Marilah kita kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits merupakan kalimat persuasi andalan yang digunakan oleh sebagian pendakwah abad 21. Dengan mudahnya kata-kata demikian terlontar, layaknya doraemon yang senantiasa kembali kepada kantong ajaib atau dora the explorer yang senantiasa kembali kepada peta ketika menemukan suatu kebuntuan jalan dan persoalan hidup. Slogan tersebut seringkali diucapkan, namun hampa dalam pengaplikasian.
Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits merupakan hal yang baik bahkan sangat dianjurkan, karena Al-Qur’an dan Hadits merupakan dua pedoman umat Islam dalam mengarungi kehidupan. Jika pernyataan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits tersebut ditelan secara mentah-mentah tanpa memahami konteks ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW serta tanpa didasari ilmu maka akan banyak bermunculan mufti kacangan yang hanya berpegang pada terjemahan Al-Qur’an dan mbah gugel sebagai landasan, sehingga tidak heran kalau banyak sekali orang dengan mudahnya mengeluarkan fatwa kafir dan munafik terhadap sesama.
Dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an secara baik banyak sekali disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh seseorang antara lain ilmu gramatika bahasa arab, munâsabatul ayat, fikih, Hadits, 'aqôid, dan sababun nuzûl. Demikian pun juga dalam memahami Hadits banyak disiplin ilmu yang perlu dikuasai seperti ilmu mushtholahul Hadits, dirôyah dan riwâyah, sehingga seseorang tidak mudah melontarkan kata bid'ah terhadap amalan orang lain dan maudhû' (palsu) terhadap suatu Hadits. Ilmu-ilmu tersebut merupakan syarat minimal seseorang menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits. Kesemua disiplin ilmu tersebut mustahil bisa difahami secara benar tanpa belajar kepada ahlinya yaitu Ulama.
Dahulu, ketika Rosûlulloh masih hidup para sahabat juga mengamalkan slogan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits dengan cara menimba ilmu kepada Rosul SAW mengenai tafsir suatu ayat atau Hadits yang belum terang maknanya. Para tābiīn berpegang teguh pada para sahabat. Tābi’ tābiīn pada para tābiīn. Begitu seterusnya, setiap generasi berpegang teguh pada generasi sebelumnya. Hal demikian karena syari'at Islam hanya bisa diketahui dengan naql (riwayat) dan istinbāth (memahami hukum dari dalil). Tidak mungkin ada naql tanpa riwayat antar generasi. Dan tidak mungkin ada istinbāth tanpa mengetahui pendapat ulama atau mazhab terdahulu, agar mendapat inspirasi atau mengembangkan hasil ijtihad mereka, serta tidak keluar dari ijmā’.
Di zaman sekarang, kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits berarti kembali kepada para Ulama. Karena para Ulama merupakan pewaris para Nabi SAW. Ulama yang menyebarkan rahmah bukan marah, Ulama yang memiliki sanad keilmuan yang jelas. Di Indonesia, Kiyai Nusantara merupakan para Ulama garda terdepan dalam hal kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits. Bagaimana tidak? Semua pengajaran para Kiyai Nusantara merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits. Kiyai Nusantara menimba ilmu, mengaji kepada para ahli ilmu di zamannya dengan talaqqi atau bertatap muka langsung sebagaimana yang dilakukan para generasi salaf. Kiyai Nusantara belajar tafsir langsung kepada ahlinya, belajar Hadits langsung kepada pakarnya bukan hanya ayat atau Hadits tertentu saja melainkan satu Al-Qur'an dan banyak Hadits. Sebut saja Mbah Maimoen Zubair, Gus Mus, Abuya Muhtadi, Habib Luthfi, KH Anwar Manshur dan masih banyak lagi. Sanad keilmuan beliau bertemu hingga Rosululloh.
Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits di zaman sekarang ini seharusnya terealisasikan dengan mengaji kepada para Ulama dan kembali bermazhab. Tidak dapat dikatakan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits jika hanya menghafal satu buah ayat atau Hadits yang digunakan untuk menyalahkan amalan saudaranya yang tidak sepaham dengannya. Akhirnya, jika ada orang yang berkoar-koar "marilah kita kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits" namun kenyataannya tidak pernah mengaji kepada para Ulama dan hanya berpegang kepada terjemahan Al-Qur'an dan Hadits yang dipelajarinya secara otodidak, maka perlu dipertanyakan apakah dirinya sudah kembali kepada Al-Qur’an atau kepada terjemahan Al-Qur’an, karena kembali kepada Al-Qur'an dan Hadits yang diajarkan oleh Rosul adalah "fas alû ahladz-dzikri in kuntum lâ ta'lamûn" atau dengan kata lain mengaji.
Wollâhu a'lamu bish-showâb
(Mochamad Bukhori Zainun, S.T., Sarjana Teknik Penerbangan, KMNU ITB/Eff)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar