Kamis, 02 Maret 2017

KETIKA ABU YAZID AL-BUSTHOMI DI TEGUR SEEKOR ANJING

Pada suatu hari, Syekh Abu Yazid Al-Busthomi sedang menyusuri sebuah jalan seorang diri. Tak seorang pun santrinya yang diajak. Ketika itu ia memang sedang menuruti kata hati dan kemauan langkah kakinya berpijak, tak tahu ke mana arah tujuannya dengan pasti. Maka dengan santai dan tenangnya ia berjalan di jalan yang lengang nan sepi.

Tiba-tiba dari arah depan ada seekor anjing hitam berlari-larian. Syekh Abu Yazid Al-Busthomi merasa tenang-tenang saja, dan tak sama sekali terpikirkan bahwa anjing itu akan mendekatinya. Ternyata anjing itu sudah mendekat dan berada di sampingnya.

Secara spontanitas Syekh Abu Yazid Al-Busthomi pun segera mengangkat jubah kebesarannya. Tindakan tadi begitu cepatnya dan tidak jelas apakah karena merasa khawatir jangan-jangan nanti bersentuhan dengan anjing yang liurnya najis.

Akan tetapi, betapa terkejutnya sang Syekh begitu ia mendengar anjing hitam yang di dekatnya tadi memprotes: “Tubuhku kering dan aku tidak melakukan kesalahan apa-apa!”

Mendengar suara anjing hitam tersebut, Syekh Abu Yazid Al-Busthomi seakan tidak percaya: “Benarkah ia bicara padanya? Ataukah itu hanya perasaan dan ilusinya semata?” Syekh Abu Yazid Al-Busthomi masih terdiam dengan merenunginya.

Sang Syekh belum sempat bicara, namun anjing hitam itu meneruskan celotehnya: “Seandainya tubuhku basah, engkau cukup mencucinya dengan air yang bercampur tanah tujuh kali, maka selesailah persoalan di antara kita. Tetapi apabila engkau menyingsingkan jubah sebagai seorang parsi (kesombonganmu), maka dirimu tidak akan menjadi bersih walau engkau membasuhnya dengan air tujuh samudera sekalipun!”

Setelah sang Syekh yakin bahwa suara tadi benar-benar suara anjing hitam yang ada di dekatnya itu, Syekh Abu Yazid Al-Busthomi pun menyadari kekhilafannya. Secara spontan pula, ia bisa merasakan kekecewaan dan keluh kesah si anjing hitam yang merasa terhina. Ia juga menyadari bahwa telah melakukan kesalahan besar. Ia telah menghina sesama makhluk Alloh tanpa alasan yang jelas dan di benarkan.

“Ya, engkau memang benar anjing hitam. Engkau memang kotor secara lahiriah, tetapi aku kotor secara batiniah. Karena itu, marilah kita berteman dan bersama-sama berusaha agar kita berdua menjadi bersih.” kata Syekh Abu Yazid Al-Busthomi.

Ungkapan Syekh Abu Yazid Al-Busthomi tadi tentu saja merupakan ungkapan rayuan agar si anjing hitam itu mau memaafkan kesalahannya. Jikalau binatang tadi mau berteman dengannya, tentu dengan suka rela ia mau memaafkan kesalahannya itu.

“Engkau tidak pantas untuk berjalan bersama-sama denganku dan menjadi sahabatku! Sebab, semua orang menolak kehadiranku dan menyambut kehadiranmu. Siapa pun yang bertemu denganku akan melempariku dengan batu. Tetapi siapa pun yang bertemu denganmu akan menyambutmu bagaikan raja. Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulang pun, tetapi engkau memiliki sekarung gandum untuk makanan esok hari!” kata si anjing hitam.

Syekh Abu Yazid Al-Busthomi masih termenung dengan kesalahannya. Setelah dilihatnya, ternyata si anjing hitam telah meninggalkannya sendirian di jalanan yang sepi itu. Si anjing hitam telah pergi dengan bekas ucapannya yang menyayat hati sang Syekh Abu Yazid Al-Busthomi. 

“Ya Allah, aku tidak pantas bersahabat dan berjalan bersama-sama seekor anjing milik Mu. Lantas, bagaimana aku dapat berjalan bersama Mu yang abadi dan kekal? Maha Besar Alloh yang telah memberi pengajaran kepada yang termulia di antara makhluk Mu yang terhina di antara semuanya.” seru Syekh Abu Yazid Al-Busthomi.

Kemudian, dengan langkah yang sempoyongan Syekh Abu Yazid Al-Busthomi pun meneruskan perjalanannya. Ia melangkahkan kakinya menuju ke pesantrennya. Ia sudah rindu kepada para santri yang telah menunggu pengajarannya.


Keunikan dan kenyelenehan Syekh Abu Yazid Al-Busthomi memang sudah terlihat sejak dulu. Kepada para santrinya, beliau tidak selalu mengajarkan di pesantrennya saja, tetapi juga diajak merespon secara langsung untuk membaca ayat-ayat alam yang tergelar di alam semesta ini. Akan ada banyak pelajaran yang bisa didapat dari para santri Syekh Abu Yazid Al-Busthomi. Baik pembelajaran secara teoritis maupun praktis dalam hubungannya dengan ketuhanan (ilmu teologi).

Beberapa bulan berlalu, Syekh Abu Yazid Al-Busthomi sedang mengajak berjalan-jalan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui begitu sempit, tiba-tiba dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Setelah diamati secara seksama, ternyata ia bukanlah anjing hitam yang dulu pernah memprotesnya. Ia anjing berwarna kuning yang lebih jelek dari anjing hitam sebelumnya. Si anjing kuning itu terlihat tergesa-gesa, maka Syekh Abu Yazid Al-Busthomi segera saja mengomando kepada para muridnya agar memberi jalan kepada anjing kuning itu.

“Hai murid-muridku, semuanya minggirlah. Jangan ada yang mengganggu anjing kuning yang mau lewat itu! Berilah dia jalan, karena sesungguhnya ia ada suatu keperluan yang penting hingga ia berlari dengan tergesa-gesa,” kata Syekh Abu Yazid Al-Busthomi kepada para muridnya.

Para muridnya pun tunduk patuh kepada perintah Syekh Abu Yazid Al-Busthomi. Setelah itu, si anjing kuning melewati rombongan Syekh Abu Yazid Al-Busthomi dan para santrinya dengan tenang serta tidak merasa terganggu.

Secara sepintas, si anjing kuning memberikan hormatnya kepada Syekh Abu Yazid Al-Busthomi dengan menganggukkan kepalanya sebagai ungkapan rasa terima kasih. Maklum, jalanan yang sedang dilewati itu memang sangat sempit, sehingga harus ada yang mengalah salah satu, rombongan Syekh Abu Yazid Al-Busthomi ataukah si anjing kuning.

Si anjing kuning telah berlalu. Tetapi rupanya ada salah seorang murid Syekh Abu Yazid Al-Busthomi yang memprotes tindakan gurunya tersebut dan berkata: “Alloh Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk Nya. Sementara, guru adalah raja di antara kaum sufi, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing jelek tadi. Apakah pantas perbuatan seperti itu?”

Syekh Abu Yazid Al-Busthomi menjawab, “Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku: “Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian dulu sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja di antara para sufi?” Begitulah yang sampai ke dalam pikiranku dan karena itulah aku memberikan jalan kepadanya.”

Mendengar penjelasan gurunya itu, para murid pun merasa memahami akan keluasan ilmu hakikat yang dimiliki oleh sang guru. Itu memperdalam akan pemahaman mereka dan sebab mengapa guru mereka berlaku demikian. Semua murid diam membisu. Mereka tidak ada yang berani membantah lagi. Akhirnya mereka pun meneruskan perjalanannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar