Minggu, 07 Mei 2017

Hukum fikih

J-IJTIHAD, taqlid, Talfiq dan ittiba '

Sumber Hukum Islam

Kata-kata "Sumber Hukum Islam 'merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti 'sumber hukum Islam', mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar'iyyah.

Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara 'yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum'.

Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur'an, Hadits, Ijma 'dan Qiyas.Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur'an, Sunnah, Ijma 'dan Qiyas).

Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsan, maslahah mursalah, istishab, '' uruf, madzhab as-Shahâbi, syar'u man qablana.

Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan.Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara'i.

Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.

Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur'an, Sunnah, Ijma 'dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.

عن معاذ بن جبل, أن النبي صلى الله عليه وسلم لما بعثه إلى اليمن, قال له: " كيف تقضي إن عرض لك قضاء?", قال: أقضي بكتاب الله, قال: " فإن لم يكن في كتاب الله?" قال: فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم, قال: " فإن لم يكن في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ?"قال: أجتهد رأيي ولا آلو, قال: فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم صدره, وقال: " الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله صلى الله عليه وسلم لما يرضي رسول الله صلى الله عليه وسلم"

"Dari Muadz bin Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya:" Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: "Saya berhukum dengan kitab Allah". Nabi berkata: "Jika tidak ada dalam kitab Allah"?, Ia berkata: "Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw". Nabi berkata: "Jika tidak ada dalam sunnah Rasul Saw"? ia berkata: "Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)". Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw".

Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra ketika terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama mengacu kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya.Jika tidak ditemukan dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw ,, ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu menemukan dalam sunnah Rasul Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.

 

A. IJTIHAD

PENGERTIAN IJTIHAD ( اجتهاد) Adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh atau mencurahkan segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad adalah berusaha untuk berupaya atau berusaha yang sungguh-sungguh., Yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu hal yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang . Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agamaIslam .

Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili, ijtihad adalah perbuatan istimbath hukum syari`at dari segi dalil-dalilnya yang rinci di dalam syari`at.

Imam al Ghazali, mendefinisikan ijtihad dengan "usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum syari`at".

Sedangkan menurut Imam Syafi`i, arti sempit ijtihad adalah qiyas.

TUJUAN IJTIHAD adalah untuk memenuhi kebutuhan umat manusia akan pegangan hidup dalamberibadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

JENIS-JENIS IJTIHAD

ijma '

Ijma 'artinya sepakat yakni sepakat para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu hal yang terjadi. Adalah sepakat bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

Ijma 'dalam istilah ahli ushul

Ijma 'dalam istilah ahli ushul adalah sepakat semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara'

Adapun rukun ijma 'dalam definisi di atas adalah adanya konsensus para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara'.

'Kesepakatan' itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:

1. Tidak cukup ijma 'dikeluarkan oleh seorang mujtahid ketika keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena 'kesepakatan' dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.

2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara 'dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara 'hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara' kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma '. Karena ijma 'tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.

3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk kata, fatwa atau perbuatan.

4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid.Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang 'banyak' secara ijma 'sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar'i yang pasti dan mengikat.

Kehujjahan Ijma '

Apabila rukun ijma 'yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan kata maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu.

Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar'i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak dapat menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma 'dengan hukum syar'i yang qath'i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).

qiyas

Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu hal yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam alasan, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan hal terdahulu sehingga dihukumi sama.Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang ada hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya

Beberapa definisi qiyas (analogi)

1.         Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.

2.         Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.

3.         Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab ( iladh ).

Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur'an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.

Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.

Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:

1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur'an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.

2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.

3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat.Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur'an dan hadits.

kehujjahan Qiyas

Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar'i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Bila tidak ada hukum dalam suatu masalah baik dengan nash atau ijma 'dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar'i.

Diantara ayat Al Qur'an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:

"Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang memiliki visi. (Qs.59: 2)

 "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS.4: 59)

Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan 'kembali kepada Allah dan Rasul' (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.

Sementara diantara dalil sunnah tentang qiyas ini berdasar pada hadits Muadz bin Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.

Sedangkan dalil yang ketiga tentang qiyas adalah ijma '.Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata 'qiyas'. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Selain itu, perbuatan mereka secara ijma 'menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan wajib diamalkan.

Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang 'Kalalah' kemudian ia berkata: "Saya katakan (pengertian) 'Kalalah' dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan 'Kalalah' adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak ".Pendapat ini disebut dengan qiyas.Karena arti Kalalah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.

Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan.Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur'an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai.Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara '.Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara 'yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara 'dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.

rukun Qiyas

Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:

1. Asal (pokok), yaitu apa yang ada dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.

2. Fara '(cabang), yaitu sesuatu yang belum ada nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.

3. Hukm al-asal, yaitu hukum syar'i yang ada dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara '.

4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.

istihsan

Beberapa definisi istihsan

1.         Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang faqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.

2.         Argumentasi dalam pikiran seorang faqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya

3.         Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.

4.         Tindakan memutuskan suatu hal untuk mencegah kemudharatan.

5.         Tindakan menganalogikan suatu hal di masyarakat terhadap hal yang ada sebelumnya.

maslahah murshalah

Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnyadengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.

Sududz Dzariah

Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat.

istishab

Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.

urf

Adalah tindakan menentukan masih mungkin suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan pokok dalam Alquran dan

Mujtahid dan persyaratannya

Mujtahid adalah orang yang berijtihad. Membicarakan persyaratan mujtahid berarti juga membicarakan syarat-syarat ijtihad.

Imam al Ghazali menyatakan mujtahid memiliki dua syarat:

-             Mengetahui dan menguasai ilmu syara, mampu melihat yang zhanni di dalam hal-hal yang syara dan mendahulukan yang wajib.

-             Adil, menjauhi segala maksiat yang menemukan sifat dan sikap keadilan ( `adalah).

Menurut Asy Syathibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid ketika memiliki dua sifat:

-             Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya, sempurna dan lengkap.

-             Mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan syari`at tersebut.

Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili mujtahid memiliki dua syarat yaitu Mengetahui apa yang ada pada Tuhan dan mengetahui / percaya adanya Rasul & apa yang dibawanya juga mukjizat-mukjizat ayat-ayat-Nya.

Al-Syatibi berpendapat bahwa mujtahid hendaknya setidaknya memiliki tiga syarat:

Syarat pertama, memiliki pengetahuan stentang Al Qur'an, tentang Sunnah, tentang masalah Ijma 'sebelumnya.

Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.

Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.

Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat).Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah.

tingkatan mujtahid

1.          Mujtahid mutlaq, yaitu seorang mujtahid yang mampu memberikan fatwa dan pendapatnya dengan tidak terikat kepada madzhab apapun. Misalnya Maliki, Hambali, Syafi`i, Hanafi, Ibnu Hazhim dan lain-lain.

2.         Mujtahid muntasib, yaitu orang yang memiliki syarat-syarat untuk berijtihad, tetapi ia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh imam madzhab tersebut.

MACAM-MACAM IJTIHAD

Dr. ad Dualibi, sebagaimana dikatakan Dr. Wahbah (h. 594), membagi ijtihad kepada tiga macam;

Al Ijtihadul Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum syari`ah dari nash-nash syar`i.

Al Ijtihadul Qiyasi, yaitu menempatkan (wadl`an) hukum-hukum syari`ah untuk kejadian / peristiwa yang tidak ada dalam al Qur`ân dan Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang ada dalam nash-nash hukum syar`i.

Al Ijtihadul Isthishlahi, yaitu menempatkan hukum-hukum syari`ah untuk kejadian / peristiwa yang terjadi yang tidak ada dalam al Qur`ân dan Sunnah menggunakan ar-ra`yu yang disandarkan atas isthishlah.

B. taqlid

Secara bahasa taqlid berasal dari kata قلد(qallada) - يقلد(yuqollidu) -تقليدا(Taqlîdan). Yang mengandung arti mengalungi, menghiasi, meniru, menyerahkan, dan mengikuti. Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid "penerimaan perkataan seseorang sedangkan engkau tidak mengetahui dari mana asal kata itu".

Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid adalah mengikuti pandapat orang lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudlarat hukum itu.

Sedangkan menurut istilah taqlid adalah mengikuti kata (pendapat) yang tidak ada hujjahnya atau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar kata (pendapat) itu. ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam hal adat istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik kepada orang tua maupun nenek moyang, hal seperti itulah yang disebut dengan taqlid buta.Sifat inilah yang disandang oleh orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala sampai pada zaman kita sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak memiliki dalil dan argumen sama sekali. Allah swt berfirman:

وإذا قيل لهم اتبعوا ما أنزل الله قالوا بل نتبع ما ألفينا عليه آباءنا أولو كان آباؤهم لا يعقلون شيئا ولا يهتدون

"Dan apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang kafir dan yang menyekutukan Allah swt):" ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah Allah swt turunkan ". Mereka menjawab: "Kami hanya mengikuti segala apa yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami". Padahal nenek-nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat hidayah (dari Allah swt) "(QS. Al-Baqarah [2]: 170).

hukum Taqlid

Dalam menghukumi taqlid menurut para ulama ada 3 macam hukum: Pertama, Taqlid yang diharamkan, kedua, Taqlid yang diwajibkan, dan ketiga, Taqlid yang dibolehkan.

Taqlid yang diharamkan.

Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam:

a. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`ân Hadits.

b. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.

c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaklid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.

Taqlid yang dibolehkan

Adalah taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba 'kepada apa yang diturunkan Allah swt. Hanya saja sebagian darinya tersembunyi bagi orang tersebut sehingg dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tencela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa. Taqlid ini sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.

Ulama Muta-akhirin dalam kaitan bertaklid kepada imam, membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan:

a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaklid kepada salah satu pendapat dari keempat madzhab.

b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak diperbolehkan bertaklid kepada ulama-ulama.

Golongan publik harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Adapun orang yang mampu ijtihad apakah dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam kondisi tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak dalil baginya "

Taqlid yang diwajibkan

Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar argumentasi, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. Juga apa yang dikatakan oleh lbnul Qayyim: Sesungguhnya Allah swt telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah al-Qur'an dan al-Hadits yang Allah swt perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya :

واذكرن ما يتلى في بيوتكن من آيات الله والحكمة إن الله كان لطيفا خبيرا

"Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Allah swt dan hikmah (Sunnah Nabimu)" (QS. Al-Ahzab [33]: 34)

Inilah Adz-Dzikr yang Allah swt perintahkan agar kita selalu ittiba '(mengikuti) kepadanya, dan Allah swt perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya.Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak bisa baginya kecuali ittiba 'kepadanya.

Taqlid yang Berkembang

Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal (Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).

Jamaludin al Qosini (w. 1332 H): "segala perkataan atau pendapat dalam suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang mengatakan perkataan itu".

Taqlid kepada yang mengaku bertaklid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.

Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid

a. Imam Abu Hanifah (80-150 H)

Dia merupakan cikal bakal ulama fiqh.Dia melarang orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.

b. Imam Malik bin Anas (93-179 H)

Dia melarang seseorang bertaklid kepada seseorang meskipun orang itu adalah orang terpandang atau memiliki kelebihan. Setiap kata atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu sebelum dipraktekkan.

c. Imam asy Syafi`i (150-204 H)

Dia murid Imam Malik. Dia mengatakan bahwa "dia akan meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.

d. Imam Hambali (164-241 H)

Dia melarang bertaklid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya.Sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.

Allah swt telah mencela tiga macam taqlid ini melalui ayat-ayat-Nya diantaranya,

بل قالوا إنا وجدنا آباءنا على أمة وإنا على آثارهم مهتدون وكذلك ما أرسلنا من قبلك في قرية من نذير إلا قال مترفوها إنا وجدنا آباءنا على أمة وإنا على آثارهم مقتدون قال أولو جئتكم بأهدى مما وجدتم عليه آباءكم قالوا إنا بما أرسلتم به كافرون

Bahkan mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka". Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka." (Rasul itu) berkata: 'Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk dari apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya? "Mereka menjawab:" Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya " (QS. az-Zukhruf [43]: 22-24)

Para Imam Melarang Taqlid dan Mewajibkan Ittiba '

Ada perbedaan antara taqlid dan ittiba 'diantara hal yang menunjukkan perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba' adalah larangan para imam kepada para pengikutnya untuk taqlid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba ':

Pertama , Al-Imam Abu Hanifah berkata, "Tidak halal atas seorangpun mengambil kata kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya" Dalam riwayat lain beliau berkata, "Orang yang tidak tahu dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku"

Kedua, Al-Imam Malik berkata: "Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah "

Ketiga , Al-Imam Asy-Syafi'i berkata, "Jika kalian menemukan sunnah Rasulullah saw, ittiba'lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun"

Dia juga mengatakan, "Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadits shahih yang menyelisihinya, maka hadis Nabi lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku ".

Keempat , Al-Imam Ahmad berkata, "Janganlah engkau taqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya ambillah" Beliau juga berkata, "Ittiba 'adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi saw dan para sahabatnya"

Mengikuti Manhaj Para Ulama Bukan Berarti Taqlid Kepada Mereka

lbnul Qayyim berkata, "Jika ada yang mengatakan: Kalian semua mengakui bahwa para imam yang ditaqlidi dalam agama mereka berada di atas petunjuk, maka orang-orang yang taqlid kepada mereka pasti di atas petunjuk juga, karena mereka mengikuti langkah para imam tersebut.

Dikatakan kepadanya, "Mengikuti langkah para imam ini secara otomatis membatalkan sikap taqlid kepada mereka, karena jalan para imam ini adalah ittiba 'kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka sebagaimana akan kami sebutkan hal ini dan mereka lnsya Allah swt. Maka barangsiapa yang meninggalkan hujjah dan melanggar larangan para imam ini (dan sikap taqlid) yang juga dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, maka jelas orang ini tidak berada di atas jalan para imam ini, bahkan termasuk orang-orang yang menyelisihi mereka.

Yang menempuh jalan para imam ini adalah orang yang mengikuti hujjah, tunduk kepada dalil, dan tidak menjadikan seorang pun yang dijadikan perkataannya sebagai timbangan terhadap Kitab dan Sunnah kecuali Rasulullah saw.

C. ITTIBA`

Menurut bahasa Ittiba 'berasal dari bahasa arab adalah mashdar (kata bentukan) dari kata ittaba'a ( اتبع) yang berarti mengikuti. Ada beberapa kalimat yang semakna dengannya diantaranya iqtifa '( اقتفاء) (menelusuri jejak), qudwah ( قدوة) (Bersuri teladan) dan uswah ( أسوة) (Berpanutan).Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna menyusul, menemukan, mengikuti, meneladani dan mencontoh.

Sedangkan menurut istilah ittiba adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan: "Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi '(orang yang mengikuti).

Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan diizinkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain adalah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW.

Definisi lainnya, ittiba` adalah menerima pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba` ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba` adalah lawan taqlid.

2. Macam-Macam Ittiba`

a. Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya

b. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya

Ulama berbeda pendapat, ada yang memungkinkan ada yang tidak memungkinkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu terbatas hanya untuk Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak bisa ke yang lain.

Pendapat yang lain memungkinkan berittiba` kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).

3. Tujuan Ittiba`

Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Ketulusan dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.

ittiba '

Kepada siapa kita wajib ittiba '?

Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa yang berhak kita berittiba 'kepadanya adalah mereka yang pendapatnya didasari dengan dalil yang jelas, dalam hal ini Rasulullah saw adalah orang yang paling berhak kita ikuti hal itu sebagaimana Allah swt berfirman,

قال الله تعالى : ) لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله كثيرا (

"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik., (Yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab [33]: 21).

Dalam ayat lain Allah berfirman:

قال الله تعالى : ) وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا(

"Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. " (QS. Al-Hasyr [59]: 7).

Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan: Ittiba 'adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah saw dan para shahabatnya.

Ittiba 'kepada Nabi saw dalam keyakinan akan terwujud dengan meyakini apa yang diyakini oleh Nabi saw sesuai dengan bagaimana ia meyakininya - apakah merupakan kewajiban, kebid'ahan ataukah merupakan pondasi dasar agama atau yang membatalkannya atau yang merusak kesempurnaannya dst - dengan alasan karena beliau saw meyakininya .

Ittiba 'kepada Nabi saw dalam kata akan terwujud dengan melaksanakan isi dan makna-makna yang ada padanya. Bukan dengan mengulang-ulang lafadz dan nashnya saja. Misalnya sabda beliau saw:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ..... صلوا كما رأيتموني أصلي... ( رواه البخاري)

"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.". (HR. Bukhori).

Ittiba 'kepadanya adalah dengan melaksanakan shalat seperti shalat beliau.

Sedangkan ittiba 'kepada Nabi saw di dalam hal-hal yang ditinggalkan adalah dengan meninggalkan hal-hal yang ia tinggalkan, yaitu hal-hal yang tidak disyariatkan. Sesuai dengan prosedur dan ketentuan Nabi saw di dalam meninggalkannya, dengan alasan karena beliau saw meninggalkannya. Dan ini adalah batasan yang sama dengan batasan ittiba 'di dalam perbuatan.

Hukum Ittiba '

Seorang muslim wajib ittiba 'kepada Rasulullah saw dengan menempuh jalan yang ia tempuh dan melakukan apa yang dia lakukan.Begitu banyak ayat al-Qur'an yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba 'kepada Rasulullah saw di antaranya firman Allah swt.

قال الله تعالى : ) قل أطيعوا الله والرسول فإن تولوا فإن الله لا يحب الكافرين(

"Katakanlah:" Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir " (QS. Ali lmran [3]: 32).

Dalam ayat lain Allah berfirman:

قال الله تعالى : ) يا أيها الذين آمنوا لا تقدموا بين يدي الله ورسوله واتقوا الله إن الله سميع عليم (

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah swt. Sesungguhnya Allah swt Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui "(QS. Al-Hujurat [49]: 1).

Demikian juga Allah swt memerintahkan setiap muslim agar ittiba 'kepada sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah saw dan mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyimpang darinya:

قال الله تعالى : ) ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا (

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan Ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". (QS. An-Nisa '[4]: 115).

Peringkat Ittiba 'Dalam Islam

Ittiba 'kepada Rasulullah saw memiliki posisi yang sangat tinggi dalam Islam, bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam. Berikut ini akan disebutkan beberapa posisi penting yang ditempati oleh ittiba ', di antaranya adalah:

Pertama , Ittiba 'kepada Rasulullah saw adalah salah satu syarat diterima amal. Sebagaimana para ulama telah sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua:

1. Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah swt semata.

2. Harus mengikuti dan mirip dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

    Ibnu 'Ajlan mengatakan: "Tidak sah suatu amalan melainkan dengan tiga hal: taqwa kepada Allah swt, niat yang baik (ikhlas) dan Ishabah (sesuai dan mengikuti sunnah Rasul)." Maka barangsiapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah SWT semata dan mirip dengan sunnah Rasulullah saw, niscaya amal itu akan diterima oleh Allah swt. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah swt. Hal inilah yang sering luput dari pengetahuan banyak orang. Mereka hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu sering kita dengar mereka mengucapkan: "yang penting niatnya, kalau niatnya baik, maka amalnya baik."

Kedua, Ittiba 'merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah swt dan Rasul-Nya.

Allah swt berfirman:

قال الله تعالى : ) قل إن كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله ويغفر لكم ذنوبكم والله غفور رحيم (

"Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. " (QS. Ali Imran [3]: 31).

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan ucapannya: "Ayat yang mulia ini sebagai hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah swt, akan tetapi tidak mengikuti sunnah Muhammad saw. Karena orang yang seperti ini berarti dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah swt sampai dia ittiba ' kepada syari'at agama Nabi Muhammad saw dalam segala ucapan dan tindak tanduknya. "

Ketiga, Ittiba 'adalah sifat yang utama wali-wali Allah swt

Ibnu Taimiyah dalam kitabnya menjelaskan panjang lebar perbedaan antara waliyullah dan wali setan, diantaranya beliau menjelaskan tentang wali Allah swt dengan ucapannya: "Tidak bisa dikatakan wali Allah kecuali orang yang beriman kepada Rasulullah saw dan syari'at yang dibawanya serta ittiba 'kepadanya baik lahir maupun batin. Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah swt dan mengaku sebagai wali Allah, tetapi dia tidak ittiba 'kepada Rasul-Nya, berarti dia berbohong. Bahkan kalau dia menentang Rasul-Nya, dia termasuk musuh Allah dan sebagai wali setan. "

Imam Ibnu Abil 'Izzi Al-Hanafi mengatakan: "Pada hakikatnya yang dinamakan karamah itu adalah kemampuan untuk senantiasa istiqamah di atas al-haq, karena Allah swt tidak memuliakan hamba-Nya dengan suatu karamah yang lebih besar dari taufiq-Nya yang diberikan kepada hamba itu untuk senantiasa menyerupai apa yang dicintai dan diridhai-Nya yaitu istiqamah di dalam mentaati Allah swt dan Rasul-Nya dan ber-wala kepada wali-wali Allah swt serta bara 'dari musuh-musuh-Nya. "Mereka itulah wali-wali Allah swt sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

قال الله تعالى : ) ألا إن أولياء الله لا خوف عليهم ولا هم يحزنون(

"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Yunus [10]: 62).

Demikianlah beberapa posisi ittiba 'yang tinggi dalam syari'at Islam dan masih banyak lagi posisi yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ittiba 'kepada Rasulullah saw merupakan suatu amal yang teramat besar dan banyak mendapat rintangan. Mudah-mudahan Allah SWT menjadikan kita termasuk orang-orang yang ittiba 'kepada Nabi-Nya dalam segala aspek kehidupan kita, sehingga kita akan bertemu Allah dengan membawa husnul khatimah.Amien, ya Rabbal Alamin.

D. talfiq

Talfiq berarti "manyamakan" atau "menyatukan kedua tepi yang berbeda".

Menurut istilah, talfiq adalah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.

Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya.

Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang paling mudah dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang dicela para ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.

Pendapat-pendapat tentang Talfiq

Pendapat pertama , masyarakat harus mengikuti madzhab tertentu, tidak dapat memilih suatu pendapat yang ringan karena tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Karena itu mereka belum bisa melakukan talfiq.

Pendapat kedua , memungkinkan talfiq dengan syarat tidak akan menimbulkan pendapat yang bertentangan dengan salah satu madzhab yang ditalfiqan itu.

Pendapat ketiga, memungkinkan talfiq tanpa syarat dengan maksud mencari yang ringan-ringan sesuai dengan kehendak dirinya.

Ruang Lingkup Talfiq

Talfiq sama seperti taqlid dalam hal ruang lingkupnya, yaitu hanya pada hal-hal ijtihad yang bersifat zhanniyah (hal yang belum diketahui secara pasti dalam agama). Adapun hal-hal yang diketahui dari agama secara pasti (ma'luumun minaddiini bidhdharuurah), dan hal-hal yang telah menjadi ijma ', yang mana mengingkarinya adalah kufr, maka di situ tidak bisa ada taqlid, apalagi talfiq.

hukum talfiq

Ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum talfiq. Satu kelompok melarang, dan satu kelompok lagi memungkinkan.

Ulama Hanafiyah mengklaim ijma 'kaum muslimin atas keharaman talfiq.Sedangkan di kalangan Syafi'iyah, hal itu menjadi sebuah ketetapan.

Ibnu Hajar mengatakan: "Pendapat yang memungkinkan talfiq adalah menyalahi ijma '.

Dalil Kelompok yang Mengharamkan Talfiq

Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan ulama ushul fiqh tentang ijma 'atas ketidakmampuan menciptakan pendapat ketiga ketika para ulama terbagi menjadi dua kelompok tentang hukum suatu perkara. Karena menurut mayoritas ulama, tidak dapat menciptakan pendapat ketiga yang meruntuhkan (melanggar) sesuatu yang telah disepakati. Misalnya 'iddah wanita hamil yang suaminya meninggal dunia, ada dua pendapat, pertama: sampai melahirkan, kedua: yang paling jauh (lama) dari dua tempo' iddah ( 'iddah melahirkan dan iddah yang ditiggal oleh suaminya karena kematian). Maka tidak dapat menciptakan pendapat ketiga, misalnya dengan beberapa bulan saja.

Akan tetapi jika ditinjau lebih dalam, terlihat bahwa alasan ini tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, karena meng-qiyaskan talfiq atas ihdaatsu qaul tsaalits (menciptakan pendapat ketiga) adalah merupakan qiyas antara dua hal yang berbeda. Hal itu dapat dilihat dari dua sisi:

1. Terciptanya pendapat ketiga terjadi ketika permasalahannya hanya satu, sedangkan talfiq terjadi dalam beberapa permasalahan. Misalnya, kefarduan menyapu kepala adalah sebuah permasalahan, sementara permasalahan batalnya wudhu 'karena bersentuhan dengan wanita adalah persoalan lain. Jadi, talfiq terjadi bukan dalam satu permasalahan, maka tidak terjadi pendapat ketiga.

2. Berdasarkan pada pendapat yang paling kuat, dalam permasalahan talfiq tidak ada suatu sisi yang disepakati oleh para ulama. Misalnya, persoalan menyapu kepala adalah khilaf di kalagan ulama, apakah wajib seluruhnya ataukah sebagian saja.Demikian pula batalnya wudhu 'dengan menyentuh perempuan merupakan permasalahan yang menjadi khilaf, apakah ia memang membatalkan wudhu' ataukah tidak.Maka, dalam hal talfiq, tidak ada sisi yang disepakati (ijma ').

Dengan demikian, pendapat yang mengharamkan talfiq telah dilandaskan pada dasar yang salah yaitu qiyas ma'al faariq.

Bila ulama Hanafiyah mengklaim ijma 'atas keharaman talfiq, akan tetapi realita yang ada sangat bertentangan. Ulama-ulama terpercaya seperti Al Fahâmah Al Amir dan Al Fadhil Al Baijuri telah menukilkan apa yang melanggar dakwaan ulama Hanafiyah tersebut.Maka klaim adanya ijma 'adalah bathil.

Berkata Al Syafsyawani tentang penggabungan dua mazhab atau lebih dalam sebuah masalah: "Para ahli ushul berbeda pendapat tentang hal ini. Yang benar berdasarkan sudut pandang adalah kebolehannya (talfiq). "

Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili mengatakan: "Adapun klaim ulama Hanafiyah bahwa keharaman talfiq merupakan ijma ', maka hal itu adakala dengna i'tibar anggota mazhab (ijma' mazhab Hanafi), atau dengan i'tibar kebanyakan. Dan adakala juga berdasarkan pendengaran atau persangkaan belaka. Sebab, jika sebuah permasalahan telah menjadi ijma ', pastilah ulama mazhab yang lain telah menetapkannya (mengatakannya) juga .... "

Dalil Kelompok yang Memungkinkan

Para ulama yang memungkinkan talfiq, mereka berdalil dengan beberapa alasan:

alasan Pertama

Tidak adanya nash di dalam al-Quran atau pun as-Sunnah yang melarang talfiq ini. Setiap orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang berhak untuk bertaklid kepada ahli ijtihad. Dan tidak ada larangan bila kita sudah bertaklid kepada satu pendapat dari ahli ijtihad untuk bertaklid juga kepada ijtihad orang lain.

Di kalangan para shahabat nabi saw ada para shahabat yang ilmunya lebih tinggi dari yang lainnya. Banyak shahabat yang lainnya kemudian membuat mereka sebagai referensi dalam masalah hukum. Misalnya mereka bertanya kepada Abu Bakar ra, Umar bin Al-Khattab ra, Utsman ra, Ali ra, Ibnu Abbas ra, Ibnu Mas''ud ra, Ibnu Umar ra dan lainnya. Seringkali pendapat mereka berbeda-beda untuk menjawab satu kasus yang sama.

Namun tidak seorang pun dari para shahabat yang berilmu itu yang menetapkan aturan bahwa bila seseorang telah bertanya kepada dirinya, maka untuk selamanya tidak bisa bertanya kepada orang lain.

Dan para iman mazhab yang empat itu pun demikian juga, tak satu pun dari mereka yang melarang orang yang telah bertaklid kepadanya untuk bertaklid kepada imam selain dirinya.

Maka dari mana datangnya larangan untuk itu, kalau tidak ada di dalam Quran, sunnah, kata para shahabat dan juga pendapat para imam mazhab sendiri?

alasan Kedua

Pada hari ini, nyaris orang-orang sudah tidak bisa bedakan lagi, mana pendapat Syafi''i dan mana pendapat Maliki, tidak ada lagi yang tahu siapa yang berpendapat apa, kecuali mereka yang secara khusus belajar di fakultas syariah jurusan perbandingan mazhab. Dan betapa sedikitnya jumlah mereka hari ini dibandingkan dengan jumlah umat Islam secara keseluruhan. Maka secara pasti dan otomatis, semua orang akan melakukan talfiq, dengan disadari atau tidak. Kalau hukum talfiq ini dilarang, maka semua umat Islam di dunia ini berdosa. Dan ini tentu tidak logis dan terlalu mengada-ada.

alasan Ketiga

Nabi saw melalui Aisyah disebutkan:

"Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka ia adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut ".

Adanya dua pilihan maksudnya ada dua pendapat yang masing-masing dilandasi dalil syar'i yang benar.Namun salah satunya lebih ringan untuk dikerjakan. Maka nabi saw selalu cenderung untuk mengerjakan yang lebih ringan.

Itu nabi Muhammad saw sendiri, seorang nabi utusan Allah swt.Lalu mengapa harus ada orang yang main larang untuk melakukan apa yang telah nabi lakukan?

Dan ini merupakan salah satu dasar tegaknya syariat Islam yaitu member fasilitas, tidak menyusahkan dan mengangkat kesempitan, hal ini sesuai pula dengan sabda Nabi Muhammad saw:

"Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan ".

Diantara para ulama yang mendukung talfiq adalah:

'Al-Izz Ibnu Abdissalam menyebutkan bahwa dibolehkan bagi orang awam mengambil rukhsah (keringanan) beberapa madzhab (talfiq), karena hal tersebut adalah suatu yang disenangi. Dengan alasan bahwa agama Allah itu mudah (Dinu al-Allahi yusrun) serta firman Allah swt dalam surat al-Hajj ayat 78:

"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan. Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya.

Demikian juga dengan para ulama kontemporer zaman sekarang, semacam Dr. Wahbah Az-Zuhaili, menurut dia talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan dlarurat, asal tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja yang sama sekali tidak mengandung maslahat syar'iyat.

Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan dibutuhkan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah hal yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Jika sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan hal yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam membutuhkan ketetapan Ijtihad.Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1.       Pelaku Ijtihad adalah seorang ahli fiqih / hukum Islam (faqih), bukan yang lain.

2.       Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i'tiqadi atau hukum khuluqi,

3.       Status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.

Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam'u 'l-Jawami' (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, "yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih / hukum furu '. (Jam'u 'l-Jawami', Juz II, hal. 379). Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah.Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh Mu'tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur 'ulama' telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.Wallohu A'lam

Terima kasih kami haturkan pada segenap mahasiswa dan dosen ushul kami serta segala pihak yang telah menunjang terselesaikannya makalah ushul fiqih ini. Mohon maaf atas segala khilaf dan salah. dalam isi makalah ini yan tidak lain adalah copy paste dari beberapa website yang kami jadikan referensi. Terimakasih

Wallohul Muwafiq ila aqwamit Thoriq

Tidak ada komentar:

Posting Komentar