Bismillahirrohmanirrohiim...
Abu Fadl Ibn Athoillah Al Sakandari (wafat pada 709 M), salah seorang imam sufi terkemuka yang juga dikenal sebagai seorang muhaddits, muballigh sekaligus ahli fiqih Maliki, adalah penulsi karya-karya berikut: Al Hikam, Miftah ul Falah, Al-Qasdul al mujarrad fi Makrifat al ism al-Mufrad, Taj al-Arus al-Hawi li tadhhib al-nufus, Unwan al-Taufiq fi al adad al-Thariq, sebuah biografi: Al-Lataif fi manaqib Abi al Abbas al Mursi wa sayykhihi Abi al Hasan, dan lain-lain. Beliau adalah murid Abu al Abbas Al-Musrsi (wafat 686 M) dan generasi penerus kedua dari pendiri tarekat Sadziliyah: Imam Abu Al Hasan Al Sadzili.
Ibn Athoillah adalah salah seorang yang membantah Ibn Taymiyah atas serangannya yang berlebihan terhadap kaum sufi yang tidak sefaham dengannya. Ibn Athoillah tak pernah menyebut Ibn Taymiyah dalam setiap karyanya, namun jelaslah bahwa yang disinggungnya adalah Ibn Taymiyah saat ia mengatakan dalam Lataif: sebagai cendekiawan ilmu lahiriyah. Satu halaman berikut ini merupakan terjemahan Inggris pertama atas dialog bersejarah antara kedua tokoh tersebut.
Naskah Dialog:
Dari Usul al-Wusul karya Muhammad Zaki Ibrahim Ibn Katsir, Ibn Al Athir, dan penulis biografi serta kamus biografi, kami memperoleh naskah dialog bersejarah yang otentik. Naskah tersebut memberikan ilham tentang etika berdebat di antara kaum terpelajar. Selain itu, ia juga merekam kontroversi antara pribadi yang bepengaruh dalam tsawuf: Syaikh Ahmad Ibn Athoillah Al Sakandari, dan tokoh yang tak kalah pentingnya dalam gerakan Salafi: Syaikh Ahmad Ibn Abd Al Halim Ibn Taymiyah selama era Mamluk di Mesir yang berada dibawah pemerintahan Sulthan Muhammad Ibn Qalawun (Al-Malik Al-Nasir).
Kesaksian Ibn Taymiyah kepada Ibn Athoillah.
Syaikh Ibn Taymiyah ditahan di Alexandria. Ketika Sultan memberikan ampunan, ia kembali ke Kairo. Menjelang malam, ia menuju masjid Al Ahzar untuk sholat maghrib yang diimami Syaikh ibn Athoillah. Setelah selesai sholat, Ibn Athoilah terkejut menemukan Ibn Taymiyah sedang berdo'a dibelakangnya. Dengan senyuman, sang Syaikh sufi menyambut ramah kedatangan Ibn Taymiyah di Kairo seraya berkata: "Assalamu'alaykum", Ibn Taymiyah menjawab salam tersebut untuk selanjutnya ia memulai pembicaraan dengan tamu cendekianya ini.
Ibn Athoillah: "Biasanya saya sholat di masjid Imam Husein dan sholat Isya' di sini. Tapi lihatlah bagaimana ketentuan Alloh berlaku! Alloh menakdirkan sayalah orang pertama yang harus menyambut anda (setelah kepulangan anda ke Kairo). Ungkapkanlah kepadaku wahai faqih, apakah anda menyalahkanku atas apa yang telah terjadi?"
Ibn Taymiyah: "Aku tahu, anda tidak bermaksud buruk terhadapku, tapi perbedaan pandangan diantara kita tetap ada. Sejak hari ini, dalam kasus apapun, aku tidak mempersalahkan dan membebaskan dari kesalahan, siapapun yang berbuat buruk terhadapku."
Ibn Athoillah: "Apa yang anda ketahui tentang aku, Syaikh Ibn Taymiyah?"
Ibn Taymiyah: "Aku tahu anda adalah seorang yang saleh, berpengetahuan luas, dan senantiasa berbicara benar dan tulus. Aku bersumpah tidak ada orang selain anda, baik di Mesir maupun Suriah yang lebih mencintai Alloh ataupun mampu meniadakan diri di (hadapan) Alloh atau lebih patuh atas perintahNya dan menjauhi laranganNya."
Lanjut Ibn Taymiyah: "Tapi bagaimanapun juga kita memiliki perbedaan pandangan. Apa yang anda ketahui tentang saya? Apakah anda atau saya sesat dengan menolak kebenaran (praktik) meminta bantuan seseorang untuk memohon pertolongan Alloh (istighotsah)?"
Ibn Athoillah: "Tentu saja, rekanku, anda tahu bahwa istighotsah atau memohon pertolongan sama dengan tawasul atau mengambil wasilah (perantara) dan meminta syafaat; dan bahwa Rosululloh SAW, adalah seorang yang kita harapkan bantuannya karena beliaulah perantara kita dan yang syafaatnya kita harapkan."
Ibn Taymiyah: "Mengenai hal ini saya berpegang pada sunnah Rosul yang ditetapkan dalam syariat. Dalam hadits berbunyi sebagai: Aku telah dianugerahkan kekuatan syafaat. Dalam ayat Al-Quran juga disebutkan: Mudah-mudahan Alloh akan menaikkan kamu (wahai Nabi) ke tempat yang terpuji (QS Al-Isra: 79). Yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah syafaat. Lebih jauh lagi, saat ibunda khalifah Ali RA wafat, Rosululloh berdoa pada Alloh di kuburnya: Ya Alloh Yang Maha Hidup dan Tak Pernah Mati, Yang Menghidupkan dan Mematikan, ampuni dosa-dosa ibunda saya Fatimah binti Asad, lapangkan kubur yang akan dimasukinya dengan syafaatku, utusan Mu, dan para Nabi sebelumku. Karena Engkaulah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun."
Lanjut beliau: "Inilah syafaat yang dimiliki Rosululloh SAW. Sementara mencari pertolongan dari selain Alloh, merupakan suatu bentuk kemusyrikan; Rosululloh SAW sendiri melarang sepupunya, Abdulloh bin Abbas, memohon pertolongan dari selain Alloh."
Ibn Athoillah: "Semoga Alloh mengaruniakanmu keberhasilan, wahai faqih! Maksud dari saran Rosululloh SAW kepada sepupunya Ibn Abbas, adalah agar ia mendekatkan diri kepada Alloh tidak melalui kekerabatannya dengan Rosul kecuali dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan mengenai pemahaman anda tentang Istighosah sebagai mencari bantuan kepada selain Alloh, yang termasuk perbuatan musyrik, saya ingin bertanya kepada anda, apakah muslim yang beriman pada Alloh dan Rosul Nya yang berpendapat ada selain Alloh yang memiliki kekuasaan atas segala kejadian dan mampu menjalankan apa yang telah ditetapkan berkenaan dengan dirinya sendiri?"
Lanjut Ibn Athoillah: "Apakah mukmin sejati yang meyakini ada yang dapat memberikan pahala atas kebaikan dan menghukum atas perbuatan buruk, selain dari Alloh? Disamping itu, seharusnya kita sadar bahwa ada berbagai ekspresi yang tak bisa dimaknai sebatas harfiah belaka. Ini bukan saja dikhawatirkan akan menyebabkan kemusyrikan, tapi juga untuk mencegah sarana kemusyrikan. Sebab, siapapun yang meminta pertolongan Rosul berarti mengharapkan anugerah syafaat yang dimiliknya dari Alloh, sebagaimana jika anda mengatakan: Makanan ini memuaskan seleraku. Apakah dengan demikian makanan itu sendiri yang memuaskan selera anda? Ataukah karena Alloh yang memberikan kepuasan melalui makanan?
Sedangkan pernyataan anda bahwa Alloh melarang muslim untuk mendatangi seseorang selain Diri Nya guna mendapatkan pertolongan, pernahkah anda melihat seorang muslim memohon pertolongan kepada selain Alloh? Ayat Al-Qur'an yang anda lihat, berkenaan dengan kaum musyrikin dan mereka yang memohon pada dewa dan berpaling dari Alloh SWT. Sedangkan satu-satunya jalan bagi kaum muslim yang meminta pertolongan Rosul adalah dalam rangka bertawasul atau mengambil perantara, atas prioritas (hak) Rosul yang diterimanya dari Alloh (bihaqqihi inda Alloh) dan tashaffu atau memohon bantuan dengan syafaat yang telah Alloh anugerahkan kepada Rosul-Nya.
Sementara itu, jika anda berpendapat bahwa Istighosah atau memohon pertolongan itu dilarang syari'at karena mengarah pada kemusyrikan, maka kita seharusnya mengharamkan anggur karena dapat dijadikan minuman keras, dan mengebiri laki-laki yang tidak menikah untuk mencegah zina."
(Kedua Syaikh tertawa atas komentar terakhir ini).
Lalu Ibn Athoillah melanjutkan: "Saya kenal betul dengan segala inklusifitas dan gambaran tentang sekolah fiqih yang didirikan oleh Syaikh anda, Imam Ahmad, dan saya tahu betapa luasnya teori fiqih serta mendalamnya prinsip-prinsip agar terhindar dari godaan setan yang anda miliki, sebagaimana juga tanggung jawab moral yang anda pikul selaku seorang ahli fiqih.
Namun saya juga menyadari bahwa anda dituntut menelisik di balik kata-kata untuk menemukan makna yang seringkali terselubung dibalik kondisi harfiahnya. Bagi sufi, makna laksana ruh, sementara kata-kata adalah jasadnya. Anda harus menembus ke dalam jasad fisik ini untuk meraih hakikat yang mendalam. Kini anda telah memperoleh dasar bagi pernyataan anda terhadap karya Ibn Arabi, Fususul Hikam. Naskah tersebut telah dikotori oleh musuhnya bukan saja dengan kata-kata yang tak pernah diucapkannya, juga pernyataan-pernyataan yang tidak dimaksudkannya (memberikan contoh tokoh islam).
Ketika Syaikh Al Islam Al Izz ibn Abd Salam memahami apa yang sebenarnya diucapan dan dianalisa oleh Ibn Arabi, menangkap dan mengerti makna sebenarnya dibalik ungkapan simbolisnya, ia segera memohon ampun kepada Alloh SWT atas pendapatnya sebelumnya dan menokohkan Muhyiddin Ibn Arabi sebagai Imam Islam.
Sedangkan tentang pernyataan Al Syadzili yang memojokkan Ibn Arabi, perlu anda ketahui, ucapan tersebut tidak keluar dari mulutnya, melainkan dari salah seorang murid Sadziliyah. Lebih jauh lagi, pernyataan itu dikeluarkan saat para murid membicarakan sebagian pengikut Sadziliyah. Dengan demikian, pernyataan itu diambil dalam konteks yang tak pernah dimaksudkan oleh sang pembicaranya sendiri. Apa pendapat anda tentang Kholifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib?"
Ibn Taymiyah: "Dalam salah satu haditsnya, Rosul SAW bersabda: Saya adalah kota ilmu dan Ali lah pintunya. Sayyidina Ali adalah merupakan seorang mujahid yang tak pernah keluar dari pertempuran kecuali dengan membawa kemenangan. Siapa lagi ulama atau fuqaha sesudahnya yang mampu berjuang demi Alloh menggunakan lidah, pena dan pedang sekaligus? Dialah sahabat Rosul yang paling sempurna. Semoga Alloh membalas kebaikannya. Ucapannya bagaikan cahaya lampu yang menerangi sepanjang hidupku setelah Al-Qur'an dan sunnah. Duhai! Seseorang yang meski sedikit perbekalannya namun panjang perjuangannya."
Ibn Athoillah: "Sekarang, apakah Imam Ali RA meminta agar orang-orang berpihak padanya dalam suatu faksi? Sementara faksi ini mengklaim bahwa Malaikat Jibril melakukan kesalahan dengan menyampaikan wahyu kepada Muhammad SAW, bukannya kepada Ali! Atau pernahkah ia meminta mereka untuk menyatakan bahwa Alloh menitis ke dalam tubuhnya dan sang Imam menjadi Tuhan? Ataukah ia tidak menentang dan memberantas mereka dengan memberikan fatwa (ketentuan hukum) bahwa mereka harus dibunuh dimanapun mereka ditemukan?"
Ibn Taymiyah: "Berdasarkan fatwa ini saya memerangi mereka di pegunungan Syria selama lebih dari 10 tahun."
Ibn Athoillah: "Dan Imam Ahmad- semoga Alloh meridoinya, mempertanyakan perbuatan sebagian pengikutnya yang berpatroli, memecahkan tong-tong anggur (di toko-toko penganut kristen atau dimanapun mereka temukan), menumpahkan isinya di lantai, memukuli gadis para penyanyi, dan menyerang masyarakat di jalan.
Meskipun sang Imam tak memberikan fatwa bahwa mereka harus mengecam dan menghardik orang-orang tersebut. Konsekuensinya para pengikutnya ini dicambuk, dilempar ke penjara dan diarak di punggung keledai dengan menghadap ekornya. Apakah Imam Ahmad bertanggung jawab atas perbuatan buruk yang kini kembali dilakukan pengikut Hanbali, dengan dalih melarang benda atau hal-hal yang diharamkan?
Dengan demikian, Syaikh Muhyidin Ibn Arabi tidak bersalah atas pelanggaran yang dilakukan para pengikutnya yang melepaskan diri dari ketentuan hukum dan moral yang telah ditetapkan agama serta melakukan pebuatan yang dilarang agama. Apakah Anda tidak memahami hal ini?"
Ibn Taymiyah: "Tapi bagaimana pendirian mereka di hadapan Alloh? Di antara kalian, para sufi, ada yang menegaskan bahwa ketika Rosululloh SAW memberitakan kabar gembira pada kaum miskin bahwa mereka akan memasuki Surga sebelum kaum kaya, selanjutnya kaum miskin tersebut tenggelam dalam luapan kegembiraan dan mulai merobek-robek jubah mereka; saat itu Malaikat Jibril turun dari Surga dan mewahyukan kepada Rosul bahwa Alloh akan memilih di antara jubah-jubah yang robek itu; selanjutnya Malaikat Jibril mengangkat satu dari jubah dan menggantungkannya di Singgasana Alloh. berdasarkan ini, kaum sufi mengenakan jubah kasar dan menyebut dirinya fuqara atau kaum papa."
Ibn Athoillah: "Tidak semua sufi mengenakan jubah dan pakaian kotor. Lihatlah apa yang saya kenakan; apakah anda tidak setuju dengan penampilan saya?"
Ibn Taymiyah: "Tapi anda adalah ulama syari'at dan mengajar di Al-Ahzar."
Ibn Athoillah: "Al-Ghazali adalah seorang Imam syari'at maupun tasawuf. Ia mengamalkan fiqih, sunnah, dan syari'at dengan semangat seorang sufi. Dan dengan cara ini, ia mampu menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Kita tahu bahwa dalam tasawuf, noda tidak memiliki tempat dalam agama dan bahwa kesucian merupakan ciri dari kebenaran. Sufi yang tulus dan sejati harus menyuburkan hatinya dengan kebenaran yang ditanamkan ahli sunnah.
Dua abad yang lalu muncul fenomena sufi gadungan yang anda sendiri telah mengecam dan menolaknya. Dimana sebagian orang mengurangi kewajiban beribadah dan aturan keagamaan, melonggarkan berpuasa dan melecehkan pengamalan sholat wajib lima kali sehari. Ditunggangi kemalasan dan ketidak pedulian, mereka telah mengklaim telah bebas dari belenggu kewajiban beribadah. Begitu brutalnya aksi mereka sampai Imam Qusyairi sendiri mengeluarkan kecaman dalam bukunya Ar Risalah (Risalatul Qusyairiyah).
Di sini, ia juga menerangkan secara rinci jalan yang benar menuju Alloh, yakni berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah. Imam tasawuf juga berkeinginan mengantarkan manusia pada kebenaran sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui bukti rasional yang dapat diterima akal manusia yang dapat membedakan yang benar dan salah, melainkan juga melalui penyucian hati dan pelenyapan ego yang dapat dicapai dengan mengamalkan laku spiritual.
Kelompok diatas selanjutnya tersingkir lantaran sebagai hamba Alloh sejati, seseorang tidak akan menyibukkan diriya kecuali demi kecintaannya pada Alloh dan Rosul Nya. Inilah posisi mulia yang menyebabkan seorang menjadi hamba yang soleh, sehat dan sentausa. Inilah jalan guna membersihkan manusia dari hal-hal yang dapat menodai manusia, semacam cinta harta, dan ambisi akan posisi tertentu.
Meskipun demikian, kita harus berusaha di jalan Alloh agar memperoleh ketentraman beribadah. Sahabatku yang cendekia, menerjemahkan naskah secara harfiah terkadang menyebabkan kebingungan. Penafsiran harfiahlah yang mendasari penilaian anda terhadap Ibn Arabi, salah seorang Imam kami yang terkenal akan ke-solehannya. Anda tentunya mengerti bahwa Ibn Arabi menulis dengan gaya simbolis; sedangkan para sufi adalah orang-orang ahli dalam menggunakan bahasa simbolis yang mengandung makna lebih dalam dan gaya hiperbola yang menunjukkan tingginya kepekaan spiritual serta kata-kata yang menghantarkan rahasia tentang fenomena yang tak tampak."
Ibn Taymiyah: "Argumentasi tersebut justru ditujukan untuk anda. Karena saat Imam Al-Qusyairi melihat pengikutnya melenceng dari jalan Alloh, ia segera mengambil langkah untuk membenahi mereka. Sementara apa yang dilakukan para Syaikh sufi sekarang? Saya meminta para sufi untuk mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kami (salafi) yang soleh dan terkemuka: para sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan generasi sesudahnya yang mengikuti langkah mereka.
Siapapun yang menempuh jalan ini, saya berikan penghargaan setinggi-tingginya dan menempatkan sebagai Imam agama. Namun bagi mereka yang melakukan pembaruan yang tidak berdasar dan menyisipkan gagasan kemusyrikan seperti filososf Yunani dan pengikut Budha, atau yang beranggapan bahwa manusia menempati Alloh (hulul) atau menyatu dengan Nya (ittihad), atau teori yang menyatakan bahwa seluruh penampakan adalah satu adanya / kesatuan wujud (wahdatul wujud) ataupun hal-hal lain yang diperintahkan Syaikh anda: semuanya jelas perilaku ateis dan kafir."
Ibn Athoillah: "Ibn Arabi adalah salah seorang ulama terhebat yang mengenyam pendidikan di Dawud al Zahiri seperti Ibn Hazm al Andalusi, seorang yang pahamnya selaras dengan metodologi anda tentang hukum Islam, wahai penganut Hanbali! Tetapi meskipun Ibn Arabi seorang Zahiri (menerjemahkan hukum Islam secara lahiriah), metode yang ia terapkan untuk memahami hakikat adalah dengan menelisik apa yang tersembunyi, mencari makna spiritual (thariq al bathin), guna mensucikan bathin (thathhir al bathin).
Meskipun demikian tidak seluruh pengikut mengartikan sama apa-apa yang tersembunyi. Agara anda tidak bingung atau lupa, ulangilah bacaan anda tentang Ibn Arabi dengan pemahaman baru akan simbol-simbol dan gagasannya. Anda akan menemukannya sangat mirip dengan Al-Qusyairi. Ia telah menempuh jalan tasawuf di bawah payung Al-Qur'an dan sunnah, sama seperti kitab Hujjatul Islam Al-Ghazali, yang mengusung perdebatan mengenai perbedaan mendasar mengenai iman dan masalah ibadah namun menilai upaya ini kurang menguntungkan dan bermanfaat.
Ia mengajak orang untuk memahami bahwa mencintai Alloh adalah cara yang patut ditempuh seorang hamba Alloh berdasarkan keyakinan. Apakah anda setuju wahai faqih? Atau anda lebih suka melihat perselisihan di antara para ulama? Imam Malik RA telah mengingatkan tentang perselisihan semacam ini dan memberikan nasehat: Setiap kali seseorang berdebat tentang iman, maka kepercayaannya akan berkurang.
Sejalan dengan ucapan itu, Al Ghazali berpendapat: Cara tercepat untuk mendekatkan diri kepada Alloh adalah melalui hati, bukan jasad. Bukan berarti hati dalam bentuk fisik yang dapat melihat, mendengar atau merasakan secara gamblang. Melainkan, dengan menyimpan dalam benak, rahasia terdalam dari Alloh Yang Maha Agung dan Besar, yang tidak dapat dilihat atau diraba.
