Mukadimah Sufi Muda:
Bismillahirrohmanirrohim...
Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh...
Ihkwal dimana saja berada yang semoga di rahmati Alloh. Kajian kita kali ini akan membahas mengenai pandangan tentang Islam yang kaffah.
Tentu setiap orang memiliki perspektif masing-masing tentang apa yang di maksud Islam yang kaffah. Apalagi di Indonesia ini yang mempunyai beragam ras, suku, dan budaya.
Satu hal yang unik dalam pandangan saya adalah, sampai dengan saat ini, berbagai teori perihal masuknya Islam ke Nusantara terus saja bermunculan. Namun jika kita mau menilik kembali sejarah. Masuknya Islam ke Bumi Pertiwi ini adalah dengan akulturasi budaya. Adat dan budaya setempat pada setiap masing-masing daerah ketika itu diikuti dan dipelajari para Walisongo kemudian di sisipi ajaran agama Islam. Hal ini tentu saja sempat menjadi perselisihan di antara para Wali Wali yang menyebarkan ajaran Islam. Namun karena tidak adanya cara lain agar minat masyarakat saat itu dapat beralih kepada ajaran yang benar. Dalam satu riwayat bahwa pemilik ide tersebut adalah Sunan Kalijaga yang berpendapat bahwa tidak ada cara lain kecuali mengikuti budaya setiap masing-masing daerah dan dengan harapan seiring berjalannya waktu, ajaran lokal yang tidak sesuai dengan syari'at Islam akan sirna dengan sendirinya ketika orang-orang mulai memahami Islam.
Sebagai contoh, bahwa adatnya orang Jawa ketika itu sangat menyukai wayang kulit, maka Sunan Kalijaga mementaskan wayang kulit dengan kandungan ajaran Islam dan ajaran tauhid.
Di samping itu, orang Jawa suka sekali dengan tembang-tembang (suluk), maka Para Wali juga menciptakan tembang-tembang dan suluk (gendhing Jawa) dengan kandungan ajaran tauhid Islam. Yang pada akhirnya Islam dapat di terima di setiap daerah dengan menggunakan adat dan budayanya masing-masing.
Menghadirkan Islam Yang Kaffah:
Yang dimaksud Islam yang kaffah dalam tulisan saya ini ialah Islam yang lebih komperhensif dan lebih akomodatif dengan lingkungan sosialnya. Kata kaffah dalam bahasa Arab berarti menyeluruh (totally), lawannya ialah sebagian (partially).
Maka tidak bisa disebut Islam yang kaffah jika menerima sebagian ajaran Islam dan menolak sebagian ajaran yang lainnya. Islam adalah sebuah ajaran yang tidak bisa dipisah-pisah. Misalnya urusan agama menjadi tanggung jawab para Ulama dan urusan pemerintahan menjadi urusan penuh pemerintah tanpa diintegrasikan satu sama lain. Islam yang kaffah memadukan keseluruhan aspek ajaran Islam tanpa melakukan pemilahan. Inilah yang disebut Islam yang kaffah sebagaimana disebutkan dalam ayat: "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah), dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. al-Baqarah/2:208).
Pemisahan antara urusan negara dan ibadah, antara urusan dunia dan akhirat, antara urusan lahiriah dan bathiniyah dan lebih jauh lagi antara manusia dengan non manusia, sebutlah alam dan makhluk ghaib, itu jugalah bagian dari 'Islam Parsial' yang merupakan antitesa dari Islam yang kaffah. Dari segi ini pula mengapa Islam tidak sejalan dan selanjutnya menolak sekularisme dalam arti pemisahan antara agama dan urusan-urusan keduniawian. Pemisahan secara diametrikal antara suatu urusan dan urusan lainnya sesungguhnya tidak dikenal dalam Islam. Jika berbicara lebih jauh lagi, Islam juga tidak menolerir memisahkan dalam arti memperhadap-hadapkan antara manusia dengan Tuhan, yang kemudian dibayangkan bahwa manusia serba hina dan rendah sementara Tuhan serba Maha Segalanya.
Pandangan kosmologi Islam tidak bisa membedakan antara alam, manusia, dan Tuhan. Ketiga-tiganya merupakan suatu kesatuan yang koheren, dalam arti, bahwa tidak ada artinya kita gembar-gembor berbicara tentang manusia dan alam tanpa bicara tentang Tuhan, karena siapa sesungguhnya manusia dan alam itu, tidak lain adalah manifestasi (tajalli) dari Tuhan.
Banyak ayat (firman Tuhan) yang mendukung tentang pernyataan ini, antara lain: "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhan mu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (QS. Fushilat/41:53).
"Dan Dia (Alloh) bersama kalian di mana saja kalian berada. Dan Alloh Maha Melihat apa yang kalian kerjakan." (QS. al-Hadid/57:4)
Pembicaraan tentang konsep kaffah dalam perspektif tasawuf maka akan lebih rumit lagi, karena dihubungkan dengan konsep tauhid. Tauhid dalam perspektif tasawuf agak complicated tetapi clear. Tuhan tidak bisa digambarkan sebagai The One (al-Wahdah), yakni Sang Pemilik Wujud Maha Tunggal berdiam di luar pluralitas makhluk, sementara makhluk berada di dalam dunia lain terpisah sama sekali dengan Sang Pencipta. Gambaran seperti ini mereduksi keberadaan diri-Nya sebagai Tuhan Maha Serba Meliputi (al-Muhith) dan Maha Luas tanpa mengenal batas (al-Wasi'). Tuhan juga tidak bisa digambarkan sebagai The Many (al-Katsrah), dalam arti Dia yang mewujud dalam bentuk pluralitas alam semesta. Anggapan seperti ini menafikan keberadaan makhluk, dan dengan sendirinya mereduksi kapasitas-Nya sebagai Sang Khaliq.
Bagaimana mungkin ada Sang Khaliq tanpa makhluk? Bagaimana mungkin hanya mengakui-Nya sebagai Sang Khaliq dalam potensi (Creator in potential), tetapi menafikan-Nya sebagai Sang Pencipta. Konsep kaffah dan tauhid saling bersinggungan. Tidak bisa kita memahami konsep kaffah tanpa memahami konsep tauhid, demikian juga sebaliknya.
Untuk itu perlu di pahami juga bahwa ada Sang Pencipta dan ada yang diciptakan. Makhluk di ciptakan oleh Sang Pencipta supaya mengakui dan mengenali bahwa Dia-lah Tuhan yang menciptakan. Namun sifat Tuhan Yang Maha Suci tidak bergantung pada makhluk Nya. Justru makhluk lah yang sangat bergantung kepada Sang Pencipta alam semesta.
"Pertanyaannya; Kita itu siapa? Dari mana, mau kemana?" Temukan jawabannya pada diri sendiri.
Penulis:
#SufiMuda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar