Rabu, 26 April 2017

KETIKA SUFI MUDA TAK MERASAKAN MANISNYA DZIKRULLOH

Kisah Sang Sufi

Pada 1 Syawal 1436 Hijriah, setelah sang sufi muda mencium tangan ibundanya tercinta. Mencium pipi kanan dan kirinya untuk meminta ridho permohonan maaf atas perlakuannya selama ini terhadap segala kesalahan dan dosa-dosanya. Sang sufi muda segera mengambil air wudhu untuk mendirikan sholat duha. Namun ketika sufi muda bertakbir "Allohu Akbar" di dalam hati terasa biasa-biasa saja. Tiada perasaan nikmat seperti sebelum-sebelumnya. Begitu juga ketika sampai pada bacaan "inni wajahtu wajhiya lilladzi fathoros samawati wal ardho" pun terasa biasa-biasa saja. Yang mana biasanya dengan sendirinya sang sufi muda meneteskan air mata dan terisak-isak mengingat akan kedzoliman-kedzolimannya dan tidak sesuai dengan janji pada arti bacaan di atas. Bacaan tahiyat akhir yang mengandung penuh makna sejarah pertemuan antara Alloh SWT dan Rosululloh SAW pun terasa biasa saja. Saat membaca do'a fitnah Dajjal juga sama. Setelah selesai sholat. Sang sufi muda duduk sejenak di atas sajadah untuk merenungi perasaannya. Ada apakah gerangan? Padahal saat itu adalah saat yang berbahagia. Di luar sang sufi muda mendengar seorang temannya yang tengah menanyakan dirinya untuk halal bi halal. Tapi sang sufi tak menghiraukan dan cenderung memikirkan perasaan hatinya yang saat itu seperti sedang bahagia namun pada kenyataannya ia sedang bersedih. Setelah mencoba bertajali mencari jawaban namun sang sufi tak menemukan jawaban. Hatinya terus saja berdzikir mengingat-ingat nama Alloh. Setelah cukup lama duduk bersimpuh. Kemudian ia bangkit dan keluar dari kamarnya. Pada saat itu ibundanya kemudian mengatakan: "kamu sudah telvon nenek?"
Segera saja sang sufi muda menghubungi keluarganya di kampung untuk dapat berbicara dengan sang nenek yang sejak kecil mengurusnya. Memandikan dan bahkan membersihkan dubur kemaluannya ketika sang sufi muda buang air besar. Neneknya-lah yang mengurusinya sedari ia kecil. Setelah meminta maaf dan mengatakan tidak bisa pulang. Sang nenekpun memaklumi dan terdengar sayup-sayup beliau nenahan kesedihan.
Tak terasa sudah masuk waktu dzuhur. Sang sufi segera mengambil air wudhu dan mendirikan sholat. Dan subhanalloh, ketika takbir "Allohu Akbar", seluruh air mata sang sufi muda ketika itu mengalir deras. Dari awal sampai salam ia masih juga terisak-isak. Ternyata itulah penyebab pada saat sholat sebelumnya sang sufi seperti merasakan hatinya mati. Setelah meminta ridho dari neneknya, hati sang sufi seperti hidup kembali dan merasakan manisnya berdzikir mengingat Alloh. Sambil terus berharap di dalam hati bahwa Alloh SWT akan senantiasa menjaga sang nenek yang jauh di sana.
Saat itu juga sang sufi mendapat jawaban atas tajalinya sebelumnya. Bahwa hati yang bersih (qolbun salim) akan di dapat melalui orang tua kita, nenek yang mengurusi kita jugalah termasuk orang tua kita yang tak sepantasnya kita lupakan. Selalu do'akan orang tua kita dan meminta ridho atas mereka. Di dalam ridho mereka terdapat ridho Alloh SWT dan Rosul Nya. Keutamaan ridho dari orang tua adalah yang paling prioritas dalam hal ibadah. Sungguh meskipun kita mampu untuk beramal sholeh seumur hidup kita, jika di timbang pahalanya orang tua kita ketika bernafas hendak mengeluarkan kita. Sungguh tidak akan kucup meskipun kita memiliki usia ratusan tahun. Alloh dan Rosul Nya masih memberatkan pahala sang ibu ketika melahirkan anaknya.

Subhanallohil 'Adzim wa shodaqo Rosuluhu Nabiyyul Karim...

Sodaqolloh wa sodaqo Rosul....

Penulis: #SufiMuda
Sumber: Kisah kehidupan sang sufi muda.

1 komentar: