Minggu, 07 Mei 2017

Blm di post

J-ANTARA TAQLID DAN ITTIBA’

Oleh
Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah

Ittiba’ (mengikuti) kebenaran adalah kewajiban setiap manusia sebagaimana Alloh wajibkan setiap manusia agar selalu ittiba’ kepada wahyu yang diturunkan oleh Alloh kepada Rasul-Nya. Alloh jadikan wahyu tersebut sebagai petunjuk bagi manusia di dalam kehidupannya.

Tidak ada yang membangkang kepada perintah Alloh tersebut kecuali orang-orang yang taqlid kepada nenek moyangnya atau kebiasaan yang berlaku di sekelilingnya atau hawa nafsunya yang mengajak untuk membangkang dari perintah AlIoh. Mereka tolak datangnya kebenaran karena taqlid.

Tidak ada satu pun kesesatan kecuali disebabkan taqlid kepada kebatilan yang diperindah oleh iblis sehingga tampak sebagai kebenaran. Inilah sebab kesesatan setiap kaum para rasul yang menolak dakwah para rasul. IniIah sebab kesesatan orang-orang Nashara yang taqlid kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka. Inilah sebab kesesatan setiap kelompok ahli bid’ah yang taqlid kepada pemikiran-pemikiran sesat dan gembong-gembong mereka.

Para pengikut kesesatan ini menggunakan segala cara untuk mempertahankan kesesatan mereka sekaligus mengajak orang-orang selain mereka kepada jalan mereka. Mereka sebarkan syubhat bahwa orang yang ittiba’ kepada manhaj para ulama adalah taqlid kepada ulama. Mereka campur adukkan antara taqlid dan ittiba’.

Jika mereka diseru untuk meninggalkan taqlid kepada pemikiran para pemimpin kesesatan mereka, mereka balik membantah, “Wahai para Salafiyyun kalian jugataqlid kepada para ulama kalian!”

Inilah jalan setiap pemilik kesesatan dari masa ke masa, mereka gabungkan antara kebatilan dengan kebenaran, mereka kaburkan garis pemisah antara keduanya.

Dengan memhon Taufiq dari Alloh pada pembahasan kali ini kami ketengahkan kepada pembaca beberapa perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ agar kita bisa memahaminya dengan benar, dan sekaligus -bi’idznillah-bisa menepis syubhat para pemilik kebatilan dalam masalah ini.

DEFINISI TAQLID
Taqlid secara bahasa adalah meletakkan “al-qiladatun” (kalung) ke leher. Dipakai juga dalam hal menyerahkan perkara kepada seseorang seakan-. akan perkara tersebut diletakkan di lehernya seperti kalung. [Lisanul Arab 3/367 dan Mudzakkirah Ushul Fiqh hal.3 14]

Adapun taqlid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad [Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/993 dan l’lamul Muwaqqi’in 2/178]

Ada juga yang mengatakan bahwa taqlid adalah mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya. [Mudzakkirah Ushul Fiqh hal. 3 14]

CELAAN TERHADAP TAQLID
Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mencela taqlid dalam Kitab-Nya, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allah” [AtTaubah :31]

Ketika Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam membaca ayat Ini maka dia mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami dulu tidak menjadikan mereka sebagai rabb rabb.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, Bukankah jika mereka halalkan kepada kalian apa yang diharamkan atas kalian maka kalian juga menghalalkannya, dan jika mereka haramkan apa yang dihalalkan atas kalian maka kalian juga mengharamkannya?” Adi Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ltulah peribadatan kepada mereka” [Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Jami’ nya 3095 dan Baihaqidalam Sunan Kubra 10/116 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Ghayatul Maram hal.20]

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinyajuga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya” [Az-Zukhruf : 23-24]

Al-Imam lbnu Abdil Barr rahimahullahu berkata, “Karena mereka taqlid kepada bapak-bapak mereka maka mereka tidak mau mengikuti petunjuk para Rasul” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/977]

Alloh menyifati orang-orang yang taqlid dengan firman-Nya.

“Artinya : Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-arang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun” [Al-Anfal : 22]

“Artinya : Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dan orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali” [Al-Baqarah : 166]

Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Para ulama berargumen dengan ayat-ayat mi untuk membatalkan taqlid” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/978]

WAJIBNYA ITTIBA’
Ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang (wajib) diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan. [I’Iamul Muwaqqi’in 2/171]

Seorang muslim wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di antaranya firman Alloh.

“Artinya : Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, makasesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” [Ali lmran : 32]

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [Al-Hujurat : 1]

“Artinya : Hal orang-arang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepoda Allah (AlQur ‘an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [An-Nisa :59].

“Artinya : Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintal Alloh, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. “Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Ali lmran :31]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya seandainya Musa hidup maka tidak boleh baginya kecuali mengikutiku” [Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq dalamMushannafnya 6/Fl 3, lbnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya 9/47, Ahmad dalam Musnadnya 3/387, dan lbnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Ilmi 2/805, Syaikh Al-Albani berkata dalam Irwa’ 6/34, “Hasan”]

Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata, “Jika Musa Kalimullah tidak boleh ittiba’ kecuali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana dengan yang lainnya? Hadits ini merupakan dalil yang qath‘i atas wajibnya mengesakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam hal ittiba’, dan ini merupakan konsekuensi syahadat ‘anna Muhammadan rasulullah”, karena itulah Alloh sebutkan dalam ayat di atas (Ali lmran : 31) bahwa ittiba’ kepada Rasulullah bukan kepada yang lainnya adalah dalil kecintaan Alloh kepadanya” [Muqaddimah Bidayatus Sul fi Tafdhili Rasul hal.5-6]

Demikian juga Alloh memerintahkan setiap muslim agar ittiba’ kepada sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah dan mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya:

“Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan Ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. [An-Nisa’: 115]

Pengertian lain dari ittiba’ adalah jika engkau mengikuti suatu perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihannya sebagaimana diktakan oleh Al-Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/787.

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Aku tidak pernah mendebat seorang pun kecuali aku katakan: Ya Alloh jalankan kebenaran pada hati dan lisannya, jika kebenaran bersamaku maka dia ittiba’ kepadaku dan jika kebenaran bersamanya maka aku ittiba’ padanya” [Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam oleh Al-’Izz bin Abdis Salam 2/I 36]

TAQLID BUKANLAH ITTIBA’
Al-Imam lbnu Abdil Barr berkata, “Taqlid menurut para ulama bukan ittiba, karena ittiba’ adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihan perkataannya, dan taqlid adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang dalam keadaan engkau tidak tahu segi dan makna perkataannya” [Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/787]

Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad berkata, “Taqlid maknanya dalam syari‘at adalah merujuk kepada suatu perkataan yang tidak ada argumennya, ini adalah dilarang dalam syari’at, adapun ittiba maka adalah yang kokoh argumennya”.

Beliau juga berkata, “Setiap orang yang engkau ikuti perkataannya tanpa ada dalil yang mewajibkanmu untuk mengikutinya maka engkau telah taqlid kepadanya, dan taqlid dalam agama tidak shahih. Setiap orang yang dalil mewajibkanmu untuk mengikuti perkataannya maka engkau ittiba’ kepadanya. Ittiba’ dalam agama dibolehkan dan taqlid dilarang” [Dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam kmtabnya Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/993]

PARA IMAM MELARANG TAQLID DAN MEWAJIBKAN ITTIBA’
Diantara hal lain yang menunjukkan perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ adalah larangan para imam kepada para pengikutnya dan taqlid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba’:

Al-Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Orang yang tidak tahu dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku” [Dinukil oleh Ibnu Abidin dalam Hasyiyahnya atas Bahru Raiq 6/293 dan Sya’ rany dalam Al-Mizan 1/55]

Al-Imam Malik berkata : “Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesual dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’ 2/32]

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ 9/107 dengan sanad yang shahih]

Beliau juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadits shahih yang menyelisihinya, maka hadits Nabi , lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku”. [Diriwayatkan olehAbu Hatim dalamAdab Syafi’i hal.93 dengan sanad yang shahih]

Al-Imam Ahmad berkata, “Janganlah.engkau taqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya ambillah” Beliau juga berkata, “Ittiba’ adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya” [Masa’iI Al-Imam Ahmad oleh Abu Dawud hal.276- 277]

ITTIBA ADALAH JALAN AHLI SUNNAH DAN TAQLID ADALAH JALAN AHLI BID’AH
Al-Imam Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafy berkata, “Umat ini telah sepakat bahwa tidak wajib taat kepada seorangpun dalam segala sesuatu kecuali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam …makà barangsiapa yang ta’ashub (fanatik) kepada salah seorang imam dan mengesampingkan yang lainnya seperti orang yang ta’ashub kepada seorang sahabat dan mengesampingkan yang lainnya, seperti orang-orang Rafidhah yang ta’ashub kepada Ali dan mengesampingkan tiga khalifah yang lainnya. ini jalannya ahlul ahwa” [Al-Ittiba’ cet. kedua hal. 80]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa yang ta’ ashub kepada seseorang, dia kedudukannya seperti orang-orang Rafidhah yang ta’ashub kepada salah seorang sahabat, dan seperti orang-orang Khawarij. ini adalah jalan ahli bid’ ah dan ahwa’ yang mereka keluar dan syari’at dengan kesepakatan umat dan menurut Kitab dan Sunnah … yang wajib kepada semua makhluk adalah ittiba’ kepada seorang yang ma’shum (yaitu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam) yang tidak mengucap dan hawa nafsunya, yang dia ucapkan adalah wahyu yang diturunkan kepadanya” [Mukhtashar Fatawa Mishniyyah hal.46-47]

BANTAHAN PARA ULAMA KEPADA PEMBELA TAQLID
Al-Imam Al-Muzani berkata, “Dikatakan kepada orang yang berhukum dengan taqlid, Apakah kamu punya hujjah pada apa yang kamu hukumi?’ Jika dia mengatakan,‘Ya’, secara otomatis dia membatalkan taqlidnya, karena hujjah yang mewajibkan dia menghukumi itu bukan taqlidnya”.

Jika dia mengatakan, “Aku menghukumi tanpa memakai hujjah.” Dikatakan kepadanya, “Kalau begitu mengapa engkau tumpahkan darah, engkau halalkan kemaluan, dan engkau musnahkan harta padahal Alloh mengharamkan semua itu kecuali dengan hujjah, Alloh berfirman:

“Artinya : Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini”. [Yunus : 68]

Kalau dia mengatakan, “Aku tahu kalau aku menepati kebenaran walaupun aku tidak mengetahui hujjah, karena aku telah taqlid kepada seorang ulama besar yang dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi dariku” Dikatakan kepadanya, “Jika dibolehkan taqlid kepada gurumu karena dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi darimu, maka taqlid kepada guru dan gurumu lebih utama karena dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyl dari gurumu sebagaimana gurumu tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi darimu.” Kalau dia mengatakan, “Ya”, maka dia harus meninggalkan taqlid kepada guru dari.gurunya dan yang di atasnya hingga berhenti kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kalau dia enggan melakukan itu berarti dia telah membatalkan ucapannya dan dikatakan kepadanya, “Bagaimana dibolehkan taqlid kepada orang yang lebih kecil dan lebih sedikit ilmunya dan tidak boleh taqlid kepada orang yang lebih besar dan lebih banyak ilmunya? ini jelas menupakan kontradiksi.”

Kalau dia mengatakan, “Karena guruku -meskipun dia lebih kecil- dia telah menggabungkan ilmu orang-orang yang di atasnya kepada ilmunya, karena itu dia lebih paham apa yang dia ambil dan lebih tahu apa yang dia tinggalkan” Dikatakan kepadanya, “Demikian juga orang yang belajar dari gurumu maka dia sungguh telah menggabungkan ilmu gurumu dan ilmu orang-orang yang di atasnya kepada ilmunya, maka engkau harus taqlid kepada orang ini dan meninggalkan taqlid kepada gurumu. Demikian juga engkau lebih berhak untuk taqlid kepada dirimu sendiri daripada taqlid kepada gurumu! Jika dia tetap pada perkataannya ini berarti dia menjadikan orang yang lebih kecil dan orang yang berbicara dari para ulama yunior lebih pantas ditaqlidi daripada para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Demikian juga menurut dia seorang sahabat harus taq lid kepada seorang tabi’in, dalam keadaan seorang tabi’ in di bawäh sahabat menurut analogi perkataannya, maka yang lebih tinggi selamanya lebih rendah, maka cukuplah ini merupakan kejelekan dan kerusakan” [Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdady dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 2/69-70 dan dinukil oleh lbnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/992-993]

Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Dikatakan kepada orang yang taqlid: Mengapa engkau taqlid dan menyelisihi salaf dalam masalah ini, karena salaf tidak melakukan taqlid?” Kalau dia mengatakan, “Aku taqlid karena aku tidak paham tafsir Kitabullah dan aku belum menguasai hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sedangkan yang aku taqlidi telah mengetahui semuanya itu maka berarti aku taqlid kepada orang yang lebih berilmu daripadaku”

Dikatakan kepadanya, “Adapun para ulama, jika mereka sepakat pada sesuatu dan tafsir Kitabullah atau periwayatan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau sepakat pada sesuatu maka itu adalah al-haq yang tidak ada satu pun keraguan di dalamnya. Akan tetapi mereka telah berselisih dalam hal yang kamu taqlidi, lalu apa argumenmu di dalam taqild kepada sebagian mereka tidak kepadã yang lainnya, padahal mereka semua berilmu. Bisa jadi orang yang tidak kamu pakai perkataanya lebih berilmu daripada orang yang engkau taqlidi?”

Jika dia mengatakan, “Aku taqlid kepadanya karena aku tahu dia di atas kebenaran.” Dikatakan kepadanya, “Apakah kamu tahu hal itu dengan dalil dari Al-Kitab, Sunnah, dan ijma’?”Jika dia mengatakan, “Ya”, maka dia telah membatalkan taqlidnya dan dituntut untuk mendatangkan dalil dan perkataannya” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/994]

HUKUM TAQLID
Taqlid terbagi menjadi tiga macam sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim dalam kitabnya i’lamul Muwaqqi’in 2/187: (1) Taqlid yang diharamkan, (2) Taqlid yang diwajibkan, dan (3) Taqlid yang dibolehkan.

Macam yang pertama yaitu taqlid yang diharamkan terbagi menjadi tiga jenis:

[a]. Taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga berpaling dari apa yang diturunkan Alloh.
[b]. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.
[c]. Taqlid kepada perkataan seseorang setelah tegak argumen dan dalil yang menyelisihi perkataannya.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala‘telah mencela tiga macam taqlid ini di dalam ayat-ayat yang banyak sekali dalam Kitab-Nya sebagaimana telah kita sebutkan pada uraian di atas.
Macam yang kedua yaitu taqlid yang diwajibkan adalah yang dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim, “SesungguhnyaAlloh telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Alloh perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam finman-Nya :

“Artinya : Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Alloh dan hikmah (Sunnah Nabimu)”[Al-Ahzab:34]

lnilah Adz-Dzikr yang Alloh penintahkan agar kita selalu ittiba’ kepadanya, dan Alloh perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Alloh turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya” [l’lamul Muwaqqi’in 2/241]

Macam yang ketiga yaitu taqlid yang dibolehkan adalah yang dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim, “Adapun taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan Alloh. Hanya saja sebagian darinya tensembunyi bagi orang tersebut sehingg dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tencela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa….” [I’lamul Muwaqqi’ in 2/169]

Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad apakah dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak dalil baginya” [Majmu’ Fatawa 20/203-204]

MENGIKUTI MANHAJ PARA ULAMA BUKAN BERARTI TAKLID KEPADA MEREKA
Al-Imam lbnul Qayyim berkata, “Jika ada yang mengatakan: Kalian semua mengakui bahwa para imam yang ditaqlidi dalam agama mereka berada di atas petunjuk, karena itu maka orang-orang yang taqlid kepada mereka pasti di atas petunjuk juga, karena mereka mengikuti langkah para imam tersebut.

Dikatakan kepadanya, “Mengikuti langkah para imam ini secara otomatis membatalkan sikap taqlid kepada mereka, karena jalan para imam ini adalah ittiba’ kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka sebagaimana akan kami sebutkan hal ini dan mereka lnsya Alloh . Maka barangsiapa yang meninggalkan hujjah dan melanggar larangan para imam ini (dan sikap taqlid) yang juga dilarang oleh Alloh dan Rasul-Nya, maka jelas orang ini tidak berada di atas jalan para imam ini, bahkan termasuk orang-orang yang menyelisihi mereka.

Yang menempuh jalan para imam ini adalah orang yang mengikuti hujjah, tunduk kepada dalil, dan tidak menjadikan seorang pun yang dijadikan perkataannya sebagal timbangan terhadap Kitab dan Sunnah kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari sini nampaklah kebatilan pemahaman orang yang menjadikan taqlid sebagai ittiba’, mengaburkannya dan mencampuradukkan antara keduanya, bahkan taqlid menyelisihi ittiba’. Alloh dan Rasul-Nya telah memilahkan antara keduanya demikian juga para ulama.

Karena sesungguhnya ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan”. [I’lamul Muwaqqi’in 2/170-l71]

[Pembabasan ini banyak mengambil faedah dan risalah Syaikhuna Al-Fadhil Muhammad bin Hadi Al-Madkhaly yang berjudul Al Iqna’ bi Maja’a ‘an A’immati Da ‘wah minal Aqwal fil Ittiba’]

KESIMPULAN
Taqlid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya atau mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya.

Taqlid terbagi menjadi tiga macam.
[1]. Taqlid yang diharamkan, yaitu taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga berpaling dan apa yang diturunkan oleh Alloh, taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya, dan taqlid kepada perkataan seseorang setelah tegak argumen dan dalil yang menyelisihi perkataannya. lnilah taqlid yang dicela Alloh dalam Kitab-Nya.

[2].Taqlid yang diwajibkan, yaitu orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya tentang Adz-Dzikr yaitu apa yang Alloh turunkan kepada Rasul-Nya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya.

[3].Taqlid yang dibolehkan, yaitu taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan oleh Alloh dalam suatu permasalahan. Hanya saja sebagian dari hujjahnya tersembunyi bagi orang tersebut sehingga dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya dalam permasalahan tersebut.

Ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang (wajib) diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan atau jika engkau mengikuti suatu perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihannya.

Taqlid bukanlah ittiba’, karena ittiba’ adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihan perkataannya, dan taqlid adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang dalam keadaan engkau tidak tahu segi dari makna penkataannya.

Para imam melarang para pengikutnya dan taqlid dan memerintahkan mereka agar selalu ittiba’.

Ittiba’ adalah jalan Ahlu Sunnah dan taqlid adalah jalan ahli bid’ah.

Mengikuti manhaj para ulama bukanlah taqlid kepada mereka, karena manhaj para ulama ini adalah ittiba’ kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka, maka orang yang menempuh manhaj mereka juga ittiba’ sebagaimana mereka.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 2 Tahun V/Ramadhan 1426, Oktober 2005. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim PO BOX 21 (61153)]

Taqlid yg di haramkan

TAQLID YANG DIHARAMKAN

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Semua Ulama sepakat bahwa semua kaum Muslimin wajib berpegang teguh pada al-Qur`ân dan Sunnah. Demikian juga wajib mengembalikan segala permasalahan yang diperselisihkan kepada keduanya, serta menolak semua pendapat yang menyelisihi keduanya.

Namun kita lihat pada kenyataannya, ada sebagian orang mengharuskan umat Islam fanatik kepada salah satu dari empat madzhab, yaitu Hanafiyah, Mâlikiyah, Syâfi’iyah, dan Hanâbilah. Bahkan ada yang berani mengharamkan pengambilan pendapat dari selain madzhabnya.

Oleh karena itu, pada tulisan ini kami akan menyampaikan tentang makna taqlîd dan taqlîd yang diharamkan, sehingga kita benar-benar bisa ittibâ’ (mengikuti) agama Allah Azza wa Jalla dengan sebaik-baiknya.

MAKNA TAQLID
Secara bahasa taqlîd berarti meletakkan kalung di leher. Adapun secara istilah agama, para Ulama mendefinisikannya dengan kalimat-kalimat yang sedikit berbeda, namun intinya sama. Berikut adalah beberapa penjelasan Ulama tentang makna taqlîd:

1. Al-Amidi rahimahullah berkata, taqlîd adalah,

Mengamalkan pendapat orang lain dengan tanpa ada hujjah/argumen yang mewajibkan (amalan itu-red). [Al-Ihkâm 4/221]

2. Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah menjelaskan bahwa taqlîd adalah,

Menerima perkataan orang lain dengan tanpa hujjah. [Raudhatun Nazhir, hlm. 205]

3. Ibnu Subki rahimahullah dalam kitab Jam’ul Jawâmi’ menyatakan bahwa taqlîd adalah,

Mengambil suatu perkataan/pendapat tanpa mengetahui dalilnya.

4. Syaikh al-Kamal bin al-Humam rahimahullah dalam kitab At-Tahrîr, mendefinisikan taqlîd sebagai berikut:

Mengamalkan pendapat orang yang perkataannya bukan termasuk hujjah dengan tanpa hujjah/dalil. [At-Tahrîr, hlm. 547; dinukil dari At-Taqlîd 1/8]

Yang dimaksud dengan “Mengamalkan perkataan/pendapat orang lain”, adalah meyakini kebenaran ijtihad orang lain dan melaksanakannya. Menurut Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqîthi rahimahullah “ Ijtihad itu ada pada dua perkara:

Pertama: Perkara yang sama sekali tidak ada nashnya (dalilnya).

Kedua: Perkara yang ada nash-nash namun nash-nash ini seakan bertentangan, sehingga harus ada ijtihad dalam menggabungkan atau mentarjîh (menguatkan salah satu nash).[1

Dan yang dimaksud dengan “Hujjah/argumen yang mewajibkan”, adalah hujjah yang wajib diamalkan, yaitu dalil yang dipandang syari’at bisa untuk menetapkan hukum, seperti al-Qur’ân, Sunnah, dan ijmâ’.

PERBEDAAN ANTARA ITTIBA’ DENGAN TAQLIID
Sebagian orang tidak bisa membedakan antara ittibâ’ dengan taqlîd, padahal di antara keduanya terdapat perbedaan nyata.

Taqlîd adalah seseorang mengambil atau mengamalkan pendapat atau perbuatan orang lain dengan tanpa ada dalil yang mewajibkan perbuatan itu ataupun membolehkannya. Seperti seorang awam atau mujtahid mengambil dari orang awam, karena dalil tidak mewajibkan dan tidak membolehkannya. Kecuali orang awam yang mengambil dari mujtahid atau mujtahid yang mengambil pendapat mujtahid lain dalam keadaan-keadaan tertentu.

Sedangkan ittibâ’ adalah seseorang mengambil atau mengamalkan pendapat atau perbuatan orang lain dengan ada dalil yang mewajibkan. Seperti seseorang mengikuti apa yang ada di dalam al-Qur’ân, atau yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau qâdhi (hakim) yang mengambil perkataan saksi-saksi yang adil; karena dalil mewajibkan mengamalkannya.

Ada persamaan antara taqlîd dan ittibâ’ dari sisi mengambil atau mengamalkan pendapat atau perbuatan orang lain; sedangkan perbedaannya, taqlîd dilakukan dengan tanpa dalil, sedangkan ittibâ’ dilakukan dengan dalil.

KEWAJIBAN ITTIBA’ DAN TAQLID YANG HARAM
Hukum asal dari ittibâ’ (mengikuti dalil) adalah diperintahkan, sedangkan taqlîd terlarang. Allah Azza wa Jalla berfirman :

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya). [al-A’râf/7:3]

Namun, karena sebagian orang tidak mampu ittibâ’ dalam segala keadaan ataupun sebagiannya, maka mereka ini diperbolehkan taqlîd, sebagaimana penjelasan Syaikh asy-Syinqîthi. Beliau rahimahullah mengatakan : “Tidak ada yang menyelisihi tentang kebolehan taqlîd bagi orang awam kecuali sebagian kelompok Qadariyah.”[2] Namun, hukum ini tidak bisa diterapkan dalam semua bentuk taqlîd karena ada beberapa bentuk taqlîd yang dilarang, misalnya:

A. Taqlîd (Mengikuti) Nenek Moyang Dan Berpaling Dari Wahyu.
Contohnya, seperti yang dilakukan orang-orang musyrik di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allah Azza wa Jalla memberitakan keadaan mereka dan mencela mereka dengan firman-Nya:

Apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”, mereka menjawab, “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? [Luqmân/31:21]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Dalam al-Qur’ân Allah Azza wa Jalla mencela orang yang menyimpang dari mengikuti Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kearah agama selama ini dia praktikkan yaitu agama nenek moyangnya. Inilah taqlîd yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, yaitu mengikuti selain Rasul dalam masalah yang diselisihi oleh Rasul. Taqlîd ini hukumnya haram bagi siapapun, berdasarkan kesepakatan umat Islam, karena tidak boleh taat kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada al-Khâliq”. [Qawâidul Ushûl, hlm 45]

B. Taqlîd Kepada Orang Yang Tidak Diketahui Keahliannya Dalam Agama.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [al-Isrâ’/17:36]

Sisi pengambilan dalil dari ayat ini yaitu Allah Azza wa Jalla melarang seorang Muslim mengikuti apa yang tidak ia ketahui, sementara hukum asal dari sebuah larangan adalah haram. Orang yang bertaqlîd kepada orang yang tidak ia ketahui keahliannya, berarti dia telah mengikuti sesuatu yang tidak ia ketahui, sehingga hukumnya haram. [At-Taqlîd, 1/15]

C. Taqlîd Setelah Mengetahui Dalil Yang Menyelisihi Pendapat Orang Yang Diikuti.

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur`ân) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisâ`/4:59]

Sisi pengambilan dalil ayat ini yaitu Allah Azza wa Jalla memerintahkan para hambaNya agar mengembalikan urusan yang mereka perselisihkan ke al-Qur`ân dan Sunnah. Kalau begitu, berarti mengembalikan perselisihan kepada selain al-Qur`ân dan Sunnah hukumnya haram. Dan orang yang bertaqlîd kepada seseorang setelah mengetahui dalil yang menyelisihi pendapatnya, maka dia telah mengembalikan perselisihan kepada selain al-Qur`ân dan Sunnah, sehingga hukumnya haram. [At-Taqlîd, 1/16]

Di antara bentuk-bentuk taqlîd terlarang lainnya adalah :
1.Orang awam mengamalkan pendapat orang awam semisalnya.
2. Seorang mujtahid mengamalkan pendapat mujtahid semisalnya, baik dia telah berijtihad atau tidak.
3. Seorang mujtahid mengamalkan pendapat orang awam.
4. Termasuk taqlîd yang terlarang adalah mengambil hukum-hukum syari’at dari seorang imam (guru) tertentu dan menganggapnya seperti nash-nash agama yang wajib diikuti. [Lihat 1/10]

APAKAH TERMASUK TAQLIID?
Di bawah ini adalah bentuk-bentuk mengikuti perkataan orang lain namun tidak digolongkan taqlîd:

1. Mengamalkan firman Allah Azza wa Jalla ; karena firman Allah Azza wa Jalla merupakan hujjah. Banyak dalil-dalil nyata yang menunjukkan kewajiban beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan kitab suci-Nya. Berarti konsekwensinya harus diikuti dan diamalkan.

2. Mengamalkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; karena sabda beliau merupakan hujjah. Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan untuk mengikuti Rasul-Nya di dalam banyak ayat di dalam al-Qur’ân.

3. Mengamalkan pendapat yang merupakan ijmâ’ (kesepakatan Ulama’); karena pengamalan ini berdasarkan hujjah, maksudnya al-Qur’ân dan Sunnah mewajibkan kaum Muslimin mengamalkan ijmâ’.

4. Seorang qâdhi (hakim) menerima dan menghukumi berdasar persaksian para saksi yang adil. Karena menghukumi dengan dasar persaksian para saksi yang telah memenuhi rukun dan syarat, telah ditunjukkan oleh al-Qur’ân, Sunnah, dan ijmâ’.

5. Orang awam yang mengamalkan fatwa seorang mufti, karena hal ini berdasarkan hujjah. Yaitu ijmâ’ Ulama tentang kewajiban orang awam meruju’ ke mufti dalam masalah yang dia butuhkan.

6. Mengamalkan riwayat dari perawi, karena hal ini berdasarkan hujjah. Yaitu dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban mengamalkan riwayat yang benar.

7. Mengamalkan perkataan Sahabat, jika tidak ada Sahabat lain yang menyelisihinya. Karena perkataan Sahabat yang tidak menyelisihi al-Qur’ân, Sunnah serta tidak menyelisihi perkataan Sahabat yang lain merupakan hujjah, menurut pendapat yang râjih (kuat).

CONTOH-CONTOH TAQLID YANG HARAM
1. Pendapat firqah Syi’ah Imamiyah yang mewajibkan mengikuti imam yang mereka anggap ma’shûm, walaupun menyelisihi ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

2. Anggapan sebagian orang yang fanatik kepada madzhab imam tertentu, bahwa pendapat-pendapat imam mereka adalah syari’at, sampai mereka tidak bisa menerima jika ada keutamaan yang dinisbatkan kepada seorang Ulama yang bukan imam mereka.

3. Pendapat sekelompok orang yang mengaku mengikuti ahli Tashawwuf yang menjadikan perkataan-perkataan dan kejadian-kejadian yang diriwayatkan dalam kitab-kitab mereka sebagai agama, sekalipun menyelisihi al-Qur’ân dan Sunnah.

4. Para muqallîd (orang-orang yang taqlîd) menjadikan hakim sebagian syaikh (wali) yang mereka anggap telah meraih derajat kesempurnaan tertinggi, dan mereka menisbatkan kesalahan yang mereka lakukan kepada syaikh-syaikh itu, serta menolak kebenaran yang dinukilkan dari para Ulama yang mendahului para syaikh itu.

5. Pendapat para rasionalis dari firqah Mu’tazilah yang mengukur kebaikan dan keburukan dengan akal. Akhirnya, menjadikan akal manusia sebagai hakim dengan tanpa memperdulikan syari’at. Jika syari’at sesuai dengan akal dan hawa nafsu mereka, mereka menerimanya; jika tidak, mereka menolaknya.
Dengan penjelasan singkat ini, kita bisa mengetahui berbagai jenis taqlîd terlarang yang masih banyak dilakukan oleh sebagian umat ini. Untuk itu, hendaknya kita kembali kepada agama kita yang akan menghantarkan kepada kebaikan di dunia dan akhirat.

(Referensi : kitab At-Taqlîd wal Iftâ’ wal Istiftâ’, karya Syaikh `Abdul Azîz ar-Râjihi)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Mudzakkirah Ushûlil Fiqh, hlm. 533-534, karya Syaikh asy-Syinqîthi, tahqîq: Abu Hafsh Sâmi al-‘Arabi, penerbit: Dârul Yaqîn, cet: 1, th. 1419 H / 1999 M
[2]. Mudzakkirah Ushûlil Fiqh, hlm. 533-534, karya Syaikh asy-Syinqîthi, tahqîq: Abu Hafsh Sâmi al-‘Arabi, penerbit: Dârul Yaqîn, cet: 1, th. 1419 H / 1999 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar