Sabtu, 20 Januari 2018

Isro' Mi'roj

Orang banyak yg memahami konteks perjalanan Isra Mi'raj itu seperti perjalanan seseorang menuju suatu 'tempat' dmn Tuhan bertahta di singgasana-Nya, padahal sejatinya Isra Mi'raj itu adalah 'kondisi batin' dmn seseorang telah mengalami 'pencerahan'. Dalam hal ini siapapun bisa mengalaminya bukan hanya Nabi Muhammad.
Perintah shalat juga banyak dipahami seperti Raja yg memberi perintah kepada rakyatnya, padahal makna 'shalat' harus dipahami dlm artian yg luas tdk hanya terbatas pada gerak tubuh semata. Gerakan shalat sesungguhnya cuma 'modifikasi' atau kebijaksanaan Muhammad. Bukan gerakan yg menjadi tujuan tapi substansi shalat itu sendiri yg harus dipahami.
Klo bicara syariat pastilah ribet masbro....urusan2 yg gak penting sebenernya itu dibahas di wilayah syariat. Contohnya...ngucapin Natal itu boleh atau enggak. Melihara anjing itu haram. Klo gak pake jilbab iti dosa...etc..etc...padahal syariat itu cuma 'modifikasi' yg disesuaikan dgn budaya masyarakat setempat.
Nabi Muhammad shalat secara syariat itu kan cuma bisa2nya Beliau supaya umatnya bisa tertib, soalnya orang Arab itu sebenernya barbar dan harus diiming2 atau ditakut2in baru mau melakukan sesuatu. Dari sinilah muncul konsep pahala dan dosa, sorga dan neraka.
===maaf klo kepanjangan===
#sambil liat orang lewat mau shalat subuh di masjid
tertarik sama yang ini, apakah terdapat tingkatan dimana "sholat" nggak pake lagi gerakan fisik macam rukuk, sujud, i'tidal dll...?

dimana sejatinya sholat adalah mengingat Allah, apakah dengan selalu mengingat Allah, kita nggak perlu lagi sholat yang umum dengan gerakan fisik diatas seperti umumnya orang "sholat"..??

dan sholat ini kan termasuk dalam tingkatan syariat, sedangkan di halaman sebelum sebelumnya bilang kita nggak bisa naik ke tarekat, hakekat, makrifat kalo syariatnya belum sempurna. apa definisi sempurnanya syariat menurut para salik disini?

Asbab adalah aktifitas yang menyebabkan seseorang mendapatkan sesuatu dari harta dunia misalnya bekerja untuk mendapatkan rezeki untuk menafkahi diri sendiri maupun keluarga (usaha atau ikhtiar).

Tajrid, secara harfiah artinya diam. Ahli tasawuf memaknai tajrid ialah diam dan berpaling dari segala urusan dunia, baik yang mengikat hati maupun jiwa, yakni mereka semata-mata beribadah kepada Allah tanpa memikirkan usaha dan ikhtiar.

Namun perlu digaris bawahu bahwa diam disini bukan berarti pasif melainkan aktif, sedangkan yang dimaksud tanpa memikirkan usaha dan ikhtiar ialah mereka tetap melakukan aktifitas (melakukan sesuatu pekerjaan yang berhubungan dengan rezekinya) sehari-hari seperti orang maqam asbab, namun didalam melakukan aktifitas dan mengenai hasil akhir aktifitasnya mereka tidak memikirkannya.

Hal ini disebabkan mereka sudah kuat tawakkalnya kepada Allah yang telah menjamin rezeki semua mahluk. Jadi, pergantungan mereka hanya kepada Allah swt, dan tidak kepada amal yang menjadi sebab.

Syeikh Ahmad Athoilah berkata : “Keinginanmu untuk ber-tajrid, padahal Allah menempatkan kamu pada maqom asbab, yang demikian termasuk syahwat yang sangat halus dan lembut. Dan keinginanmu untuk berada pada maqam asbab padahal Allah menempatkan dirimu pada maqam tajrid, maka yang demikian ini adalah terjatuh dari himmah/tekat yang tinggi."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar