Kamis, 27 April 2017

KETIKA SYAIKH IBNU ARABI MENGAKUI MURIDNYA LEBIH TINGGI AKAN ILMUNYA

Mukadimah Sufi Muda:

Siapa yang tidak mengenal Syaikh Ibnu Arabi? Seorang tokoh Ulama yang terkenal akan kealimannya, ketawadu'annya, dan ketaqwaannya kepada Alloh SWT. Beliau terus mempelajari Islam hingga sampai pada pemahaman yang tidak bisa di terjemahkan dengan akal. Karena satu kunci jalan para sufi adalah tidak pernah menggunakan akal untuk meng-akal-akali. Para sufi cenderung menggunakan qolbun salim dalam menterjemahkan ayat-ayat Alloh dan kalamulloh. Begitupun dengan Syaikh Ibnu Arabi, pada zamannya beliau adalah gurunya para guru mursyid yang memperkenalkan para santrinya kepada Alloh SWT dan Rosul Nya. Beliau ahli dalam literatur Islam, baik dalam cabang keilmuan Hadits Rosululloh SAW, fikih, ushul, tafsir, sastra, dan sejarah. Beliau juga telah mencapai derajat ijtihad dalam ilmu agama. Dalam satu riwayat beliau menetaskan 300 karya kitab yang sangat fenomenal. Beliau jugalah yang menemukan konsep 'Wahdad al-Wujud' yang banyak di kritik oleh Ulama-Ulama fikih. Bahkan beliau sampai di hukumi keluar dan menyimpang dari ajaran Islam.
Saya, (sang Sufi Muda) sangat suka sekali membahas hal-hal yang demikian, karena saya sudah memahami betul dengan keyakinan saya yang tak terbantahkan. Yakin haqul yakin ainul yakin. Saya berada di jalan yang benar! Ini buah dari permintaan saya kepada Alloh setiap saya sholat, "ihdinash shirotol mustaqiim." Allohumma ya Alloh, tunjukilah kami jalan yang lurus. Ilmu Islam itu tidak ada batasnya, jika di terjemahkan dengan akal pikir kita yang terbatas, maka tidak akan cukup. Daya ingatan kita sangat begitu terbatas. Dan ingat! Permainan syaithon ada pada batasan akal pikir. Hawa nafsu itu mengelilingi akal pikir. Artinya akal pikir kita di penuhi oleh hawa nafsu syaithon. Sehingga kita berandai-andai melampaui batas dan menyebabkan kita lalai dari mengingat Alloh. Pikiran kita di penuhi oleh dunia, dunia, dan dunia. Sehari semalam yang di pikirkan hanya dunia. Cuma masalah perut, makan, minum, dan memperturutkan nafsu syaithon. Padahal larangan Alloh sangatlah jelas. "Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithon." Akhirnya yang terjadi, segala macam cara menjadi halal asalkan ia puas. Lalu apa bedanya kita yang disebut manusia (al-insan) dengan makhluk bernama kerbau? Yang kerjanya hardolin (dahar, modol, ulin). Katanya manusia itu sebagai kholifah di muka bumi? 

Para sufi adalah calon Wali Alloh yang tentu telah menjalani proses kholwat dan mujahadah yang berat. Kita setiap hari memerangi hawa nafsu barulah bisa menterjemahkan kalam-kalam Alloh dan mendapat hidayah karunia Alloh SWT yang tak mampu di terangkan dan di terjemahkan dengan akal. Maksudnya adalah, janganlah kita itu memusuhi pendapat-pendapat yang mana kita belum sampai paham-paham tersebut. Apalagi menghukumi sesat, kafir, murtad, dan sebagainya. Biarlah yang menghukumi adalah Alloh SWT sendiri kelak di 'Hari Pembalasan'. Jika ada suatu pendapat yang terasa membingungkan, atau kita belumlah jelas, maka kita tanyakan hal itu kepada yang ahli di bidangnya. Atau kita kembali kepada Al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW. Jangan malah kita menjadi umat yang berkeras hati dan segala sesuatu harus sesuai paham yang kita pahami. Saya akan ambil contoh.
Bahwa Alloh SWT memperkenalkan saya kepada buah apel. Yang saya lihat adalah buah apel adalah berwarna merah, besarnya satu kepalan tangan dan rasanya manis. Namun pada suatu hari, seseorang datang kepada saya dan mengatakan bahwa buah apel warnanya hijau, besarnya hanya satu bulatan jari, dan rasanya agak asem. Maka apakah saya harus menolak apa yang di sampaikan oleh orang tersebut? Dan bersikeras membantah bahwa apel itu ya harus merah seperti yang saya lihat, besarnya satu kepalan tangan dan rasanya manis. Padahal yang di lihat dan di makan oleh orang tersebut yang datang kepada saya jugalah buah apel. Namun pada suatu hari yang lain seseorang datang kepada saya dan bercerita bahwa buah apel itu berwarna kuning. Besarnya satu kepal dan rasanya manis. Tapi kok tidak sama seperti yang saya lihat dan saya makan? Perbedaannya hanyalah warnanya saja. Apakah saya harus menampik?
Rosululloh SAW mengajarkan kepada kita umatnya bahwa dalam menghadapi berbagai macam ujian dan cobaan dan pendapat yang berbeda. "Tabayun dulu kamu," kata Nabi SAW. Jangan langsung di tolak atau di terima. Berpikir dulu dan renungkan. Sama halnya kita di berikan makanan apakah langsung akan kita telan? Berpikir dulu, ini makanan dari mana? Setelah di pikirkan kemudian di kunyah dahulu di dalam mulut. Baru di telan. Jika langsung di telan padahal itu adalah racun bagaimana? Itulah makanya, umat muslim haruslah mencontoh 4 sifat Nabi SAW yaitu: Siddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah. Fathonah artinya cerdas. Harus cerdas. Maka jika tidak paham akan suatu ilmu. Belajar dulu, jangan merasa sudah memiliki cukup ilmu lalu kemudian ilmu itu hanya untuk menghukumi sesat dan karif saudara kita yang muslim. Meskipun kamu hafal Al-Qur'an dan Hadits dan berceramah di muka, belum tentu kamu itu yang paling benar di hadapan Alloh SWT. Penampilan pun tidak sama sekali mempengaruhi dan menandakan ketaqwaan dan kealiman seseorang. Hati orang siapa yang tahu kecuali Alloh SWT pemilik segala hati dan yang menciptakan hati. Bisa jadi seorang pemulung derajatnya lebih tinggi di sisi Alloh SWT dan Rosul Nya karena setiap detik ia selalu mengingat-ingat Alloh dan bersholawat. Dan Alloh SWT tidak mungkin mengangkat derajat orang-orang yang lalai. Itulah Islam. Jadi apa hujjah nya kita dengan mudah menghukumi sesat dan kafir kepada seseorang sementara maqomnya antara kita dan yang kita hukumi sudah berbeda?