Sesungguhnya anggota sunnahlah yang menobatkan Syaikh sufi, Imam Al-Ghazali, sebagai Hujjatul Islam, dan tak seorangpun yang menyangkal pandangannya bahkan seorang cendekia secara berlebihan berpendapat bahwa Ihya Ulumuddin nyaris setara dengan Al-Qur'an. Dalam pandangan Ibn Arabi dan Ibn Al Farid, taklif atau kepatuhan beragama laksana ibadah yang mihrab atau sajadahnya menandai aspek bathin, bukan semata-mata ritual lahiriah saja.
Karena apalah arti duduk berdirinya anda dalam sholat sementara hati anda dikuasai selain Alloh. Alloh memuji hamba Nya dalam Al-Qur'an: (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sholatnya; dan Ia mengutuk dalam firman Nya: (Yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya. Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Arabi saat mengatakan: Ibadah bagaikan mihrab bagi hati, yakni aspek bathin, bukan lahirnya.
Seorang muslim takkan bisa mencapai keyakinan mengenai isi Al-Qur'an, baik dengan ilmu atau pembuktian itu sendiri, hingga ia membersihkan hatinya dari segala yang dapat mengalihkan dan berusaha untuk khusyuk. Dengan demikian Alloh SWT akan mencurahkan ilmu ke dalam hatinya, dan dari sana akan muncul semangatnya. Sufi sejati tak mencukupi dirinya dengan meminta sedekah.
Seseorang yang tulus adalah ia yang menyuburkan diri di (hadapan) Alloh dengan mematuhinya. Barangkali yang menyebabkan para ahli fiqih mengecam Ibn Arabi adalah karena kritik beliau terhdap keasyikan mereka dalam ber-argumentasi dan berdebat seputar masalah iman, hukum kasus-kasus yang terjadi (aktual) dan kasus-kasus yang baru dihipotesakan (dibayangkan padahal belum terjadi).
Ibn Arabi mengkritik demikian karena ia melihat betapa sering hal tersebut dapat mengalihkan mereka dari kejernihan hati. Ia menjuluki mereka sebagai ahli fiqih basa-basi wanita. Semoga Alloh mengeluarkanmu karena telah menjadi salah satu dari mereka! Pernahkan anda membaca pernyataan Ibn Arabi bahwa: Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh sanggahan-sanggahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis melainkan tercurah dari lubuk hati. Apakah ada pernyataan yang seindah ini?"
Ibn Taymiyah: "Anda telah berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang anda katakan, maka ia sangat jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah anda kemukakan."
Ibn Athoillah: "Beliau mempunyai bahasa khusus yang penuh dengan isyarat, simbol, sugesti, misteri dan kelokan-kelokan. Namun, marilah kita bekerja yang lebih berguna, yang bisa memenuhi kemaslahatan umat. Mari kita cegah kedzoliman dan jaga keadilan jangan sampai dilanggar. Anda sudah tahu apa yang telah diperbuat oleh dua orang fasik Bibris dan Salar itu terhadap rakyat jelata, sejak An-Nasir mengundurkan diri dan mereka berdua jadi penguasa tunggal? Sekarang Sultan An-Nasir telah kembali, mempercayai dan mau mendengarkan anda. Maka cepatlah datang kepadanya dan nasehati beliau.”
Begitulah percakapan antara dua orang imam besar itu. Dan sebagaimana kata Ibn Taymiyah: "Saya hanya menginginkan agar para sufi melangkah di jalan para salaf yang agung itu, yaitu para zahid sahabat, tabi’in dan yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya. Saya menghormati mereka yang berbuat demikian dan menurut saya mereka itu termasuk para imam agama.”
Mudah-mudahan kita semua bisa mengambil pelajaran darinya. Aamiin...
*Diterjemahkan dari: On Tasawuf Ibn Athoillah Al-Sakandari: The Debate with Ibn Taymiyah, dalam buku karya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbanis The Repudiation of Salafi Innovations (Kazi, 1996) Hal. 367-379.
*Versi ini versi terlengkap dari yang pernah ada.
Penyunting: #SufiMuda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar