah kubra (premis mayor) dan yang ketiga adalah natijah (konklusi).

Natijah merupakan gabungan dari mawdhu’ dan mahmul yang sudah tercantum pada dua muqaddimah, yakni, “kunci” (mawdhu’) dan “akan memuai jika dipanaskan” (mahmul). Sedangkan “besi” sebagai had awshat.

Yang paling berperan dalam qiyas adalah penghubung antara mawdhu’ muqadimah shugra dengan mahmul muqaddimah kubra. Penghubung itu disebut had awsath. Had awsath harus berada pada kedua muqaddimah (shugra dan kubra) tetapi tidak tecantum dalam natijah. (Lihat contoh, pen).

Empat Bentuk Qiyas Iqtirani

Qiyas iqtirani kalau dilihat dari letak kedudukan had awsath-nya pada muqaddimah shugra dan kubra mempunyai empat bentuk :
1. Syakl Awwal adalah Qiyas yang had awsth-nya menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu’ pada muqaddimah kubra. Misalnya, “Setiap Nabi itu makshum”, dan “setiap orang makshum adalah teladan yang baik”, maka “setiap nabi adalah teladan yang baik”. “Makshum” adalah had awsath, yang menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu’ pada muqaddimah kubra.

Syarat-syarat syakl awwal.
Syakl awwal akan menghasilkan natijah yang badihi (jelas dan pasti) jika memenuhi dua syarat berikut ini:

a. Muqaddimah shugra harus mujabah.
b. Muqaddimah kubra harus kulliyah.

2. Syakl Kedua adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mahmul pada kedua muqaddimah-nya. Misalnya, “Setiap nabi makshum”, dan “tidak satupun pendosa itu makshum”, maka “tidak satupun dari nabi itu pendosa”.

Syarat-syarat syakl kedua.

a. Kedua muqaddimah harus berbeda dalam kualitasnya (kaif, yakni mujabah dan salibah).
b. Muqaddimah kubra harus kulliyyah.

3. Syakl Ketiga adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mawdhu’ pada kedua muqaddimahnya. Misalnya, “Setiap nabi makshum”, dan “sebagian nabi adalah imam”, maka “sebagian orang makshum adalah imam”.

Syarat-syarat Syakl ketiga.

a. Muqaddimah sughra harus mujabah.
b. Salah satu dari kedua muqaddimah harus kulliyyah.

4. Syakal Keempat adalah Qiyas yang had awsath-nya menjadi mawdhu’ pada muqaddimah shugra dan menjadi mahmul pada muqaddimah kubra (kebalikan dari syakl awwal.)

Syarat-syarat Syakl keempat.

a. Kedua muqaddimahnya harus mujabah.
b. Muqaddimah shugra harus kulliyyah. Atau
c. Kedua muqaddimahnya harus berbeda kualitasnya (kaif)
d. Salah satu dari keduanya harus kulliyyah.

Catatan: Menurut para mantiqiyyin, bentuk qiyas iqtirani yang badihi (jelas sekali) adalah yang pertama sedangkan yang kedua dan ketiga membutuhkan pemikiran. Adapun yang keempat sangat sulit diterima oleh pikiran. Oleh karena itu Aristoteles sebagai penyusun mantiq yang pertama tidak mencantumkan bentuk yang keempat.

Qiyas Istitsna’i

Berbeda dengan qiyas iqtirani, qiyas ini terbentuk dari qadhiyyah syarthiyyah dan qadhiyyah hamliyyah. Misalnya, “Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Oleh karena dia mempunyai mukjizat, berarti dia utusan Allah”. Penjelasannya: “Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat” adalah qadhiyyah syarthiyyah yang terdiri dari muqaddam dan tali (lihat definisi qadhiyyah syarthiyyah), dan “Dia mempunyai mukjizat” adalah qadhiyyah hamliyyah. Sedangkan “maka dia mempunyai mukjizat” adalah natijah. Dinamakan istitsna’i karena terdapat kata ” tetapi”, atau “oleh karena”.

Macam-Macam Qiyas istitsna’i (silogisme) Ada empat macam qiyas istitsna’i: Muqaddam positif dan tali positif. Misalnya, “Jika Muhammad utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Tetapi Muhammad mempunyai mukjizat berarti Dia utusan Allah”. Muqaddam negatif dan tali positif. Misalnya, “Jika Tuhan itu tidak satu, maka bumi ini akan hancur.

Tetapi bumi tidak hancur, berarti Tuhan satu (tidak tidak satu)”. Tali negatif dan muqaddam negatif. Misalnya, “Jika Muhammad bukan nabi, maka dia tidak mempunyai mukjizat. Tetapi dia mempunyai mukjizat, berarti dia Nabi (bukan bukan nabi)”. Tali negatif dan muqaddam positif. Misalnya, “Jika Fir’aun itu Tuhan, maka dia tidak akan binasa. Tetapi dia binasa, berarti dia bukan Tuhan”.

(Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah Logika “Pengantar Menuju Filsafat Islam” di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad pada tanggal 25 Oktober -1 November 1999 M)

Senin, 12 Februari 2018

SINGA Vs HARIMAU

Singa dan Harimau merupakam hewan buas yang cukup ditakuti di alam liar. Sama-sama merupakan karnivora dan pemangsa, keduanya adalah pemburu yang handal dan memang hidup untuk membunuh. Namun anehnya, hanya satu yang disebut-sebut sebagai Raja Rimba, yakni Singa.

Padahal keduanya sama-sama kuat, namun jika terjadi pertarungan antara Singa Vs Harimau, siapakah yang menang?

Pertarungan antara Harimau Vs Singa sampai kini memang masih sering menjadi perdebatan karena keduanya dianggap sama-sama hebat dan sama sama kuat. Berasal dari genus yang sama, yakni Panthera, kedua hewan ini bisa di bilang merupakan saudara jauh. Sejauh ini, baik Harimau maupun Singa sama-sama menduduki puncak rantai makanan. Bahkan meski berukuran lebih kecil, Harimau mampu mengalahkan Beruang. Tak hanya itu, Harimau juga bisa mengalahkan Gorilla berukuran besar.

Hingga kini masih belum jelas sebenarnya mana yang lebih kuat. Namun dalam dunia kucing, jika keduanya dianggap sama-sama kuat, maka jawabanya hanya ada satu, yakni duel.

Catatan sejarah mengatakan bahwa kedua hewan yang masih termasuk dalam golongan kucing besar ini dilaporkan pernah bertarung baik di alam bebas atau hutan rimba, di dalam area penangkaran, maupun di dalam arena aduan.

Topik hewan melawan hewan seperti Gorilla melawan Harimau, Harimau melawan Beruang, Singa melawan Harimau sesungguhnya sudah menjadi bahan diskusi dan juga perdebatan yang populer, terutama di antara kalagan pemburu, naturalis, seniman, dan juga para raja di zaman dahulu.

Rasa penasaran dan ingin tahu ini yang menyebabkan beberapa raja pada zaman dulu menyelenggarakan pertarungan antara Harimau Vs Singa di sebuah arena gladiator.

Harimau Vs Singa, siapa yang akan menang?

Di India, Singa Asia, yang ukurannya lebih kecil dari Singa Afrika, dan juga Harimau hidup di wilayah yang berdekatan. Walaupun tidak perlu terjadi perebutan teritori di antara keduanya, mereka pernah melakukan pertarungan sesekali dan tentunya pertarungan ini merupakan kejadian nyata yang terjadi beberapa tahun lalu.

Kita akan menjawab secara spesifik dengan menggunakan seekor Harimau jantan melawan seekor Singa jantan sebagai contoh. Walaupun Singa betina selalu berburu dalam kelompok yang terdiri dari beberapa Singa, namun Singa jantan menghabiskan waktunya untuk hidup sendiri.

Mereka dipaksa keluar dari zona nyaman mereka ketika mereka mencapai sekitar umur 2 tahun. Kalau mereka sanggup bertahan hidup dan mendapatkan kembali kelompok mereka, mereka hanya dapat memilikinya selama beberapa tahun saja. Sementara itu, ketika sang Singa jantan sudah memiliki sebuah kelompok, mereka lebih sering menghabiskan waktu mereka untuk bertarung melawan Singa jantan lainnya yang memiliki potensi untuk merebut kekuasaannya akan kelompoknya.

Ketika mereka tidak memiliki kelompok, mereka biasanya akan bertarung melawan hewan jantan yang mereka temui yang sendirian dan tentu saja singa jantan itu hanya memiliki satu tujuan yakni untuk menguasai kelompok hewan itu. Jadi, Singa jantan menghabiskan waktunya untuk bertarung. 

Faktanya, mereka menghabiskan waktu mereka hanya untuk bertarung, sehingga mereka tidak bisa makan dengan rutin dan sering kali berada di bawah tekanan. Oleh karena itu, biasanya mereka hanya hidup sekitar sepuluh tahun, sementara Singa betina biasanya akan hidup sekitar lima belas tahun. 

Alasan mengapa Singa jantan memiliki surai rambut adalah sebagai pertahanan saat bertarung. Mereka bertarung seperti pegulat, berhadapan, mencengkram lawannya dan saling mencoba untuk menjadi lebih kuat dari lawannya.

Saya pernah melihat mereka bertarung beberapa kali dan pernah melewati dua Singa jantan yang mati beberapa tahun yang lalu. Keduanya telah tergigit sampai ke tulang-tulangnya. Dari apa yang sudah saya baca, hal ini sangatlah normal. Jadi, surai rambut yang dimiliki Singa jantan merupakan pertahanan yang sangat efektif dalam pertarungan dunia kucing besar. Untuk dapat mengalahkannya diperlukan sebuah dominasi yang serius dalam pertarungan sama seperti bergulat dengan lawan hingga mereka dapat menggigit mereka sampai ke tulang-tulangnya.

Harimau tidak memiliki pertahanan ini karena Harimau sangat jarang bertarung. Harimau merupakan hewan soliter dan walaupun lebih berat dari Singa, mereka lebih pendek dari Singa. Perbedaan beratnya sekitar 15% yang menunjukkan kelebihannya tetapi tidak bisa disebut sebagai keunggulan bagi Harimau, karena tubuh Singa tetap lebih tinggi dari mereka. Dalam istilah kebiasaan, Harimau jantan biasanya menyelesaikan perselisihan dengan memamerkan dan mengintimidasi lawannya, lebih memilih untuk saling menghindari. Salah satu dari mereka biasanya akan menggulungkan punggungnya dan memperlihatkan perutnya sebagai pertahannya.

Sekarang, dalam istilah bertarung, kurangnya pengalaman ketika bertarung melawan yang profesional merupakan kerugiannya yang paling besar. Hal ini sama saja dengan menaruh petarung amatir yang berat dan tidak berpengalaman dalam ring dengan petarung yang tinggi, profesional, dan sangat berpengalaman dalam bertarung. Dengan menggunakan pendekatan seperti ini, maka tidak aneh apabila Harimau kalah dalam pertarungan Harimau Vs Singa.

Salah satu contoh dari hasil Harimau Vs Singa datang dari seorang pelatih hewan dan juga pawang "macan" bernama Clyde Beatty yang melakukan sebuah eksperimen. Ia memelihara beberapa Harimau, Singa, Hyena, dan beberapa hewan eksotis lainnya. Ia menempatkan Harimau dan Singa di dalam satu arena, dua puluh lima ekor Harimau, dua di antaranya adalah Harimau Siberia dan sisanya adalah Harimau Bengal, mati diterkam oleh Singa di arena sirkus.

Sementara itu, dari kelompok Singa, tidak ada satu pun Singa yang mati karena diterkam Harimau. Ini sudah merupakan sebuah bukti bahwa Singa mampu mengalahkan Harimau. 

Seorang pelatih binatang dan pawang macan lain bernama Dave Hoover menyatakan bahwa Singa adalah petarung yang handal dan lebih baik daripada Harimau. Dari pengalamannya, ia menyaksikan sendiri beberapa Harimau terbunuh karena serangan dari Singa di arena sirkus di mana ia bekerja.



Bukti lain mengenai Singa Vs Harimau ditemukan dalam buku catatan seorang naturalis dan konservasionis dari India yang bernama Kailash Shankala. Di dalam bukunya ia menyatakan bahwa Harimau tidak mampu mengalahkan seekor Singa karena Singa memiliki surai rambut dengan panjang menutupi leher. Ini adalah sebuah keuntungan untuk si Singa dalam pertahanan diri karena Harimau akan kesulitan untuk menggigit lehernya yang merupakan daerah vital, sedangkan Harimau tidak memiliki pertahanan ini, dan ini satu keuntungan yang membuat mudah bagi Singa untuk menerkam dan menggigit leher sang Harimau.

Ia juga menuliskan bahwa zaman dahulu ada seorang pangeran di India yang sengaja mengadu Harimau dan Singa, di dalam pertarungan tersebut ternyata sang Singa yang berhasil mengalahkan dan membunuh Harimau. Oleh karena itu, Shankala berpendapat bahwa kekuatan Harimau sama sekali tidak sebanding dengan Singa.

Seekor Singa liar akan memenangkan pertarungan ini karena dia sudah memiliki pengalaman dari bertarung dengan Singa Singa jantan lainnya. Ukuran bukanlah segalanya. Namun, Harimau di kebun binatang pasti dapat membunuh seekor Singa jantan karena Harimau lumayan kuat meski dalam penangkaran, sementara Singa yang sudah dijinakkan tidak memiliki pengalaman bertarung dan ini membuatnya lemah dalam bertarung.

Namun tetap saja, karena Singa memiliki keberanian untuk mati dalam pertarungan, hal ini memungkinkan Harimau jantan untuk menyerah saat ia sadar kalau dia sedang bertarung melawan maniak yang rela mati untuk menang. Memang Singa lebih pantas mendapatkan julukan sang "Raja Hutan".


Sabtu, 10 Februari 2018

Ilmu Syari'ah

Ilmu Syari'ah terbagi menjadi dua macam yaitu:

A. IlMU USUL

Ilmu Usul (Umbi) ini terbagi juga menjadi tiga jenis yaitu;

1. Ilmu Tauhid.

- Ilmu ini membahas tentang dzat Alloh Taala, sifat-sifat Nya yang qadimiyah (sediakala), sifat-sifat Nya yang fi'liyah (berupa perbuatan) dan sifat-sifat Nya yang dzatiyah (berupa dzat) yang bermacam-macam nama menurut nama-nama sebagaimana yang tersebut di dalam Al Qur'anul Karīm.

- Ia juga membicarakan tentang Nabi-nabi dan Imam-imam selepas mereka dan Sahabat. Juga membicarakan tentang mati dan hidup.

- Membicarakan tentang Qiyamat, kebangkitan, di kumpulkannya di Padang Mahsyar, kiraan amalan dan kelihatan Alloh Taala.

 

Ahli-ahli fikir dalam ilmu ini berpegang pada:

- mula-mula sekali dengan ayat-ayat Al-Quran

- kemudian dengan hadis-hadis Rasulullah SAW.

- kemudian dengan dalil-dalil 'Aqliah dan bukti-bukti Qiyasiah(Syllogism yang menjadi matlamat tertinggi dalam ilmu mantik atau lojik)

 

Mereka mempergunakan bahan-bahan qias perdebatan dan 'Anadi' (qias Pertentangan) dan hujungan-hujungan kedua-duanya yang diambil dari Logik(Mantik) Falsafah dan mereka meletakkan perkataan bukan pada tempatnya. Mereka mempergunakan istilah-istilah

- Jauhar,

- A'radh

- Dalil

- Nazor(tilik)

- Istidlal dan

- Hujjah

 

Sedangkan berlainan makna tiap-tiap istilah ini bagi tiap-tiap golongan.

Ahli-ahli Tasauf maksudkan suatu yang lain manakala ahli-ahli Ilmu Kalam maksudkan suatu yang lain pula. begitulah seterusnya. Risalah ini tidaklah bermaksud untuk mentahkidkan makna tiap-tiap perkataan itu menurut pendapat tiap-tiap golongan. Oleh itu kita tidak akan bincangkan di sini.

Ahli-ahli fikir dalam usul dan ilmu tauhid yang mengambil bahagian khas ( dalam mengemukakan dan mempertahankan ilmu mereka) dengan "Kalam" atau "Kata-Kata" digelarkan "Mutakallimun" (ahli-ahli ilmu kalam). Oleh sebab ini ilmu tauhid terkenal juga dengan gelaran "ILMU KALAM".

 

2. Ilmu Tafsir.

Al-Quran adalah sesuatu yang paling agung dan paling penting dalam agama. Di dalam Al Quran terdapat kemusykilan yang tidak dapat diselesaikan oleh akal tiap-tiap orang selain dari orang yang dikurniakan oleh Allah Taala untuk memahami kitabnya. Dalam hal ini Rasulullah ada bersabda yang bermaksud:

"Tiap-tiap ayat Al Quran itu ada sahaja zahir dan batin dan batinnya itu mempunyai tujuh lapisan pula"

Dalam suatu riwayat yang lain dinyatakan sebagai mempunyai sembilan batinnya.

Rasulullah bersabda lagi dengan maksudnya:

"Tiap-tiap huruf dari huruf-huruf Al-Quran mempunyai had. Maksudmya sama dengan 'Nihayah' yang bermaksud batas) dan tiap-tiap had mempunyai Mutholi'(tempat tinggi untuk meninjau). Allah Taala telah memberitakan dalam Al-Quran mengenai seluruh ilmu, segala maujudah yang nyata dan yang tersembunyi, yang kecil dan yang besar, yang dapat dirasa dan yang dapat difahami oleh akal. Ini ditunjukkan oleh firmannya yang bermaksud:

Dan tidak(gugur) biji yang basah dan tidak kering melainkan terdapat dalam Kitab yang nyata. (Surah Al-An'am, ayat 59).

Allah berfirman lagi yang bermaksud:

"Supaya mereka perhatikan ayat-ayatnya dan supaya ingat orang-orang yang mempunyai fikiran". (Surah Al-Shod, ayat 29).

Bila Al-Quran itu suatu yang paling agung, ahli-ahli tafsir manakah yang dapat keluar dari ikatannya???.

Ya!!! tiap-tiap dari ahli tafsir hanya dapat menghuraikan Al-Quran menurut tenaga sahaja, menerangkannya sekadar kekuatan akalnya dan menurut kadar isi ilmunya. Dengan kebolehan-kebolehan yang terbatas ini sekalian ahli tafsir itu berkata-kata sedangkan sebenarnya mereka tidak patut berkata bahawa dalam ilmu Al-Quran itu terkandung Ilmu Usul dan Ilmu Furu', Ilmu Syarie' dan Ilmu 'Aqli.

Meskipun begitu ahli tafsir mestilah memandang Al-Quran dari segi bahasa, dari segi perumpaannya, dari segi susunan pengucapan, dari segi tingkat-tingkat nahu, dari segi 'adat Arab, dari segi pendapat hukamah-hukamah, dari segi perkataan ahli tasauf hingga dapat mendekatkan tafsirnya kepada tahkiq. Andainya tafsir itu cuma terbatas setakat suatu segi sahaja dan hanya memberikan keterangan menerusi suatu kepandaian sahaja, tidaklah keterangan itu memuaskan hati dan masih memberi peluang kepada hujah dan alasan dari orang lain untuk menentangnya.

 

3. Ilmu Akhbar(Hadis-hadis)

Bahawa Nabi SAW adalah orang Arab dan A'jam yang paling fasih, ia adalah guru yang diwahyukan kepadanya dari Allah Taala, akalnya adalah meliputi seluruh Alam Atas dan Alam Bawah, tiap-tiap perkataannya , malah tiap-tiap ucapannya terdapat disebaliknya lautan rahsia dan perbendaharaan teka-teki .Maka mengetahui Akhbarnya dan mengenali hadisnya adalah suatu soal yang besar dan suatu kerja yang hebat, sesiapa pun tidak berkuasa untuk menyelami ilmu perkataan Nabawi melainkan dengan cara ia membetulkan diri menuruti perintah-perintah Nabi SAW dan menghilangkan kebengkok-bengkokkan dari Qalbunya dengan pedoman syarak Nabi SAW.

Sesiapa yang ingin memperkatakan tafsir Quran dan Takwil Akhbar(Hadis) dan ingin supaya tepat kata-katanya, orang itu pada mula-mula sekali mesti menguasai Ilmu Bahasa, mendalami Ilmu Nahu dan mempunyai pengetahuan yang dalam bidang 'Irab(perubahan baris-baris akhir kalimah kerana faktor-faktor mendatang menurut Ilmu Nahu)dan pandai dalam berbagai-bagai Tasrik (kepandaian mengubah sesuatu kalimah yang asal menjadi bermacam-macam bentuk untuk pengertian-pengertian yang dikehendaki oleh seseorang),

Ini adalah kerana Ilmu Bahasa adalah tangga untuk mendaki kepada seluruh ilmu. Sesiapa yang ingin naik ke atas satoh rumah, lebih dulu ia perlu menyediakan tangga, kemudian baru mendaki, Ilmu Bahasa adalah jalan yang penting dan tangga yang besar ertinya. Seorang penuntut ilmu tiada dapat memisahkan dia dari hukum-hukum bahasa.

Oleh itu Ilmu Bahasa adalah asal segala asal. Yang mula-mula mesti diketahui dalam bahasa ialah mengenai bahan-bahan yang sama tarafnya dengan perkataannya sepatah demi sepatah kemudian mengetahui kata-kata perbuatan seperti kata-kata yang terdiri dari tiga huruf dan empat huruf dan lain-lainnya.

Seorang Ahli Bahasa mesti pula mengetahui syair-syair Arab, dan yang paling penting serta paling rapi ialah syair-syair jahiliah, kerana ia mengasahkan fikiran dan memperhaluskan jiwa. Selepas syair-syair, bahan-bahan (dari perkataan) dan nama-nama itu mesti menguasai ilmu nahu, kerana ia untuk ilmu bahasa serupa dengan timbangan dacing untuk emas dan perak, Manthiq untuk Ilmu Falsafah 'Arudh (Ilmu timbangan syair atau Ilmu Persajakan) untuk syair. Lengan untuk baju dan sukatan untuk biji-bijian. Tiap-tiap suatu tiada ditimbang dengan timbangan yang tiada jelas padanya hakikat pertambahan dan pengurangan.

Oleh itu Ilmu Bahasa adalah jalan menuju kepada Ilmu Tafsir dan Akhbar(Hadis). Ilmu Al-Quran dan Akhbar adalah dalil bagi ilmu tauhid, manakala tauhid adalah ilmu yang hanya dengan dia sahaja baru terselamat para hamba dan dengannya mereka terlepas dari ketakutan hari kebangkitan kembali. Inilah Ilmu Usul secara perincian.

 

B. Ilmu Furu' (Ilmu Cawangan).

Sesuatu ilmu itu boleh berupa 'Alami atau 'Amali. Ilmu Usul adalah ilmu yang berupa Ilmu 'Alami manakala Ilmu Furu' adalah ilmu yang berupa 'Amali.

Ilmu Amali ini mengandungi tiga hak :

1. Hak Allah Taala :

Ini adalah mengenai bahagian-bahagian ibadat seperti bersuci, sembahyang, zakat, haji, jihad zikir, perayaan-perayaan (Al-'Ayaad dengan makna pertama perayaan agama dan makna kedua pengulangan-pengulangan maksudnya Tajali-tajali yang berulang-ulang atas Qalbu dengan cara mengulangi amalan-amalan) perhimpunan (Jama'ah ), dan lain-lain amalan sunat dan fardhu.

2. Hak para hamba

Ini adalah mengenai bahagian-bahagian 'Aadat (kemasyarakatan) yang terbahagi kepada dua bidang:

Mu'amalah (Pergaulan) seperti jual beli, syarikat, pemberian(Al-Hibah), pemberian pinjam dan hutang, Qishos dan segala bahagian Diyat(denda berupa wang dari kesalahan pembunuhan atau pencederaan).

Mu'aakodah(Perjanjian) seperti nikah, tholak, pembebasan hamba, perhambaan, pembahagian pesaka dan segala hujungannya.

Dua bahagian yang tersebut di atas ini dinamakan 'FEKAH'. Ilmu Fekah adalah ilmu yang mulia, berfaedah, mengenai semua(manusia) lagi perlu. Tidak terlepas manusia daripadanya kerana keperluannya kepadanya adalah umum.

3. Hak Jiwa.

Hak jiwa ialah sesuatu yang berkaitan dengan Ilmu Akhlak. Akhlak itu kalau tercela wajib disingkirkan dan dibuang. Jika terpuji, wajib dipakai sebagai perhiasan segala jiwa. Akhlak yang tercela dan sifat-sifat yang terpuji memang terkenal dalam Kitab Allah dan hadis-hadis Rasulullah SAW. Sesiapa yang berakhlak dengan salah satu daripada sifat-sifat yang terpuji itu, ia akan masuk syurga.