Jangan menjadi umat yang bodoh yang dengan mudah di ombang-ambing dengan isyu-isyu (makar) yang mengadu domba umat. Kita ini manusia bukan seekor domba, kenapa mau saja di adu-adu? Dan tidaklah sepatutnya seorang pandai besi mengkritik tukang pembuat roti dan mengatakan "kamu tidak bisa membuat roti," padahal dia lebih ahli dalam hal membuat roti di banding tukang pandai besi.
Kesimpulannya adalah, bahwa saya tahu apel itu merah namun suatu ketika orang mengatakan ada apel hijau ya alhamdulillah, saya jadi bertambah wawasan bahwa ternyata ada apel yang berwarna hijau. Ada lagi yang mengatakan kuning bertambah lagi pengetahuan saya bahwa apel itu ada yang kuning. Bahwa kita tukang pandai besi di ajarkan membuat roti, alhamdulillah, bertambahlah kemampuan saya dalam hal membuat roti. Mungkin lain waktu bisa saya variasi roti yang berbentuk besi. Jadi semakin luaslah ilmu kita kalau kita tidak mudah di ombang-ambing oleh akal pikiran kita sendiri. Maka dalam Islam di ajarkan setiap hamba untuk memiliki hati yang bersih agar mudah menerima ilmu Alloh Yang Maha Luas.
Adapun kata-kata dari sorang Syaikh yang tak mampu di cerna oleh akal. Yaitu saya ambil contoh Syaikh Siti Jenar. Ia mengatakan "Akulah Alloh al-Haq." Dan ungkapan penuh makna: "Yang di sembah dan yang menyembah adalah satu."
Saya pribadi secara syari'at paham betul bahwa itu sudah keluar dari aqidah. Tapi secara hakikat karena saya paham ilmunya dan maknanya saya tidak berani berkomentar. Dan saya tidak berani menghukumi orang yang sudah sampai pada maqom yang mana saya belum sampai. Yang mengatakan hal demikian pasti sudah tahu batasan syari'at dan ia mengatakan ini dengan ilmu. Berbeda dengan perkataan Fir'aun yang mengatakan "sayalah Tuhan" tanpa ilmu dan keyakinan yang haq! Bahkan Fir'aun tidak percaya Tuhan dan mengaku ialah sebagai Tuhan. Sifat takabur itulah yang menyebabkan murka Alloh. Namun para Wali-Wali Alloh mengatakan hal demikian itulah luapan perasaan karena telah menemukan kebenaran ilmu yang hakiki dan tak dapat terbendungkan luapan tersebut. Mereka mengatakan bil haq dengan mata hati yang tersingkap (ingkisyaf Imani). Bukan dengan ketakaburan dan ujub seperti halnya Fir'aun.
Di dalam dunia tasawuf. Tidak ada guru dan murid. Semua adalah sama-sama hamba Alloh yang mencari kebenaran ilmu. Tapi untuk membedakan mana pembimbing dan yang di bimbing maka itu cukup dengan ilmu adab. Karena Rosululloh SAW tidak mengajarkan adanya guru dan murid. Bahwa 4 sahabat terdekat Nabi SAW mereka adalah murid Nabi SAW yang di ajarkan langsung oleh Nabi SAW. Tapi Rosul SAW tidak mau di sebut guru. Maka Nabi SAW menganggap seluruhnya baik yang muda dan yang tua adalah sahabat. Begitupun ketika pertama kali saya di kenalkan oleh guru saya. Beliau sendiri mengatakan: "Di sini tidak ada guru atau murid. Kita sama-sama belajar dan terus belajar." Tapi adab saya mengajarkan bahwa saya harus tetap takdim kepada beliau sebagai guru. Seperti halnya para sahabat Nabi SAW yang tidak pernah di anggap sebagai murid, tapi seluruh sahabat mentakdimi setiap perkataan Rosululloh SAW. Maka ketika Rosul SAW memerintahkan ini dan itu langsung di kerjakan oleh para sahabat. Itulah bentuk dari pada takdim dan ittiba' kepada Rosulillah SAW.

Berikut akan saya nukilkan satu buah kisah yang tentu sudah saya adabtasi bahasanya sedemikian rupa.
Kisah ini adalah bentuk kerendah hati dari seorang Syaikh Ibnu Arabi yang mengakui akan kehebatan ilmu muridnya sendiri. Dan bukti bahwa dalam Islam. Guru tidak menjamin akan keluhuran ilmu yang di milikinya dari sang murid. Saya angkat kisah ini karena di dalamnya selain ada muatan tasawuf banyak hal yang dapat di petik dari kisah berikut. Saya pun mendapat banyak sekali pelajaran dari kisah ini.

Ketika Syaikh Ibnu Arabi Mengakui Muridnya Lebih Tinggi Akan Ilmunya:

Kisah di ambil dari kitab: Futuhat al-Makkiyah.

Di suatu pagi, seorang santri menemui gurunya (Syaikh Ibnu Arabi). Ia mengatakan kepada gurunya dalam keadaan pusat pasi: "Wahai tuan guru, semalam aku mengkhatamkan Al-Qur'an dalam sholat malamku..."

Sang guru tersenyum. "Bagus nak, nanti malam kau hadirkan bayangan diriku di hadapanmu saat kau baca Al-Qur'an itu. Rasakanlah, seolah-olah aku sedang menyimak apa yang engkau baca."
"Baiklah guru..."  Jawab santrinya.

Esok harinya, sang murid datang dan melapor kepada gurunya. "Tuan guru," katanya, "semalam aku hanya sanggup menyelesaikan setengah dari Al-Qur'an itu..."

"Engkau sungguh telah berbuat baik nak," ujar sang guru sembari menepuk pundaknya. "Nanti malam lakukan lagi, dan kali ini hadirkan wajah-wajah para sahabat Nabi SAW yang akan mendengarkan bacaan Al-Qur'an mu itu. Bayangkan Al-Qur'an itu langsung dari Rosululloh SAW dan bayangkan baik-baik bahwa mereka sedang mendengarkan dan memeriksa bacaanmu."

Pagi-pagi buta setelah sholat subuh sang murid kembali menghadap dan mengadu. "Duh guru," keluhnya. "Semalam bahkan hanya sepertiga Al-Qur'an yang dapat aku lafalkan."

"Alhamdulillah, engkau telah berbuat baik," kata sang guru mengelus kepala santrinya. "Nanti malam bacalah Al-Qur'an itu dengan lebih baik lagi, sebab yang akan hadir di hadapanmu untuk menyimak adalah Rosululloh Shollollohu 'Alaihi Wasallam sendiri. Manusia pilihan yang kepadanya Al-Qur'an itu diturunkan."

Seusai sholat subuh. Kali ini sang gurulah yang bertanya. "Bagaimana sholatmu semalam?"
"Aku hanya mampu membaca satu juz saja duh guru." Jawab santrinya sambil menghela nafas panjang. "Itu pun dengan susah payah wahai guru..."

"Masya-Alloh," kata sang guru sambil memeluk sang santri dengan bangga di dalam hati. "Engkau sungguh telah melakukan perbuatan baik nak..."
Ujar sang guru. "Lanjutkan kebaikan itu nak...dan nanti malam cobalah kau hadirkan Alloh di hadapanmu. Sungguh, selama ini pun sebenarnya Alloh lah yang mendengarkan dan menyimak bacaanmu. Alloh SWT yang telah menurunkan Al-Qur'an. Dia selalu hadir di dekatmu. Jika pun engkau tak dapat melihat Nya. Dia lah Alloh yang pasti melihatmu, ingat baik-baik. Hadirkan Alloh, karena Dia selalu mendengar dan menjawab apa yang engkau baca nak...apakah engkau mengerti nak?"
"Baiklah guru, saya mengerti..." Jawab sang murid.

Keesokan harinya, sang guru mendengar kabar, ternyata santrinya itu jatuh sakit.
Sang guru pun datang menjenguknya. "Ada apa dengan mu?" Tanya sang guru.

Sang santri berlinang air mata. "Demi Alloh, wahai tuan guru," ujarnya. "Semalam aku tak mampu menyelesaikan bacaanku. Meskipun hanya Al-Fatihah aku pun tak sanggup menyelesaikannya. Ketika sampai pada ayat "iyyakana'budu wa iyyaka nasta'iin" lidah ku kelu. Aku merasa aku sedang berdusta. Di mulut aku ucapkan "Kepada Mu ya Alloh aku menyembah" tapi jauh di dalam hatiku aku tahu, aku sering memperhatikan yang selain Dia (Alloh). Ayat itu tak mau keluar dari lisanku. Aku menangis dan tetap saja tak mampu menyelesaikannya."

"Nak...," Kata sang guru sambil berlinang air mata. "Mulai hari ini engkaulah guruku, dan sungguh aku ini muridmu. Ajarkan padaku apa yang telah kau peroleh. Sebab meski aku membimbingmu di jalan itu, aku sendiri belum pernah sampai pada puncak pemahaman yang kau dapat di hari ini."





Tidak ada komentar:

Posting Komentar